parboaboa

Saat Kuping Penguasa Terusik oleh Musik

Hasudungan Sirait | Jejak | 02-05-2024

Piringan hitam berisi lagu Gendjer-gendjer. (Foto: Koleksi Kei)

Kisah Musik Terlarang (Bagian Pertama)

PARBOABOA Soundtrack film Gie masuk pasar pada 2005. Wadahnya keping compact disc dan kaset.

Peredaran ini hampir bersamaan dengan pemutaran perdana karya Mira Lesmana (produser) dan Riri Reza (sutradara) tersebut di sejumlah bioskop utama Jakarta.

Namun, musik latar ini tak selengkap musik latar di film itu. Ada sebuah lagu penting yang tak masuk di sana yaitu Genjer-genjer. Tampaknya produser merasa terlalu berisiko jika memaktubkannya dalam CD atau kaset itu.

Genjer-genjer adalah lagu rakyat Banyuwangi yang mulai populer di penghujung 1962. Tembang ini menjadi hits di seantero negeri ini terutama sejak biduan Bing Slamet membawakannya.

Tapi populeritasnya lenyap seketika setelah peristiwa G30S 1965. Kabarnya (penguasa baru kemudian membenarkan dan mewarta-luaskan kabar ini), lagu inilah yang mengiringi para anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat menari Harum Bunga di depan jenazah para jenderal di Lubang Buaya.

Sebuah kabar lain menyebut lagu ini juga profetis. Yaitu, penggalan lirik esuk-esuk pating keleler dijejer-jejer (di pagi buta berhamparan dijejer-jejer) meramalkan nasib ketujuh jenderal AD yang dibantai (lihat Hersri Setiawan dalam beberapa tulisannya).

Sejak diidentikkan dengan khazanah PKI tak ada lagi orang yang berani melantunkannya. Dan ini berlangsung sampai hari ini. Buktinya penghilangannya dari soundtrack film Gie tadi.

Bukan Genjer-genjer saja lagu yang haram setelah Orde Baru berkuasa. Tapi segenap musik yang dianggap bagian dari khazanah PKI.

Pujaan Kepada Partai (himne PKI ini karya bareng Subronto K. Atmodjo dan SW Kuncahyo), Nasakom Bersatu (Subronto K. Atmodjo), Re-so-pim (Subronto K. Atmodjo), Madju Sukarelawan (Sudharnoto), Saat Telah Tiba (terjemahan lagu revolusi Rusia 1917), Internationale, Krontjong Buruh-Tani (Sjamsuri), di antaranya. 

Tak hanya itu. Para seniman musik kiri pun dibuikan, termasuk dua komponis terkenal Sudharnoto (penggubah lagu Garuda Pancasila) dan Subronto K. Atmodjo.

Nasakom Bersatu

.....................

Atjungkan tindju kita, satu padu (bersatu)/ Bulat semangat kita, Hajo! Terus Madju/ Nasakom bersatu, singkirkan kepala batu/ Nasakom satu tjita, sosialisme pasti djaja/ 

Komponis Subronto K. Atmodjo. (Foto: Nusantara62)

Re-so-pim

Re-so-pim, re-so-pim, revolusi Agustus ’45. Re-so-pim, re-so-pim, sosialisme ditangan negara. Kita tuntut pimpinan yang jujur. Rakyat harus hidup adil makmur.

Re-so-pim, re-so-pim, maju, maju, re-so-pim. Kita tuntut murah sandang pangan minggir-minggir pimpinan yang curang re-so-pim, re-so-pim, hidup, hidup re-so-pim. 

Saat Telah Tiba

Kawan saat ini telah tiba/ Kita tjapai merdeka/ masa gelap telah bubar/ surja merah bersinar/ Lihat barisan djutaan/ Madju tegap ke depan/ dengan semangat menjala/ Menjerbu dunia kita/ Kawan semua bersatu/ senjum! dan ajo madju/ Achir derita mendekat/ datang hari kiamat/ Tjampakkanlah penindasan/ Hiduplah kekuatan/ Pantjangkanlah pandji merah/ di dunia kaum pekerdja. 

PKI berkiblat ke Cina setelah meninggalkan poros Rusia. Karena kiblat inilah Cina kemudian, di masa perang dingin itu, dipersepsikan Orde Baru sebagai seterunya.

Yang terjadi kemudian, tahun 1967 Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres Nomor 14 yang melarang segala yang berbau Cina dalam agama, kepercayaan, ekspresi seni dan kebudayaan.

Bahasa Cina (Mandarin) tentu saja termasuk yang diharamkan. Padahal, bahasa Mandarin merupakan lingua franca yang dipakai, misalnya, dalam dunia musik, sekolah, terbitan (koran, majalah buku, dll.) etnik tersebut.

Dengan demikian, imbas pelarangan bahasa ini sangat luas, termasuk di industri musik.

Hingga tahun 1991, menurut pengamat industri musik Theodore KS (Kompas 10/6/2005), lagu Mandarin tetap diwaspadai pemerintah.

Tempat-tempat karaoke di Jawa Tengah misalnya dilarang memutar lagu-lagu Mandarin; sedangkan di Jakarta penayangan video lagu-lagu ini di karaoke juga tak boleh.

Sampai tahun 1996 lagu Mandarin tetap dihadang dengan berbagai peraturan. Namun yang namanya pasar tak pernah kehabisan akal.

Setelah lagu berbahasa Mandarin dilarang yang membanjiri kemudian adalah lagu-lagu Indonesia berirama Mandarin. Titik Sandora yang mengawalinya tahun 1971.

Yang lain kemudian menyusul, termasuk The Phoenix, Deddy Dores, Leily Dimyathi, Ferdi Ferdian, Irni Basir, Is Haryanto, Rudy’s Group Dominos, D’lloyd, The Steps dan Ervinna (Theodore KS). 

Larangan terhadap segala yang berbau Cina baru berakhir setelah Abdurrahman Wahid menjadi presiden menggantikan BJ Habibie.

Tahun 2000 ia mengeluarkan Inpres No. 6 yang intinya membolehkan orang Cina menjalankan kegiatan kebudayaannya secara bebas.

Hasilnya seperti sekarang: perayaan Imlek, Cap Gomeh, Festival Peh Cun dan pertunjukan barongsai boleh dilakukan. Lagu Mandarin bebas sudah dilantunkan.

Pemberangusan musik oleh pemerintah baru Soeharto, kalau diibaratkan lakon berbalas pantun, seperti balasan saja.

Sebelumnya, sejak awal 1960-an, pemerintah Soekarno yang mengharamkan ngak-ngik-ngok, sebutannya untuk musik populer Barat yang melanda anak muda negeri ini di masa itu (rock’n roll dan hulahop khususnya). 

Komponis Sudharnoto di Kongres LEKRA. (Foto: Institut Sejarah Sosial Indonesia)

Dalam semangat anti-Nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) yang dikobarkannya, Soekarno melihat ngak-ngik-ngok, seperti halnya dar-der-dor (film koboi) sebagai bentuk imperialisme budaya yang sudah serius.

Pelarangan pun dilakukan dan korbannya yang paling menderita adalah Kus Bersaudara (kelak menjadi Koes Plus, tanpa Nomo Koeswoyo).

Suatu waktu Jaksa DJL Aruan SH, Kepala Biro Sospol merangkap pejabat sementara Kepala Humas Kejaksaan Tinggi Jakarta, menyatakan “tidak akan diizinkan sejengkal tanah pun di tanah air kita ini untuk dipergunakan main band Beatles-Beatles-an”.

Beatles, menurut Aruan, “adalah salah satu kebudayaan yang tidak sesuai dengan kepribadian kita, dan pada hakekatnya hanya akan melemahkan kebudayaan kita sendiri yang kini sedang tumbuh dan berkembang di dalam alam revolusi”.

Kalau pemain band kita dibiarkan larut membawa lagu-lagu Beatles, lanjut dia, “itu hanya akan menguntungkan pihak kaum kontra revolusi”, kalangan yang “tidak henti-hentinya merongrong dan menghambat jalannya revolusi”.

Mereka ini, menurut Jaksa Aruan, “dengan berbagai cara dalam menjalankan subversinya antara lain subversi di dalam bidang kebudayaan kita”. (Kompas, 2 Juli 1965).

Tak lama setelah peringatan Jaksa Aruan itu keempat anggota Koes Bersaudara ditahan di Kejaksaan Tinggi di Jl. Gajah Mada, Jakarta dan kemudian dipindahkan ke bui di Glodok. Mereka baru bebas sehari sebelum peristiwa G30S.

Menurut Yon Koeswoyo (dalam Panggung Kehidupan Yon Koeswoyo—Candra Publisher, 2005) sejauh itu tak pernah ada peradilan untuk mereka.

Kus Bersaudara dianggap membandel karena masih saja membawakan lagu-lagu Beatles dan memperagakan ‘gerak-gerik yang bukan-bukan”. 

Berat betul ganjaran untuk mereka. Tentu mereka bukanlah korban regulasi satu-satunya, walaupun memang mereka yang paling menelan pil pahit. 

Sejumlah lagu dari penyanyi lain sempat bermasalah di masa Orde Lama setelah pemberlakuan kebijakan anti-Nekolim tadi.

Lagu Bala-bala Patty Bersaudara misalnya pernah dilarang dengan alasan lucu yaitu pendengarnya nanti bisa bergoyang pinggul a la Barat.

Piringan hitam Kus Bersaudara. (Foto: Koleksi Kei)

Lagu Cai Kopi dan Risau Lilis Suryani tak dibolehkan. Cai Kopi (ciptaan Mus K Wirya) disebut meniru syair Islam sehingga nanti bisa melukai perasaan kaum Muslim.

Risau yang merupakan ratapan gadis yang ditinggal pergi pacar setelah dinodai dianggap bisa melemahkan jiwa pendengarnya.

Sedangkan lagu Patah Hati dan Pusara Cinta yang dibawakan Rachmat Kartolo menuai kecaman karena syairnya dianggap tak seirama dengan derap revolusi (SN Ratmana, Kompas 12 Oktober 1976).

Bersambung...

Editor : Hasudungan Sirait

Tag : #musik terlarang    #genjer genjer    #jejak    #g30s pki    #dunia musik tanah air   

BACA JUGA

BERITA TERBARU