Pematangsiantar Butuh Pemimpin Kritis

Kolase ikonik Kota Pematangsiantar, Sumatra Utara. (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

Ini Soal Pentingnya Menjadi Kritis

PARBOABOA, Pematangsiantar – Ada pepatah yang mengatakan, "makan dulu baru berfilsafat." Artinya simpel, logika tidak akan berjalan tanpa logistik yang mendukung.

Kalau diterjemahkan ke konteks sekarang, ungkapan itu sangat relevan, terutama ketika membahas peran pendidikan dalam membentuk pola pikir kritis di era postmodernisme. Kemampuan berpikir ini sangat penting untuk menyaring informasi setiap hari, terutama dari media sosial.

Tapi masalahnya, sekolah yang seharusnya jadi tempat belajar kritis malah tidak berjalan sesuai harapan. Faktor terbesarnya adalah karena ekonomi.

Bagaimana mungkin seseorang bisa berpikir kritis jika kebutuhan pangannya belum terpenuhi?

Di Indonesia, terutama Pematangsiantar, tantangan ini memang berpengaruh besar ke kualitas pendidikan.

Ini mirip lingkaran setan. Kalau ekonominya tidak bagus, pendidikan sulit berkembang. Tapi kalau tidak ada pendidikan yang baik, ekonomi juga sulit maju. Jadi, kembali lagi ke pepatah tadi,"logika tidak akan berjalan tanpa logistik."

Tapi buat Tumpak Winmark Hutabarat, seorang pegiat literasi, pepatah itu bukan alasan untuk menyerah. Dia malah curiga, mungkin aja ada pihak yang sengaja membuat masyarakat malas mikir supaya gampang diatur.

"Indonesia, dengan sumber daya alam yang melimpah, sebenarnya memiliki potensi besar untuk memperbaiki kondisi ekonomi," ujarnya kepada Parboaboa baru baru ini.

Dengan pemanfaatan yang tepat, ekonomi dapat tumbuh dan peluang untuk melatih pola pikir kritis pun akan semakin terbuka.

Kota Pematangsiantar misalnya, memang tidak banyak sumber daya alam yang bisa diolah menjadi objek wisata untuk menumbuhkan ekonomi masyarakat setempat.

Akan tetapi, potensi besar ada di sumber daya manusianya. Kalau industri kreatif di kota ini dimaksimalkan, bukan cuma ekonomi yang tumbuh, tapi juga masyarakatnya jadi lebih kritis dan kreatif.

"Sayangnya, belum ada sosok pemimpin kota Pematangsiantar yang sadar dan melihat peluang industri kreatif dalam memajukan kota ini.”

Dengan Pilkada serentak yang sebentar lagi, Tumpak berharap akan ada pemimpin yang bisa lihat peluang ini. Meskipun ia menilai kebanyakan pemimpin masih fokus ke proyek-proyek jangka pendek yang cuma mikirin untung cepat.

Menurut Tumpak, pemimpin yang ideal adalah yang mengerti betapa pentingnya kreativitas. Mendukung anak-anak muda di bidang kreatif dapat membuat kota ini berkembang lebih lama dan stabil sekaligus meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

"Pembangunan melalui kreativitas, seperti pengembangan UMKM dan kerajinan tangan, memang memerlukan keteguhan dan kesabaran—berbeda dengan hasil instan yang sering diharapkan oleh banyak pemimpin.”

Namun, ia menilai kalau para pemimpin dan pemerintah kota ini masih kurang sabar untuk menggali potensi besar tersebut, atau mungkin tidak memiliki visi jangka panjang. Ini terlihat dari belum adanya infrastruktur yang mendukung industri kreatif, seperti gedung pameran seni.

"Akibatnya, industri kreatif di kota ini tidak bisa berkembang maksimal karena belum ada pemimpin yang melihat dan memanfaatkan peluang tersebut.”

Selain itu, masalah literasi juga menjadi kendala. Literasi yang lemah membuat perkembangan industri kreatif jadi lambat.

Tumpak percaya, literasi adalah pondasi dari kreativitas. Kalau tidak ada kemampuan literasi yang baik, bagaimana mau menghasilkan karya yang menarik?

Seorang pemimpin yang paham literasi dapat melihat dan memanfaatkan peluang di industri kreatif. Tapi sayangnya, literasi di Pematangsiantar masih tertinggal.

Komunitas literasi tidak seaktif di kota lain seperti Medan, padahal Pematangsiantar punya kampus yang seharusnya bisa jadi pusat literasi.

Menurut Tumpak, kampus sebagai miniatur peradaban harusnya berperan lebih besar dalam promosi literasi. Seorang pemimpin yang bijaksana juga harus bisa mengarahkan kampus ke arah yang lebih aktif dalam hal ini.

"Ada kapasitas (intelektual) di kota ini, seperti jurusan sejarah di kampus, tetapi jumlah penulis dan sejarawan masih terbatas. Permasalahan seperti administrasi penerbitan buku dan rendahnya minat baca juga menjadi hambatan.”

Permasalahan seperti administrasi penerbitan buku dan rendahnya minat baca juga jadi hambatan. Dia menilai, pemimpin dan pemerintah kota perlu introspeksi.

Salah satunya dengan memperbarui fasilitas perpustakaan supaya sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Buku-buku yang relevan dan menarik harus disediakan supaya literasi lebih dekat dengan masyarakat.

"Dan literasi itu bukan hanya soal membaca buku. Kita berdiskusi tentang film yang bagus atau kegiatan lain yang membentuk pola pikir kritis itu juga termasuk literasi.”

Menurutnya, kolaborasi antara pemimpin kota dengan budayawan dan seniman bisa membantu mengatasi masalah ini.

Misalnya, pameran seni bisa jadi sarana literasi, di mana orang belajar memahami makna karya seni. Lewat pendekatan seperti ini, literasi dan industri kreatif bisa berkembang bareng-bareng, yang pada akhirnya bakal memberi manfaat jangka panjang untuk Pematangsiantar.

"Saya ragu, apakah di lima tahun ke depan akan muncul pemimpin yang bisa berpikir sampai ke situ," tutupnya.

Selain Tumpak, seorang budayawan bernama Sultan Saragih juga punya pandangan soal pemimpin ideal untuk Pematangsiantar.

Pertama, ia menilai kalau pemimpin tersebut harus mengenal dan memahami idiom serta khazanah budaya lokal Simalungun, juga akrab dengan para budayawan setempat.

Pemimpin juga harus bisa mengakomodasi keragaman yang ada, karena masyarakat Pematangsiantar sangat heterogen.

"Pemimpin kota perlu memberdayakan berbagai etnis yang turut memperkaya kebudayaan kota, seperti Batak Toba, Pakpahan, Karo, Mandailing, Melayu, Jawa, Tionghoa dan lainnya," ujarnya kepada Parboaboa.

Kedua, pemimpin kota harus memiliki data yang komprehensif tentang kantong-kantong budaya di Pematangsiantar, seperti sanggar, komunitas, budayawan dan seniman yang aktif.

Kemudian penting bagi pemimpin untuk memikirkan cara memajukan dan memberikan akses bagi mereka agar bisa tampil dan memiliki panggung.

Setiap sanggar perlu mendapatkan kesempatan untuk tampil, mengadakan pameran, dan difasilitasi dalam menggelar pertunjukan-pertunjukan.

"Dengan demikian, ada pendampingan nyata dari pemimpin kota terhadap kantong-kantong budaya yang ada.”

Ketiga, pemimpin harus memiliki visi untuk mendorong pelestarian dan pengembangan budaya, baik melalui sekolah dan sanggar-sanggar. Dinas Pendidikan dan Dinas Pariwisata ikut berperan di dalamnya.

Hal tersebut menurut Sultan dapat dilakukan dengan rutin mengadakan lomba seni lukis, tari atau kuliner lokal, serta mengadakan pelatihan seni untuk sekolah dan sanggar.

"Semua ini akan memperkuat dukungan bagi pemajuan kebudayaan di kota Pematangsiantar.”

Tamat.
Editor: Yohana
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS