PARBOABOA, Jakarta - Pekerja Rumah Tangga (PRT) menjadi salah satu kelompok masyarakat yang seringkali terabaikan dalam tatanan sosial dan hukum.
Padahal, mereka memberikan kontribusi besar bagi kehidupan banyak keluarga di Indonesia, namun seringkali bekerja melebihi ketentuan umum.
PRT tidak hanya menghadapi jam kerja panjang, tetapi juga risiko pelecehan, gaji yang tidak memadai, dan tidak adanya jaminan sosial yang layak.
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) seharusnya menjadi jawaban atas ketidakadilan ini, namun sayangnya, hingga kini belum kunjung disahkan.
Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2019, ada sekitar 4,2 juta PRT di Indonesia.
Angka ini kemungkinan lebih besar karena banyak dari mereka yang tidak terdata secara resmi.
Dari jumlah tersebut, sebagian besar adalah perempuan yang bekerja di sektor informal.
Sayangnya, sebagian besar PRT ini bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Mereka rentan terhadap eksploitasi karena tidak ada aturan yang jelas mengenai jam kerja, upah minimum, maupun hak-hak lainnya seperti cuti atau perlindungan dari kekerasan.
Sementara, Penelitian yang dilakukan oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa PRT sering kali mendapatkan gaji jauh di bawah standar upah minimum daerah (UMR).
Banyak dari mereka yang bekerja lebih dari 12 jam sehari tanpa kompensasi lembur, tanpa kontrak tertulis, dan tanpa akses jaminan sosial.
Ironisnya, pekerjaan PRT ini sering kali dianggap remeh oleh masyarakat, padahal mereka menjalankan tugas yang sangat esensial dalam rumah tangga.
Selain itu, Komnas Perempuan mencatat bahwa PRT paling banyak adalah perempuan yang secara khusus memiliki kerentanan untuk menjadi korban diskriminasi dan kekerasan.
Apalagi, pengakuan dan perlindungan dari pemerintah terhadap PRT masih belum optimal.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan selama periode 2005-2023, tercatat ada 2.344 kasus kekerasan terhadap PRT yang dilaporkan oleh Lembaga Layanan Mitra Komnas Perempuan.
RUU PPRT Sangat Dibutuhkan
RUU PPRT dirancang untuk mengatur hak dan kewajiban antara PRT dan pemberi kerja, sekaligus melindungi mereka dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi.
Salah satu poin penting dalam RUU ini adalah pemberlakuan kontrak kerja yang tertulis, sehingga hak-hak PRT, termasuk jam kerja, upah, dan cuti, diatur secara jelas.
Selain itu, RUU ini juga memberikan perlindungan terhadap PRT dari berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, seksual, maupun verbal yang sering kali terjadi tanpa penanganan serius.
RUU ini juga mengatur jaminan sosial bagi PRT, seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Sebelumnya, banyak PRT yang tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang layak, atau jaminan ketenagakerjaan seperti asuransi kecelakaan kerja. Jika RUU ini disahkan, PRT akan mendapatkan perlindungan yang lebih komprehensif.
Namun, proses pengesahan RUU PPRT ini terus terhambat. RUU yang pertama kali diusulkan pada 2004 ini belum juga mendapatkan titik terang hingga saat ini.
Padahal, banyak negara seperti Filipina dan Brazil sudah memiliki regulasi yang melindungi pekerja rumah tangga.
Penundaan ini memperlihatkan betapa lemahnya perhatian pemerintah terhadap nasib PRT yang sebagian besar merupakan perempuan.
Desakan PMKRI
Desakan agar RUU PPRT segera disahkan terus datang dari berbagai elemen masyarakat. Terbaru, Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Pengurus Pusat PMKRI menetapkan Isu tentang PPRT menjadi isu prioritas.
Ketua LPP Pengurus Pusat PMKRI (2024-2026), Kristina Elia Purba, pun menyoroti kinerja DPR RI yang berjalan lamban.
Menurutnya, masyarakat telah menunggu selama 20 tahun, namun belum ada perubahan signifikan terkait pengesahan RUU PPRT.
Oleh karena itu, PMKRI mendesak DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT sebagai inisiatif DPR, agar perlindungan terhadap pekerja rumah tangga semakin kuat dan isu-isu terkait bisa ditekan.
Kristina juga mengajak masyarakat sipil dan media massa untuk terus menyuarakan hak-hak pekerja rumah tangga, mendorong DPR RI agar segera menyelesaikan pengesahan RUU ini.
"Pengesahan RUU PPRT menjadi UU adalah langkah penting dalam memenuhi hak-hak konstitusional warga, terutama terkait pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan," tegas Kristina.
Bahkan sebelumnya, pada tahun 2020, Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PPRT, mengingat kondisi PRT yang semakin terpuruk di masa pandemi COVID-19.
Selama pandemi, banyak PRT yang kehilangan pekerjaan tanpa kompensasi, sementara yang masih bekerja menghadapi peningkatan beban kerja dan risiko kesehatan tanpa perlindungan.
Meskipun sudah ada beberapa langkah positif, seperti masuknya RUU PPRT ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi hingga kini belum ada langkah konkret untuk membawa RUU ini ke tahap pengesahan.
Ketika berbicara mengenai perlindungan PRT, komitmen pemerintah menjadi kunci utama. Pemerintah seharusnya dapat menjadikan pengesahan RUU PPRT sebagai prioritas nasional.
Perlindungan terhadap PRT bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah kemanusiaan.
Di banyak negara, pekerja rumah tangga sudah diakui sebagai bagian penting dari tenaga kerja, dan mereka mendapatkan hak-hak yang sama seperti pekerja formal lainnya.
Dalam konteks Indonesia, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum mencakup pekerja rumah tangga secara spesifik, sehingga kekosongan hukum ini menempatkan mereka dalam posisi yang rentan.
Jika pemerintah serius dalam melindungi hak-hak perempuan dan sektor informal, pengesahan RUU PPRT menjadi langkah konkret yang harus segera dilakukan.
Menurut Kristina, Pengesahan RUU PPRT akan memberikan berbagai manfaat baik bagi pekerja maupun pemberi kerja.
Bagi pekerja misalnya, undang-undang ini akan memberikan jaminan keamanan kerja, upah yang layak, serta perlindungan dari kekerasan.
Sementara bagi pemberi kerja lanjutnya, adanya aturan yang jelas juga akan membantu dalam membangun hubungan kerja yang lebih sehat dan harmonis.
Keseimbangan ini penting untuk menjaga keberlanjutan sistem kerja rumah tangga di Indonesia.
Lebih lanjut ia mengatakan, dengan adanya perlindungan hukum yang jelas, PRT juga akan mendapatkan akses ke pendidikan dan pelatihan kerja yang lebih baik.
Hal ini akan membantu meningkatkan kualitas mereka sebagai tenaga kerja dan memperkuat sektor informal di Indonesia..
Ia pun berharap, masyarakat juga harus berpartisipasi aktif dalam mendorong pengesahan RUU PPRT.
Misalnya dengan memberikan dukungan kepada gerakan-gerakan yang memperjuangkan hak PRT.
Selain itu, edukasi tentang pentingnya perlindungan bagi pekerja rumah tangga juga harus terus dilakukan.
Langkah ini akan membantu mengubah stigma negatif yang selama ini melekat pada profesi PRT dan menempatkan mereka sebagai pekerja yang memiliki hak-hak yang setara.
Sementara sebagai individu, kita juga dapat mengambil peran dengan memastikan bahwa hubungan kita dengan PRT lebih adil dan manusiawi.
Memastikan bahwa mereka mendapatkan hak-hak yang layak adalah bentuk kontribusi kecil yang bisa kita berikan untuk mendukung gerakan ini.
Editor: Norben Syukur