Mafia Pupuk, Ancaman Besar di Balik Program Swasembada Pangan

Upaya Atasi Mafia Pupuk demi Terwujudnya Program Swasembada Pangan. (Foto. Dok. Kementerian Pertanian)

PARBOABO, Jakarta - Sistem pertanian di Indonesia telah lama menjadi tumpuan harapan untuk mewujudkan swasembada pangan dan memperkuat perekonomian nasional.

Namun, di tengah cita-cita besar itu, para petani terus menghadapi ancaman serius yaitu mafia pupuk.

Praktek ilegal ini menjadi penghalang besar dalam upaya meningkatkan produktivitas lahan dan memastikan kesejahteraan petani.

Bagaimana tidak? Pupuk bersubsidi, yang seharusnya menjadi hak petani kecil, justru sering diselewengkan oleh segelintir pihak untuk keuntungan pribadi.

Mafia pupuk bukanlah fenomena baru, tetapi dampaknya semakin terasa di berbagai daerah.

Para mafia pupuk ini memanfaatkan celah dalam sistem distribusi dan lemahnya pengawasan.

Pupuk bersubsidi kerap dijual dengan harga lebih tinggi di pasar gelap, bahkan tak jarang dicampur dengan pupuk palsu yang kualitasnya jauh di bawah standar.

Data Kementerian Pertanian pada 2023 menunjukkan bahwa sekitar 10% pupuk bersubsidi mengalami kebocoran distribusi.

Angka ini sangat memprihatinkan, mengingat pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp25 triliun untuk subsidi pupuk tahun tersebut.

Kenyataannya,praktik mafia pupuk tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan berbagai pihak, mulai dari oknum distributor hingga pegawai di instansi pemerintahan.

Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, beberapa waktu lalu mengungkap kasus besar yang melibatkan 27 perusahaan.

Ke-27 perusahaan ini menjual pupuk dengan standar di bawah ketentuan, bahkan empat di antaranya memproduksi pupuk palsu.

“Akibat tindakan mereka, potensi kerugian petani diperkirakan mencapai Rp3,23 triliun, sementara kerugian negara mencapai Rp316 miliar,” ungkap Amran di kantor Kementerian Pertanian, Selasa (26/11/2024).

Tak hanya itu, 11 pegawai Kementerian Pertanian yang terlibat juga langsung dinonaktifkan.

Langkah tegas ini menjadi sinyal kuat dari Kementerian Pertanian di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto.

Namun, penyelesaian kasus ini tidak cukup hanya dengan penonaktifan pegawai atau blacklist perusahaan.

Amran menegaskan bahwa berkas kasus ini telah diserahkan kepada aparat penegak hukum, dan ia berharap tindakan ini memberikan efek jera bagi pelaku lainnya.

Selain itu, pengawasan akan diperketat untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.

Indonesia sebenarnya memiliki regulasi yang dirancang untuk memastikan distribusi pupuk bersubsidi berjalan dengan baik.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022 mengatur secara detail tata cara penyaluran pupuk hingga ke tingkat petani.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 memberi kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut kasus seperti ini.

Sayangnya, pelaksanaan di lapangan sering kali jauh dari ideal. Koordinasi yang lemah antara pemerintah daerah dan distributor menjadi celah utama yang dimanfaatkan oleh mafia.

Dampak langsung dari praktek ini sangat dirasakan oleh petani. Harga pupuk yang seharusnya terjangkau melonjak tinggi, sehingga biaya produksi meningkat drastis.

Di Jawa Timur, seorang petani mengaku harus membeli pupuk dengan harga dua kali lipat dari harga subsidi.

Ia tak punya pilihan lain karena tanpa pupuk, hasil panennya akan gagal. Kondisi seperti ini tidak hanya merugikan individu petani, tetapi juga mengancam ketahanan pangan nasional.

Dengan produktivitas yang menurun, ketergantungan pada impor pangan semakin besar, melemahkan posisi Indonesia sebagai negara agraris.

Karena itu, untuk melawan mafia pupuk, pemerintah telah mengembangkan sistem digitalisasi seperti e-RDKK (Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok).

Sistem ini dirancang untuk memastikan distribusi pupuk bersubsidi tepat sasaran. Namun, efektivitasnya masih perlu ditingkatkan.

Pelaporan manual di sejumlah daerah seringkali membuat data tidak sinkron, membuka peluang manipulasi data oleh mafia.

Pemerintah juga bekerja sama dengan KPK dan kepolisian untuk mengusut jaringan mafia hingga ke akar-akarnya.

Beberapa pelaku telah ditangkap, tetapi hukuman yang dijatuhkan sering kali tidak memberikan efek jera.

Ke depan, pemberantasan mafia pupuk membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif.

Penggunaan teknologi blockchain dapat menjadi solusi untuk memastikan transparansi dalam setiap transaksi distribusi pupuk.

Selain itu, keterlibatan masyarakat, khususnya petani, dalam mengawasi distribusi pupuk juga sangat penting.

Pemerintah perlu memberikan edukasi kepada petani agar mereka lebih memahami hak-hak mereka, sehingga tidak mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Kasus mafia pupuk menjadi pengingat akan pentingnya sinergi antara pemerintah, aparat hukum, dan masyarakat dalam melindungi sektor pertanian.

Jika masalah ini terus dibiarkan, bukan hanya petani yang dirugikan, tetapi juga masa depan ketahanan pangan Indonesia.

Dengan langkah yang lebih tegas dan pengawasan yang lebih ketat, Indonesia dapat bergerak menuju sistem pertanian yang bersih dan berkelanjutan, di mana hak petani dihormati dan produktivitas nasional meningkat.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS