Tak Ingin Melulu Protes di Jalanan, Alasan Pejuang Hak Buruh Ikut Berebut Kursi di Parlemen 

Buruh menggelar aksi Mei Day 2023. (Foto: Parboaboa/Bina Karos)

PARBOABOA  - Heri Sofyan menggunakan baju batik tengah memimpin rapat internal Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota/Kabupaten Bekasi, sore pertengahan Juni lalu.

Rapat yang diikuti sekitar 30 buruh itu membahas berbagai keluhan buruh yang bekerja di kawasan industri Bekasi, mulai dari soal ketenagakerjaan, upah minimum, hingga konsolidasi internal dalam menghadapi kontestasi politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Heri menyampaikan harapannya agar buruh merapatkan barisan untuk berjuang pada Pemilu 2024. Ia meminta para buruh tak terpecah belah, dan mau mendukung Heri yang akan maju sebagai calon legislatif (Caleg) DPRD Kota Bekasi.

“Walaupun teman-teman yang tidak setuju dengan ideologi Partai Buruh tidak apa-apa. Dan, yang setuju, mohon dukungannya. Walaupun nggak suka sama orangnya (caleg), tapi lihatlah gagasannya,” ujar Heri dalam rapat tersebut.

Partai Buruh didirikan oleh 11 organisasi atau serikat dari berbagai elemen seperti buruh, petani, nelayan, perempuan, guru honorer, pedagang, tukang becak, dan kelompok masyarakat miskin kota.

Partai yang dipimpin Said Iqbal itu menjadi alat perjuangan baru bagi aktivis buruh untuk menuntut kesejahteraan.

Heri yang sejak tahun 1997 tergabung dalam serikat buruh turut menjadikan Partai Buruh sebagai kendaraan baru perjuangannya. Ia sudah puluhan tahun berjuang dan merasakan manis pahitnya nasib buruh. Dia pernah dipecat sepihak pada tahun 2013 karena protes aturan pekerja kontrak dan outsourcing di tempatnya bekerja, pabrik kemasan plastik di Cibitung.

“Waktu itu di tempat saya bekerja hampir 30 persen karyawannya kontrak dan outsourcing, padahal undang-undang menyatakan kalau jenis pekerjaannya bukan musiman maka harus diangkat karyawan tetap,” jelasnya kepada Parboaboa.

Sudah tak terhitung berapa kali Heri mengorganisir buruh untuk melakukan aksi demonstrasi menuntut kesejahteraan. Teranyar, mereka menuntut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan agar direvisi.

Belum juga itu dikabulkan, buruh harus dihadapkan dengan peraturan perundang-undangan yang tidak menguntungkan lagi yakni disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang dikenal Omnibus Law.

Heri dan serikat buruhnya bolak-balik aksi di depan kantor DPRD Kota/Kabupaten Bekasi hingga menggelar demonstrasi nasional di depan Gedung DPR RI, Jakarta.

“Beberapa kali aksi kita minta DPRD agar membuat rekomendasi penolakan PP 78, tapi itu rekomendasi gak jadi barang, terbuang gitu aja, menganga begitu aja kayak bensin. Begitu juga Omnibus Law capek sekali kita, aksi ke DPRD, aksi ke provinsi, bahkan aksi nasional berkali-kali tetap saja barang itu berjalan,” tandas Heri.

Tak jarang Heri dan serikatnya dikhianati caleg yang mereka dukung. Kebanyakan caleg pada musim Pemilu selalu meminta dukungan kepada serikat buruh, namun menurutnya ketika mereka terpilih, lupa pada kepentingan buruh. Jangankan memperjuangkan hak buruh, untuk bertemu dengan kaum buruh saja mereka susah.

“Ngirim surat dulu, itu surat prosesnya tujuh hari. Kalau mau cepat, kita geruduk tuh DPRD, itu baru bisa bertemu dalam waktu sesingkat-singkatnya,” tandasnya.

Kenyataan itulah yang membuat Heri berpikir bahwa buruh membutuhkan alat perjuangan baru. Ia berpikir, sudah saatnya buruh masuk ke dalam parlemen untuk mengawal kebijakan pemerintah yang pro rakyat, khususnya buruh.

Kaum buruh menurutnya tidak lagi mengandalkan aksi protes di jalanan, tetapi seharusnya juga bisa memanfaatkan wakilnya di parlemen nanti.

“Kayaknya kita harus punya alat perjuangan baru selain protes di jalanan, kita berjuang juga di lembaga-lembaga negara,” jelas Heri.

Bermodal Gagasan

Heri Sofyan, caleg DPRD Kota Bekasi dari Partai Buruh. (Foto: Parboaboa/Muazam)

Heri Sofyan memutuskan maju pemilihan legislatif (Pileg) DPRD Kota Bekasi Dapil 2 yang meliputi kecamatan Bekasi Utara dan Medan Satria. Modalnya tak seperti caleg biasanya yang punya uang besar. Ia hanya bermodalkan ide dan gagasan untuk membawa kesejahteraan bagi kaum buruh.

Heri sudah menyiapkan gagasan bila terpilih menjadi anggota DPRD Kota Bekasi. Ia ingin mengawal Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekas yang mencapai Rp 5,93 triliun pada tahun 2023 itu benar-benar terserap untuk kebutuhan publik.

Sebab, menurutnya, anggaran triliunan itu kurang maksimal digunakan untuk kepentingan publik. Kebanyakan, hanya digunakan untuk hal remeh temeh, misalnya pengadaan karangan bunga seharga Rp1 miliar.

Di sisi lain, transportasi dan fasilitas publik di Kota Bekasi masih memprihatinkan. “Orang disuruh naik angkot tapi angkotnya ngetem 10 jam, telat berangkatnya. Udah gitu di kota yang panas ini kita naik angkot wangi, turun angkot kita dekil lagi,” ujar Heri.

Dia juga menyoroti fasilitas pendidikan yang kurang mengakomodir kaum buruh. Di Bekasi, menurutnya, sekolah swasta lebih banyak ketimbang negeri. Padahal, gaji kaum buruh tak seberapa, cuma sekitar Rp 5,1 juta.

Selain itu, Heri menyoroti kehidupan buruh yang semakin tercekik dengan keadaan. Ia menyebut, hampir 10 persen penghasilan buruh habis digunakan untuk membeli air minum kemasan.

“Bekasi itu kan kota industri yang suhunya tinggi, buruh sering dehidrasi. Buruh sehari aja itu dari rumahnya ke pabrik bisa beli satu botol air mineral yang harganya itu Rp 4 – 5 ribu. Hitungan saya secara kasar, hampir 10 persen upah buruh dibelanjakan buat air minum, padahal air minum itu bisa saja disubsidi dari APBD atau buat aja pompa air minum gratis di jalan,” terang pria yang tinggal di Cakung tersebut.

Tak hanya itu, buruh juga dihadapkan dalam kondisi di mana pasangan suami-istri harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dampaknya, anak mereka tak terawat, dan harus dititipkan ke orang lain yang tentunya memerlukan uang.

“Harusnya negara muncul, bikinlah tempat penitipan anak yg aman dan sehat, beredukasi, nah itu kita bisa ajukan,” terang Heri.

Ia juga mengusulkan agar APBD Kota Bekasi sebagian digunakan untuk membuat tempat tinggal gratis atau bersubsidi bagi kaum buruh. Pasalnya, menurut Heri, hampir 20 persen upah buruh digunakan buat sewa tempat tinggal.

Kendati demikian, Heri sadar bahwa DPRD tak punya wewenang membuat regulasi atau kebijakan ketenagakerjaan yang menguntungkan buruh. Itu semua merupakan wewenang DPR RI dan pemerintah pusat.

Namun, setidaknya, dengan ia berada di DPRD bisa mengawal kebijakan ketenagakerjaan itu agar tidak semakin menyengsarakan buruh karena ulah pengusaha nakal.

“DPRD punya hak impunitas yang kalau ada pelanggaran kita bisa turun tangan atau kita bisa tegur eksekutif. Wali Kota untuk memperbaiki atau menindak perusahaan-perusahaan yang melanggar hukum,” tegas Heri.

Heri tak sendirian memilih jalan perjuangan baru, ada juga Waluyo Ribowo. Pria yang bekerja di pabrik kardus ini berjuang maju sebagai Caleg DPRD Kabupaten Bekasi Dapil 1, meliputi kecamatan Serang Baru, Cibarusah, Bojongmangu, Setu, dan Cikarang Pusat.

Ia berpikir bahwa sudah saatnya buruh ikut kontestasi Pemilu, sebab mereka yang kini duduk di parlemen tak memahami kebutuhan kaum buruh.

Bowo, panggilan akrabnya, yang sudah bergabung dengan SPSI sejak tahun 2013 itu kerap mengadvokasi hak-hak buruh, bahkan ia berjuang menuntut kesejahteraan lewat aksi demonstrasi di jalanan.

Ia mengaku sudah berjuang di jalanan namun keberhasilannya tidak maksimal atau signifikan. Misalnya, Bowo menuntut agar Omnibus Law dibatalkan, tetapi tetap saja undang-undang itu disahkan DPR RI dan pemerintah.

“Saya berkeyakinan bahwa Partai Buruh bisa jadi solusi dan alat perjuangan, khususnya bagi buruh dan masyarakat,” tegas Bowo kepada Parboaboa.

Heri dan Bowo hanya bagian kecil buruh yang memilih merubah haluan perjuangannya.

Di samping itu—dalam kondisi sistem politik yang tak sehat ini—mereka berjanji akan tetap mengingat dari mana berasal dan terus memperjuangkan hak buruh meski sudah duduk di parlemen.

Apabila duduk di parlemen tapi tak lagi berpihak pada buruh, mereka siap digantikan dengan kader lain yang lebih berkompeten.

“Walaupun nanti ada kelakuan bejat, kami siap dipecat lewat PAW (Pergantian Antar Waktu). Teman-teman juga bisa pukuli saya kalau nggak benar, harus siap itu,” tegas Heri.

“Kalau saya tidak akan berubah. Tetap dekat dengan kawan-kawan buruh, dan gak akan menjauh atau pindah rumah. Saya titip pesan kepada istri, kalau saya berubah harus disentil,” ujar Bowo.

Caleg Buruh Lupa Diri Ditinggalkan Saja

Pengamat politik Ujang Komarudin mengapresiasi aktivis buruh yang ikut berebut kursi di parlemen pada pada kontestasi Pemilu 2024. Menurutnya, sangat baik agar di parlemen ada warna baru, tak melulu anggota dewan berasal dari pengusaha.

“Dia atau mereka punya tekad memperjuangkan buruh di parlemen daerah. Dan, itu harus kita hargai dan hormati,” ujar Ujang kepada Parboaboa.

Namun, dia mewanti-wanti agar rakyat yang menjadi konstituen mereka untuk konsisten mengawal kinerja para caleg tersebut bila terpilih nanti.

Biasanya, menurut Ujang, caleg yang semula berteriak pada kepentingan rakyat akan lupa dengan janji-janjinya ketika sudah duduk di parlemen.

“Kalau sudah jadi, sudah dilantik duduk di kursi empuk di DPRD biasanya lupa terhadap aspirasi rakyat dan penderitaan rakyat yang dulu diperjuangkannya,” terangnya.

“Ini banyak kejadian-kejadian seperti itu karena udah masuk lingkaran kekuasaan, udah enak menjadi anggota dewan maka abai terhadap kepentingan rakyat,” tambah Ujang.

Lebih lanjut, dosen Universitas Al Azhar Jakarta itu menjelaskan, bila caleg itu terpilih dan tidak lagi memperjuangkan kepentingan rakyat, maka periode selanjutnya jangan dipilih kembali.

“Ya periode berikutnya jangan dipilih lagi sebagai tanda hukuman. Karena tidak memperjuangkan kepentingan buruh di DPRD,” tegasnya.

Laporan ini merupakan bagian kedua dari liputan khusus ‘Caleg minoritas’.

Reporter: Achmad Rizki Muazam

Editor: Tonggo Simangunsong
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS