Dampak Pelecehan Seksual Secara Verbal di Balik Gurauan

Pelecehan seksual verbal biasanya mencakup komentar yang berbau seksual.(Foto: Dok. Shutterstock)

PARBOABOA, Jakarta - Gurauan yang dianggap biasa, tak jarang memicu terjadinya pelecehan seksual verbal.

Meski seringkali dianggap sepele, kata-kata berbau seksual atau komentar tak pantas bisa menimbulkan dampak mendalam bagi korban. Bisa merusak rasa percaya diri hingga memicu trauma psikologis.

Walau demikian, gurauan memang sering menjadi bagian dari interaksi sosial. Hal tersebut dianggap sebagai cara untuk mencairkan suasana atau mempererat hubungan dengan orang lain.

Pelecehan seksual verbal biasanya mencakup komentar yang berbau seksual, lelucon tidak pantas, hingga godaan yang tidak diinginkan.

Tidak sedikit yang menganggap hal ini lumrah dalam percakapan sehari-hari. Bahkan, beberapa pelakunya mungkin tidak menyadari bahwa apa yang mereka katakan adalah bentuk pelecehan.

Sayangnya, bagi korban, hal ini bisa sangat mengganggu. Pelecehan seksual verbal, meskipun dalam bentuk gurauan, dapat mempengaruhi kesehatan mental, harga diri, dan kenyamanan seseorang di lingkungan kerja, sosial, atau bahkan keluarga.

Belum lama ini, seorang konselor kesehatan mental, Rena Vara Indry Dubu menjelaskan, pelecehan seksual verbal adalah bentuk pelecehan yang menggunakan kata-kata, komentar, atau ucapan yang bersifat seksual dan tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasaran.

Sering kali, ungkap Rena, pelaku menganggap ini sebagai candaan atau sesuatu yang tidak serius. Namun, bagi korban, dampaknya bisa sangat merusak.

Sebuah survei yang dilakukan Komnas Perempuan pada 2020 menemukan bahwa 40% kasus pelecehan seksual di Indonesia terjadi dalam bentuk verbal.

Jumlah ini mungkin tampak kecil, tapi dampaknya luar biasa besar. Banyak korban yang enggan melaporkan kasus ini karena merasa akan dianggap terlalu sensitif atau tidak serius. Mereka takut tidak didengar atau malah dianggap berlebihan.

Bahkan, dalam Laporan Khusus Parboaboa bertajuk “Fenomena Gunung Es Kasus Kekerasan Seksual di Pulau Flores
” yang diterbitkan pada Senin, (23/09/2024), Pimpinan TRUK-F, Suster Fransiska Imakulata, mengungkapkan bahwa sebagian besar kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan seringkali terhenti di meja hukum.

"Dalam banyak kasus yang kami temui, keluarga korban cenderung memilih jalan damai dan menyelesaikannya secara kekeluargaan. Mungkin mereka merasa malu jika identitas korban diketahui publik," kata Ika saat diwawancarai oleh Parboaboa, Rabu (18/09/2024).

Pelecehan verbal sendiri, sering kali terjadi di ruang-ruang publik seperti kantor, sekolah, atau bahkan transportasi umum.

Hal ini menciptakan ketidaknyamanan yang luar biasa bagi korban. Bayangkan harus terus-menerus mendengar komentar yang merendahkan atau mengganggu, tanpa bisa melakukan apa-apa karena takut akan respons negatif dari lingkungan sekitar.

Dampak Jangka Panjang

Pelecehan seksual secara verbal tidak berhenti pada ketidaknyamanan sesaat. Banyak korban yang melaporkan bahwa mereka mengalami stres, depresi, hingga gangguan kecemasan setelah menjadi sasaran gurauan seksual yang tidak pantas.

Rasa percaya diri korban bisa menurun drastis, terutama jika pelecehan ini terjadi secara terus-menerus dan diabaikan oleh lingkungan sekitar.

Menurut American Psychological Association (APA), pelecehan seksual, termasuk dalam bentuk verbal, bisa menyebabkan dampak jangka panjang, seperti trauma psikologis dan penurunan kualitas hidup.

Di Indonesia, hal ini masih jarang disorot meskipun dampaknya jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari.

Padahal, UU yang mengatur pelecehan seksual verbal ini sudah lama disahkan. 

Memang, sejak disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tahun 2022, ada upaya serius dalam menangani berbagai bentuk pelecehan seksual, termasuk yang berbentuk verbal, namun hingga saat ini kasus serupa masih menjamur.

Selain itu, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan juga mendukung perlindungan terhadap perempuan dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan verbal.

Sayangnya, meski sudah ada regulasi, penerapan hukuman bagi pelaku pelecehan verbal masih sering terbentur pada bukti yang sulit dikumpulkan, atau kurangnya kesadaran masyarakat akan seriusnya dampak dari tindakan tersebut.

Banyak orang beralasan bahwa gurauan seksual hanyalah bentuk ekspresi yang tidak dimaksudkan untuk menyakiti.

Namun, kenyataannya, gurauan seperti ini lebih banyak merugikan ketimbang memberikan tawa.

Hal ini juga berkaitan dengan budaya patriarki yang sering kali membenarkan tindakan tersebut sebagai “kebebasan berekspresi” tanpa mempertimbangkan dampaknya pada korban.

Sebuah studi yang diterbitkan oleh Harvard Business Review menunjukkan bahwa gurauan dengan konten seksual bisa merusak dinamika di lingkungan kerja.

Bukan hanya korban yang merasa terintimidasi, tetapi juga menciptakan lingkungan yang kurang sehat bagi rekan kerja lain yang menyaksikan gurauan tersebut.

Membangun Kesadaran

Merespon fenomena ini, Rena menekankan pentingnya edukasi dan peningkatan kesadaran mengenai dampak negatif pelecehan seksual verbal. 

Ia mengatakan, masyarakat perlu lebih sadar bahwa ucapan yang dianggap gurauan bisa berdampak besar pada orang lain.

Menurutnya, penting untuk memberikan edukasi tentang batasan, serta bagaimana menghormati privasi dan perasaan orang lain.

Bagi korban pelecehan seksual verbal, Rena menyarankan agar tidak ragu untuk meminta bantuan.

Selain itu, langkah yang perlu ditempuh untuk mengatasi hal ini adalah dengan meningkatkan kesadaran bahwa hal tersebut salah.

Sebab, tidak semua orang memahami bahwa lelucon yang mereka lontarkan memiliki dampak serius pada orang lain.

Oleh karena itu, edukasi mengenai pelecehan verbal sangat penting, terutama di lingkungan kerja dan sekolah.

Hal ini, bisa ditempuh dengan, membuat kampanye kesadaran tentang dampak pelecehan verbal juga dapat membantu masyarakat lebih peka terhadap tindakan mereka.

Sebuah program pelatihan di tempat kerja tentang pelecehan seksual dapat membuat perbedaan besar dalam mencegah tindakan-tindakan yang tidak pantas tersebut.

Masyarakat juga memiliki peran besar dalam mengurangi pelecehan verbal.

Dengan menciptakan lingkungan yang tidak mendukung pelecehan dalam bentuk apapun, termasuk verbal, masyarakat bisa membantu korban merasa lebih aman dan didukung.

Misalnya, jika seseorang mendengar gurauan yang tidak pantas, mereka bisa dengan sopan menegur pelakunya dan menjelaskan bahwa gurauan tersebut tidak sesuai.

Di sisi lain, pemerintah harus terus memastikan bahwa regulasi yang sudah ada, seperti UU TPKS, dapat diterapkan secara efektif.

Proses pelaporan harus lebih mudah diakses oleh korban, dan penanganan kasus harus lebih serius, meskipun pelanggarannya terjadi dalam bentuk verbal.

Ini akan memberikan sinyal tegas bahwa pelecehan dalam bentuk apapun tidak akan ditoleransi.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS