PARBOABOA, Jakarta - Keterlibatan perempuan dalam dunia politik di Indonesia masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan dari waktu ke waktu.
Meskipun jumlah pemilih perempuan dan laki-laki hampir setara dalam setiap pemilihan, representasi perempuan sebagai calon kepala daerah (cakada) di Pilkada 2024 masih sangat rendah, yaitu hanya 10 persen dari total 3.036 calon.
Hal ini mengindikasikan bahwa diskriminasi gender dalam politik tetap menjadi persoalan besar bagi perempuan di Indonesia.
Menurut Plt. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Titi Eko Rahayu, ada berbagai faktor menjadi penghambat perempuan untuk maju dalam Pilkada.
Faktor-faktor tersebut, antara lain stereotip yang meragukan kemampuan perempuan, sistem politik yang didominasi budaya patriarki, hingga tantangan berupa kekerasan fisik dan psikis selama pemilu.
"Kehadiran perempuan di ranah politik memiliki peran krusial dalam memastikan pengambilan keputusan dan kebijakan yang berperspektif gender," ujar Titi dalam siaran Kemen PPPA, Selasa (10/09/2024).
Bagi Titi, persoalan sebagaimana disebutkan sebelumnya menyebabkan perempuan enggan berbicara terbuka, malu, dan tidak percaya diri untuk masuk dalam dinamika politik.
Ia juga menyoroti berbagai tantangan yang masih dihadapi perempuan dalam kontestasi politik, seperti kekerasan, baik secara fisik maupun psikis.
Tantangan lain adalah belum adanya standar rekrutmen khusus untuk kandidat perempuan, serta kurangnya program afirmatif dari partai politik yang mendukung promosi kandidat perempuan.
Menurut Titi, penting bagi perempuan cakada untuk memiliki kesadaran gender (gender awareness) dan memperhatikan isu-isu gender dalam kampanye, di samping memahami isu-isu aktual di daerah mereka.
“Karena itu, menjadi tanggung jawab kita untuk memastikan program yang ditawarkan cakada perempuan mampu menjawab permasalahan perempuan dan anak, menyelesaikan isu hingga ke akar, dan tidak melanggar prinsip-prinsip kesetaraan,” ujar Titi.
Ia juga menekankan pentingnya memastikan Pilkada Serentak 2024 bebas dari diskriminasi terhadap perempuan, baik sebagai peserta maupun pemilih.
Sementara itu, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menegaskan diskriminasi terhadap perempuan dalam politik merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Sebagai negara yang telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), Indonesia memiliki kewajiban melindungi dan memajukan hak perempuan.
Menurut Konvensi CEDAW, diskriminasi terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Perempuan berhak menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dengan prinsip persamaan, kesetaraan, dan keadilan setara dengan laki-laki," ujar Anggraini.
Selain itu, konvensi ini juga mengamanatkan negara untuk memastikan perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak-hak asasi perempuan secara menyeluruh.
"Prinsip utama CEDAW perlu terus disuarakan untuk memastikan Pilkada bebas dari segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, baik sebagai peserta maupun pemilih," tambahnya.
Sinergi Bersama
Secara nasional, data memang menunjukkan bahwa tren partisipasi politik perempuan dalam Pilkada mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Jika pada Pilkada 2015 hanya ada 124 perempuan cakada (7,5 persen), jumlah ini meningkat menjadi 161 perempuan (11 persen) pada Pilkada 2020, dan melonjak menjadi 306 perempuan pada Pilkada 2024.
Kendati jumlahnya meningkat, proporsi perempuan justru menurun dibandingkan Pilkada 2020 yang mencapai 11 persen. Hal ini mencerminkan stagnasi dalam mencapai kesetaraan gender di dunia politik.
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah terkait minimnya dukungan partai politik. Banyak partai belum memiliki kebijakan afirmatif untuk mendorong pencalonan perempuan.
Selain itu, perempuan sering kali menjadi sasaran kekerasan politik, baik secara fisik maupun psikologis.
Perempuan sebagai pemilih juga menghadapi berbagai hambatan, mulai dari minimnya informasi yang aksesibel hingga praktik jual beli suara yang sering menyasar perempuan karena loyalitas mereka sebagai pemilih.
Padahal, sebagaimana diungkapkan Westminster Foundation for Democracy dan Global Institute for Women’s Leadership di King’s College London (2021), kehadiran pemimpin perempuan dapat mendorong gaya kepemimpinan yang lebih kolaboratif dan inklusif.
Hal ini berdampak luas pada peluang menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera dan setara gender. Tujuan demikian hanya tercapai dengan mengarus utamakan peran perempuan.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah transformatif, termasuk penerapan kebijakan yang berpihak kepada perempuan, agar kesetaraan gender dalam politik dapat terwujud.
Sinergi antara pemerintah, partai politik, dan masyarakat menjadi kunci untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik.
Sebagai contoh, hadirnya tiga perempuan calon kepala daerah di Jawa Timur dalam Pilkada 2024 dapat menjadi simbol kemajuan sekaligus inspirasi bagi gerakan keterwakilan perempuan.
“Meskipun proporsi perempuan masih jauh dari target kuota 30 persen, Pilkada 2024 bisa menjadi momentum awal yang baik untuk menguatkan peran perempuan di dunia politik,” ujar Anggraini.
Dengan melibatkan perempuan secara lebih inklusif, Pilkada tidak hanya menjadi arena kompetisi politik, tetapi juga sarana memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat luas.
Transformasi ini membutuhkan komitmen bersama untuk menciptakan sistem politik yang lebih inklusif dan bebas diskriminasi, menjadikan Indonesia lebih adil dan setara menuju 2045.
"Kerja sama antara pemerintah, partai politik, dan masyarakat perlu diperkuat di masa mendatang untuk mendorong peningkatan keterwakilan perempuan sebagai peserta Pemilu dan Pilkada," imbuh Anggarini.