PARBOABOA, Jakarta - Kasus penyalahgunaan narkoba menjadi masalah umum yang dihadapi negara-negara dunia selama beberapa waktu terakhir.
Data terkini mengungkapkan bahwa di tingkat global, jumlah penyalahgunaan narkotika telah mencapai 296 juta orang, atau naik 12 juta dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, survei nasional mengenai prevalensi penyalahgunaan narkotika pada tahun 2023 mencatat sebanyak 1,73% pengguna narkoba, atau setara 3,3 juta penduduk Indonesia.
Umumnya, demikian tulis Badan Narkotika Nasional (BNN), "mereka yang menggunakan narkoba berada dalam rentang usia 15-64 tahun."
Pihak Polri telah secara intensif menangani kasus peredaran, penyalahgunaan, dan kejahatan narkoba. Hasilnya, mereka menemukan sebanyak 33.924 kasus sejak awal tahun 2024.
Pada bulan September 2024, sebanyak 4.865 orang dilaporkan terlibat dalam kasus narkoba. Di antara para terlapor, 13,73 persen di antaranya adalah pelajar dan mahasiswa.
Mereka mulanya memilih obat-obatan yang mudah ditemukan di pasaran dan dapat diakses dengan mudah. Obat-obatan tersebut juga bisa diperoleh tanpa memerlukan resep dokter.
Kenyataan ini menandakan pergeseran perilaku remaja dari yang semula mengkonsumsi minuman beralkohol menuju penggunaan obat-obatan terlarang.
Akibatnya, muncul tanda-tanda seperti rambut mudah rontok dan berminyak, mata cenderung memerah, sering berkeringat, serta memiliki bau badan yang menyengat.
Dari sisi perilaku, pengguna lebih sering berbohong, membantah orang tua, melakukan pencurian uang atau barang-barang berharga, serta menjadi lebih mudah tersinggung.
Pengguna narkoba juga mengalami gangguan mental, ketergantungan yan tinggi, gangguan perilaku dan kriminalitas, penurunan potensi diri, masalah ekonomi dan rusaknya hubungan sosial.
"Efek lain dari penggunaan narkoba yang sangat berbahaya adalah risiko kematian akibat overdosis," tulis dr. Rizal Fadli dalam artikel Penyalahgunaan Narkoba di laman haldoc.
Overdosis terjadi ketika seseorang mengonsumsi narkoba dalam jumlah yang jauh melebihi batas aman bagi tubuh.
"Kondisi ini dapat memicu gangguan pernapasan, kerusakan organ, hingga kegagalan sistem saraf pusat, yang dalam beberapa kasus dapat berujung pada kematian," lanjut Rizal.
Selain itu, kematian akibat penggunaan narkoba juga bisa disebabkan oleh keracunan. Banyak jenis narkoba mengandung bahan kimia beracun yang dapat merusak organ serta sistem vital dalam tubuh, sehingga meningkatkan risiko komplikasi fatal.
Langkah-langkah pencegahan yang benar sangat dibutuhkan untuk menangkal perilaku tersebut. Selain itu, proses rehabilitasi juga diperlukan untuk menyelamatkan mereka yang terpapar narkoba.
Proses Rehabilitasi
Rehabilitasi menjadi salah satu upaya penting yang dilakukan pemerintah Indonesia guna menangani masalah penyalahgunaan narkotika.
Penetapan rehabilitasi bagi pecandu narkotika merupakan bentuk hukuman alternatif yang ditetapkan oleh hakim, di mana masa rehabilitasi dapat diperhitungkan sebagai bagian dari masa hukuman.
Langkah ini dipilih sebagai upaya alternatif karena pecandu narkotika tidak hanya dipandang sebagai pelaku pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai korban dari kecanduan yang memerlukan perawatan dan pengobatan khusus untuk pulih.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menyatakan bahwa "pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial."
Selain itu, Pasal 57 undang-undang yang sama menambahkan bahwa "selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional."
Lebih lanjut, BNN menerangkan beberapa tahapan penting dalam proses rehabilitasi bagi pecandu narkoba.
Pertama, rehabilitasi medis (detoksifikasi). Pada tahap ini, pecandu diperiksa secara menyeluruh terkait kondisi fisik dan mentalnya oleh dokter yang terlatih.
Dokter kemudian menentukan apakah diperlukan pemberian obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang dialami pecandu.
Pemberian obat akan bergantung pada jenis narkoba yang digunakan dan tingkat keparahan gejala putus zat.
Dokter memerlukan kepekaan, pengalaman, serta keahlian untuk mendeteksi dan menangani gejala kecanduan tersebut.
Kedua, rehabilitasi non medis. Pada tahap ini, pecandu mengikuti program rehabilitasi di fasilitas yang disediakan.
Di Indonesia, terdapat berbagai tempat rehabilitasi yang dikelola, misalnya oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) di Lido (Kampus Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda.
Di fasilitas tersebut, pecandu menjalani berbagai program seperti therapeutic communities (TC), program 12 steps, pendekatan keagamaan, dan lainnya.
Ketiga, bina lanjut (after care). Tahap ini bertujuan untuk membantu pecandu beradaptasi kembali dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka diberikan kegiatan yang sesuai dengan minat dan bakat mereka, seperti melanjutkan pendidikan atau kembali bekerja, namun tetap di bawah pengawasan.
Pengawasan dan evaluasi secara berkelanjutan sangat penting di setiap tahap untuk memastikan proses pemulihan berjalan dengan baik.