PARBOABOA, Jakarta - Indonesia telah lama berusaha untuk mewujudkan swasembada pangan. Upaya ini ditempuh dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan tanpa bergantung pada impor.
Walaupun, ketahanan pangan sesungguhnya bukan hanya soal mencukupi perut rakyat tetapi juga menjadi dasar bagi stabilitas nasional.
Untuk mencapai hal ini tentu tidak bisa mengandalkan luas lahan dan teknologi semata, melainkan juga memerlukan bibit unggul yang adaptif dan produktif.
Kualitas bibit merupakan komponen penting dalam upaya meningkatkan hasil pertanian.
Bibit unggul sendiri ditandai oleh produktivitas tinggi, ketahanan terhadap hama, serta kemampuan beradaptasi dengan perubahan iklim.
Varietas padi seperti IR64 dan Ciherang, misalnya, telah menjadi andalan pertanian sejak tahun 1990-an.
Dengan produktivitas mencapai 5,5 hingga 6 ton per hektar, bibit ini berkontribusi besar dalam stabilitas produksi beras tanah air.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras pada 2023 mencapai 31,54 juta ton, meningkat dari tahun sebelumnya.
Hal ini tak terlepas dari peran bibit unggul yang membantu petani mempertahankan hasil panen di tengah kondisi iklim yang tidak menentu.
Bibit berkualitas bukan hanya menjamin hasil melimpah tetapi juga memastikan ketersediaan pangan meskipun terjadi perubahan cuaca ekstrem.
Sebab, perubahan iklim telah menjadi tantangan serius bagi sektor pertanian. Curah hujan yang tak menentu dan kekeringan seringkali menurunkan produktivitas lahan.
Untuk menghadapi kondisi ini, Kementerian Pertanian pun mendorong pengembangan varietas bibit adaptif.
Inpari 32, misalnya, dikenal sebagai padi yang tahan terhadap kekeringan dan banjir. Selain itu, jagung hibrida BISI-18 mampu menghasilkan hingga 12 ton per hektar, menjadi alternatif penting bagi ketahanan pangan nasional.
Negara menjamin dan memastikan akses petani terhadap bibit berkualitas ini, melalui Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.
Misalnya, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani memberikan jaminan agar petani mendapatkan bibit unggul.
Sementara itu, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/10/2016 memastikan bahwa peredaran bibit diatur agar kualitasnya tetap terjaga.
Namun, meskipun ada upaya pemerintah, sektor pertanian masih menghadapi kendala seperti keterbatasan pupuk dan bimbingan teknis bagi petani.
Belum lama ini, Esther Sri Astuti dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Indonesia memerlukan peningkatan riset dan inovasi dalam pengembangan bibit unggul.
Ia menekankan bahwa kekurangan petugas penyuluh pertanian, pupuk, dan sarana prasarana pasti menghambat produktivitas.
Petani, jelas Esther, seringkali menanam tanpa bimbingan teknis yang memadai.
Esther menggarisbawahi bahwa tanpa bimbingan yang memadai, petani Indonesia tertinggal jauh dibanding negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam.
Padahal, Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984 dan bahkan menjadi eksportir gula.
Prestasi tersebut menjadi bukti bahwa sektor pertanian Indonesia pernah kuat dan mandiri.
Namun, kondisi itu berubah drastis seiring berjalannya waktu. Kini, Indonesia justru bergantung pada impor, tidak hanya untuk beras dan gula, tetapi juga untuk sayur-mayur.
Ketergantungan ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam keberlanjutan dan produktivitas pertanian di dalam negeri.
Salah satu langkah penting dalam menghadapi persoalan ini adalah penerapan teknologi modern di sektor pertanian.
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, menyebutkan bahwa teknologi seperti combine harvester mampu menggantikan tenaga 25 orang hanya dengan satu operator, yang bekerja dalam waktu empat jam.
“Penggunaan alat ini tidak hanya menekan biaya operasional, tetapi juga mempercepat proses panen, meningkatkan efisiensi yang selama ini menjadi kendala bagi petani,” jelas Amran, Kamis (24/10/2024).
Lebih dari itu, pengembangan bibit unggul seperti padi biosalin juga memberikan solusi bagi lahan pertanian ekstrem seperti rawa.
Dengan padi yang tahan terhadap air asin, lahan yang sebelumnya tidak produktif kini dapat dimanfaatkan untuk memastikan hasil panen tetap maksimal.
Inovasi ini menjadi harapan baru bagi Indonesia agar tidak lagi bergantung pada impor, sekaligus memperkuat ketahanan pangan dalam negeri.
Selain teknologi, sektor pertanian modern membuka peluang bagi generasi muda untuk ikut serta.
Amran optimis bahwa apabila sektor ini terbukti menguntungkan, kaum milenial akan tertarik untuk terjun langsung, apalagi dengan adanya bonus demografi.
Menurutnya, keterlibatan generasi muda sangat penting untuk memastikan keberlanjutan sektor pertanian Indonesia.
Dengan kombinasi antara teknologi canggih dan energi kreatif generasi muda, Indonesia berpeluang membangun kembali kejayaan pertaniannya dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Keberhasilan swasembada pangan memerlukan sinergi lintas sektor. Pemerintah bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sektor swasta dalam mendistribusikan bibit unggul serta pupuk bagi petani.
Salah satu inisiatif penting adalah Upland Project, yang mengembangkan lima komoditas unggulan seperti beras organik dan bawang merah.
Kerja sama ini memperkuat posisi Indonesia di pasar ekspor pertanian global.
Plt. Menteri Pertanian, Arief Prasetyo Adi, menekankan bahwa Indonesia harus memperluas pasar ekspor dan mengurangi ketergantungan impor. "Produk-produk kita harus bersaing di pasar internasional," ujarnya.
Program Upland, yang bekerja sama dengan International Fund for Agricultural Development (IFAD), diharapkan mampu memperkuat sistem agribisnis Indonesia.
Demi mewujudkan hal tersebut, pengembangan bibit unggul kini tidak hanya mengandalkan metode konvensional.
Teknologi rekayasa genetika mulai diterapkan, seperti pada padi Golden Rice yang diperkaya vitamin A.
Pemerintah terus mendorong riset agar bioteknologi dapat diadopsi secara luas, membantu memenuhi kebutuhan pangan sekaligus meningkatkan kualitas gizi masyarakat.
Mewujudkan swasembada pangan bukanlah tugas mudah. Kolaborasi antara pemerintah, petani, dan sektor swasta diperlukan agar target ini dapat tercapai.
Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan penerapan teknologi modern, Indonesia optimis mampu mencapai swasembada pangan pada 2025.