Penculikan Anak dan Sejumlah Motif di Belakangnya

Ilustrasi penculikan anak. (Foto: Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan KB)

PARBOABOA, Jakarta - Anak-anak merupakan kelompok usia rentan yang seringkali menjadi korban dari berbagai jenis kejahatan.

Salah satu bentuk kejahatan yang menyasar mereka adalah penculikan. Terbaru, hal itu dialami oleh bocah perempuan 9 tahun asal Tangerang Selatan (Tangsel), Banten.

Anak berinisial AN itu diculik sewaktu pulang sekolah sekitar pukul 16.00 WIB, Senin (23/9/2024) di Jalan Sukamalaya, Ciputat.

Berdasarkan penuturan Ketua RT setempat, Ali, pelaku melancarkan aksinya dengan memanipulasi korban.

Kata dia, sang penculik berdalih bahwa ibu AN kecelakaan sehingga memaksa korban untuk ikut dengannya menggunakan sepeda motor.

Mereka lalu pergi bersamaan menuju rumah korban di Suka Mulya, Serua Indah, Ciputat. Tetapi sesampainya di depan rumah, pelaku berbelok arah menuju Pamulang.

"Pas di pintu gerbang langsung dibawa. Dibilang ibunya kecelakaan, lalu langsung diajak ke arah Pamulang," kata Ali.

Dia menyebutkan bahwa warga sempat panik ketika penculikan terjadi. Pencarian pun langsung dilakukan dengan berpencar, baik oleh keluarga maupun warga sekitar. 

Setelah sekitar enam jam, pelaku akhirnya mengembalikan korban di lokasi yang tidak jauh dari tempat kejadian.

Ali menjelaskan, korban dikembalikan dalam keadaan menangis. Saat itu, warga masih berkumpul mencari AN di sekitar SMP 23. 

Pelaku tiba sekitar pukul 10 malam, menurunkan korban dari motor, dan langsung pergi melarikan diri.

'Kebetulan kita lagi rame-rame disini, lagi nyari, ya begitu saja diturunin dan pake motor mio sendiri," jelasnya.

Peristiwa ini sudah sampai di tangan aparat berwenang setelah pihak keluarga membuat laporan polisi pada Selasa sore, (24/9/2024). 

Kuat dugaan korban mengalami pencabulan dari penculik. Hal itu disampaikan langsung oleh Kasi Humas Polres Tangsel, AKP Muhamad Agil setelah mendalami laporan keluarga.

Namun begitu, pihaknya tidak dapat merinci secara jelas bagaimana pelecehan itu terjadi.

"Laporannya begitu" kata Agil, Kamis (26/9/2024).

Saat ini, kepolisian kata dia, sudah melakukan upaya-upaya mengumpulkan keterangan, saksi-saksi, petunjuk dan hal-hal lainnya.

Tangsel akhir-akhir ini memang sedang darut penculikan anak. Sebelumnya, penculikan juga terjadi pada seorang bocah laki-laki 11 tahun berinisial KFA. 

Ia diculik oleh seorang pria yang memakai jaket ojek online di Jalan Perumahan Griya Asri, Kelurahan Jelumpang, Serpong, Tangsel, Minggu, (8/9/2024).

KFA berhasil ditemukan keesokan harinya. Kapolres Kota Tangsel, AKBP Victor Inkiriwang, menyampaikan korban ditemukan di Mushola Darussalam, Kampung Baru, Serpong Utara, Senin dini hari, (9/9/2024).

Untuk diketahui, pada tahun 2022, Polri mencatat penculikan terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Sebanyak 28 kasus melibatkan anak-anak sebagai korban, atau sekitar 12,02 persen dari total kasus.

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan jumlah yang sedikit lebih tinggi, dengan 35 anak menjadi korban penculikan berdasarkan sistem data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). 

Kendati demikian, tidak semua kasus tersebut diproses melalui jalur hukum, terutama jika penculikan dilakukan oleh keluarga korban atau orang-orang terdekat.

Sementara itu, memasuki awal tahun 2023, berdasarkan data Kemen PPA tercatat 28 kejadian penculikan yang di beberapa wilayah.

Motif Penculikan

Maraknya kasus penculikan anak di Indonesia, memunculkan banyak pertanyaan terkait apa saja motif di belakangnya.

Eks Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto, menyampaikan berdasarkan laporan yang pernah diterima KPAI, sekurang-kurangnya, ada lima motif yang paling sering dilakukan penculik.

Pertama, tegasnya, motif insidental, yaitu coba-coba. Misalnya, saat melihat anak tanpa pantauan orang tua, terbersit keinginan pelaku untuk menculik, "siapa tahu suatu saat ada yang memerlukan sehingga bisa dijual."

Ia menegatakan, motif ini terikat dengan kepentingan pelaku untuk memperoleh imbalan berupa uang.

Kedua, motif tindak pidana perdagangan orang atau TPPO. Di sini, anak diculik untuk kemudian dijual melalui jaringan yang sistematis dan rapi.

Menurutnya, lingkaran kejahatan ini sulit dilacak karena sudah menjadi sindikat. Hal ini sebagiannya terkonfirmasi dari temuan KPAI (2023) yang mencatat sebanyak 53 anak jadi korban TPPO.

Motif berikutnya adalah kondisi tidak memiliki anak. Keinginan untuk memiliki sang buah hati membuat mereka nekat menculik. Tetapi Susanto menyampaikan motif ini relatif kecil.

Kempat, motif balas dendam. Ini biasanya dipicu oleh persoalan orang tua dengan pelaku. "Anak dijadikan alat untuk balas dendam," katanya.

Terakhir, menculik untuk melampiaskan nafsu seksual. KPAI menemukan, anak-anak yang diculik karena motif ini rata-rata berusia di bawah 16 tahun.

Untuk memutus mata rantai penculikan anak, dengan sejumlah modus di belakangnya, lantas apa yang mesti dilakukan?

Psikolog UGM, Edilburga Wulan Saptandari menekankan pentingnya pengawasan orang tua terhadap anak-anak.

Orang tua, tegasnya, punya peran penting dalam memberikan perlindungan bagi anak, terutama dalam menghadapi orang asing. 

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan membekali anak pengetahuan dasar tentang apa yang harus dilakukan saat mereka berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal. 

Misalnya, anak harus diajarkan untuk tidak mudah percaya, tidak langsung berbicara, apalagi menerima sesuatu dari orang yang baru mereka temui.

Tak hanya itu, orang tua juga bisa membantu anak untuk melindungi diri secara fisik, dengan mengenalkan mereka pada teknik-teknik dasar bela diri. 

Di sisi lain, anak perlu diberi tahu bahwa jika merasa terancam, mereka harus berani berteriak meminta tolong dan mencari bantuan dari orang yang tepat, seperti satpam atau petugas di tempat umum.

Selain mengajarkan anak untuk waspada, penting juga bagi orang tua untuk membantu anak mengenali identitas diri mereka sendiri. 

Anak perlu menghafal informasi penting seperti nama lengkap, nama orang tua, alamat rumah, dan nomor telepon orang tua. Dengan begitu, jika mereka berada dalam situasi yang tidak terduga, mereka tahu bagaimana cara mengidentifikasi diri.

Kebiasaan untuk selalu meminta izin juga menjadi langkah penting dalam menjaga keselamatan anak. Mengajarkan anak untuk selalu meminta izin sebelum melakukan sesuatu dapat membantu mereka memahami batasan-batasan yang ada. 

Jika suatu hari ada orang asing yang menawarkan sesuatu atau mengajak pergi, anak yang sudah terbiasa meminta izin kepada orang tua akan lebih waspada dan tidak mudah terbujuk.

Seiring dengan perkembangan teknologi, orang tua juga harus memperhatikan keamanan anak saat bermedia sosial. Anak-anak perlu diberi pemahaman bahwa memberikan informasi pribadi di dunia maya bisa berbahaya. 

Banyak kasus penculikan, kata Wulan, bermula dari perkenalan di media sosial atau permainan online. Oleh karena itu, literasi digital dan keamanan siber menjadi hal yang penting untuk diajarkan, terutama kepada anak-anak praremaja dan remaja.

Pada akhirnya, tanggung jawab orang tua adalah memastikan bahwa anak-anak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk menjaga diri, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Tidak kalah penting, peran pemangku kepentingan, terutama pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengakhiri lingkaran setan penculikan anak.

Baru-baru ini, ada secercah harapan karena Bareskrim Polri membentuk dua Direktorat Baru untuk menangani kekerasan dan kejahatan pada anak dan perempuan, yaitu Direktorat PPA dan PPO.

Peneliti senior Imparsial, Al Araf punya harapan dua lembaga baru ini bisa menangani secara tuntas kasus kekerasan pada anak dan perempuan, seperti "penculikan, perundungan dan pembunuhan anak di bawah umur."

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS