PARBOABOA, Jakarta – Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (KIKA) telah menyampaikan pandangannya terkait undangan Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, yang didapat warga Wadas beberapa waktu yang lalu.
Dalam diskusi pengadaan tanah Wadas untuk pembangunan Bendungan Bener Purworejo, pada Selasa (5/9/2023), KIKA menegaskan bahwa tindakan ini merupakan bukti klaim sepihak dari pemerintah.
Hal tersebut dianggap bertentangan dengan kenyataan bahwa warga Wadas masih tetap menolak rencana penambangan batuan andesit.
Ditambah, Izin Penetapan Lokasi (IPL) telah habis pada 7 Juni 2023 lalu, sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaharuan IPL Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo.
Di sisi lain, Rina Mariana, anggota Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB), menyatakan bahwa pengadaan tanah di Wadas dilakukan melalui intervensi pemerintah yang tidak mempertimbangkan aspek sosio-agraria dan lingkungan yang terkait.
Sehingga menyebabkan telah kontestasi antara pemerintah dan masyarakat.
“Melalui Wadas kita bisa melihat bagaimana mekanisme pengadaan tanah bagi pembangunan yang menggunakan instrumen kebijakan Negara dan melalui pengerahan aparatus negara,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Rina juga menyampaikan bahwa dalam pengadaan tanah tersebut, negara telah menggunakan kuasa eksklusi melalui modal kekuasaan kultural, kapital, dan simbolik.
Sementara warga Wadas berjuang melawan Negara dengan menggunakan modal sosial dan aksi kolektif warga/komunitas.
Metode Konsinyasi Yang Terjadi di Wadas
Secara prinsip, Herdiansyah Hamzah, seorang Dosen Universitas Mulawarman, menyatakan bahwa metode konsinyasi tidak dikenal dalam rezim pengadaan tanah untuk kepentingan umum seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dia menjelaskan bahwa menurut Pasal 42 ayat (2) UU tersebut, konsinyasi hanya dapat diterapkan jika "penerima yang berhak" tidak diketahui keberadaannya, atau objek tanah sedang dalam proses hukum di pengadilan, masih dalam sengketa kepemilikan, disita oleh pejabat berwenang, atau masih menjadi jaminan bank.
Dengan demikian, menurutnya, penolakan warga Desa Wadas terhadap tambang tidak memenuhi persyaratan konsinyasi.
Lebih lanjut, Pasal 10 UU tersebut secara tegas menyebutkan bahwa kegiatan pertambangan tidak termasuk dalam objek peruntukan pembangunan untuk kepentingan umum.
Artinya, kegiatan pertambangan bukan bagian dari objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
“Ancaman konsinyasi jelas adalah cara kotor pemerintah untuk merampas tidak hanya tanah Warga Wadas, tapi juga ruang hidup serta masa depan anak cucu mereka,” jelasnya.
Editor: Atikah Nurul Ummah