Preman-preman Timur di Jantung Ibu Kota

Beberapa orang timur terlihat sedang memantau situasi di area parkiran salah satu club malam di Jakarta. (Foto: PARBOABOA/Calvin Vadero Siboro)

PARBOABOA - Perjumpaan dengan beberapa sesepuh dari Jakarta yang tengah berlibur ke Ambon beberapa tahun silam, mengubah cara pandang Eten (35) tentang kehidupan.

Wajah Jakarta dengan seluruh kemewahan yang digambarkan, sukses menghipnotis pria yang dijuluki ‘Raja Terakhir’ itu. 

Keyakinannya perlahan tumbuh, bahwa jika ingin mengubah nasib, ia mesti keluar dari kampung halaman. Mimpi-mimpi besar hanya bisa dirajut di ibu kota.

"Abang-abang saya pulang dari Jakarta itu sudah keren. Style-nya gagah, pake ini kalung emas. Kayak termotivasi. Jadi pengen untuk ikut-ikut abang," cerita Eten kepada Parboaboa, Sabtu (12/10/2024).

Selepas lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), Eten ingin segera merantau. Niat itu berbenturan dengan orangtua yang memaksanya melanjutkan kuliah di Ambon.   

Ia tak bisa melawan. Didikan keras orang tua membuatnya tunduk. Eten terpaksa mengikuti keinginan mereka, meski dengan berat hati.

Beberapa tahun menjalani studi di universitas, Eten memutuskan berhenti. Bayang-bayang wajah Jakarta masih melekat di kepala. Ia tak ingin berlama-lama lagi di kampung halaman. 

"Padahal orang tua mampu, mampu untuk kasih sekolah tinggi-tinggi. Saya dulu putus kuliah di semester tujuh," katanya.

Medio 2014, Eten menuju Jakarta. Ia semula tinggal di rumah beberapa senior Ambon yang sudah lama merantau di kota metropolitan itu.

Umumnya, mereka adalah penagih utang (debt collector) dan penjaga lahan sengketa. Eten mulai mengikuti seniornya di lapangan setelah beberapa hari berada di Jakarta.

Ia bilang, pola semacam ini sudah menjadi kebiasaan orang-orang Ambon diaspora. Anak-anak yang baru datang dari kampung harus mengikuti seniornya yang sudah punya nama besar di Jakarta.

Ini semacam strategi untuk menyelami lebih dalam seluk beluk dunia jalanan. Mereka perlu beradaptasi dengan kehidupan baru di Jakarta yang serba keras.

Terlebih, sebagian besar perantau hanya berbekal ijazah SMA, beberapa yang lainnya bahkan putus sekolah. Mempertebal nyali, menjadi pilihan paling mungkin untuk bisa bertahan hidup.

"Rata-rata semua emang kayak gitu, datang ke Jakarta awalnya tetap ikut senior semua. Abang yang udah punya power, udah punya nama lah," kata Eten.

Menjadi penagih utang di Jakarta memang bukan perkara mudah. Eten dan para seniornya kerap berbenturan dengan debitur di lapangan. 

Banyak debitur nakal yang enggan membayar hutang. Mereka bahkan menggunakan jasa preman untuk menghalangi kerja-kerja penagihan. Konflik pun tak bisa dihindarkan jika negosiasi mentok.

Ilustrasi debt collector. (Foto: Unsplash)

Menurutnya, penagihan utang melalui jalan kekerasan, beririsan dengan taring penegakan hukum yang tumpul kala itu. Benturan yang berpotensi pidana di lapangan tak banyak disorot aparat.

"Dulu itu kita gak terlalu terikat sama hukum ya. Hukum itu dulu masih belum terlalu, masih gelap dulu ya," jelas Eten.

Di sisi lain, iklim kompetisi di jalanan dengan sejumlah kelompok lain memaksa mereka untuk menunjukkan taji di Kota Jakarta.

Mereka perlu memoles citra demi meningkatkan reputasi kelompok. Semakin sering terlibat dalam bentrokan di jalanan, keberadaan mereka akan diperhitungkan di lingkaran kelompok lain.

Hal ini, kata Eten, juga tak hanya menebalkan kepercayaan klien, tetapi juga membuka peluang masuknya orderan dari klien lain yang membutuhkan jasa mereka.

"Kalau dulu baku potong, iya pasti kalau dulu baku potong, karena orang datang pakai samurai," kenang Eten.

Keberadaan kelompok-kelompok timur kembali disorot selepas peristiwa pembubaran paksa diskusi yang digelar Forum Tanah Air (FTA) di sebuah hotel di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (28/9/2024) lalu.

Sekelompok orang merangsek ke dalam acara diskusi FTA yang dihadiri sejumlah tokoh tanah air. Mereka memaksa membubarkan acara dan menurunkan banner yang terpasang tanpa motif yang jelas.

Di media sosial, wajah-wajah pelaku yang terekam kamera, diasosiasikan dengan kelompok preman dari Indonesia Timur, yang kesehariannya menjadi penagih dan penjaga lahan sengketa di Jakarta. 

Mereka diduga menerima bayaran untuk kepentingan elit politik tertentu, meskipun hingga kini belum bisa dibuktikan. 

Refly Harun, yang saat itu hendak menjadi narasumber, mendesak aparat kepolisian untuk mengusut dalang di balik aksi para preman tersebut.

Polda Metro Jaya mencatat, setidaknya ada ribuan kasus yang terkait dengan aksi premanisme di DKI Jakarta selama 2023, seperti penganiayaan berat maupun ringan (1280 kasus), penculikan (12 kasus), pengrusakan (161 kasus), penadahan (52 kasus), hingga demonstrasi (1.467 kasus).

Eten tak menampik, bahwa keberadaan mereka sebagai penagih utang dan penjaga lahan sengketa kerap bersinggungan dengan kepentingan politik.

Namun, sebagian besar dari mereka tidak memiliki patron politik di kalangan elit tertentu. Mereka hanya dapat mengorganisir massa ketika dibutuhkan. 

Biasanya, elit politik yang mempunyai kepentingan akan menghubungi ketua setiap wilayah di Jabodetabek. Massa akan dikerahkan setelah ada negosiasi biaya.

Kesepakatan harga antara ketua wilayah dan elit biasanya tak diketahui eksekutor lapangan. Kepercayaan sepenuhnya diberikan kepada ketua wilayah.

“Orang-orang di bawah ini nggak tahu. Ketua itu dapat berapa, dapat berapa kita nggak tahu. Udah saling mengerti aja lah,” jelas Eten.

Sejumlah aksi di Jakarta juga sering diikuti oleh kelompok preman. (Foto: PARBOABOA/Dhoni)

Stigma negatif terhadap kelompok timur memang sudah berakar lama. Mereka juga kerap dicap preman bayaran yang terbilang brutal di jalanan.

Bahkan, narasi-narasi rasis yang menyeret suku, agama dan ras menjadi makanan sehari-hari di lapangan. Narasi serupa juga bertebaran di media sosial.

“Kami sering dicap hitam, keriting, jelek, preman bayaran kalo di jalanan,” katanya.

Bertahun-tahun hidup di ujung sajam, Eten mulai menyadari bahwa pola pendekatan di lapangan mesti diubah. Jalan kekerasan hanya akan berakhir di jeruji.

Ia bersama beberapa sahabatnya dari Ambon mulai menggagas satu kelompok baru, yang tak lagi terhubung dengan para seniornya terdahulu. 

Gaya pendekatan di lapangan pun berbeda, lebih persuasif dan mengedepankan negosiasi. 

Beberapa kali Eten mendapatkan orderan untuk menduduki lahan kosong. Mereka bertemu dengan kelompok lain dari Indonesia Timur di lokasi sengketa.

Eten memilih berkompromi mencari jalan tengah. Mereka menghindari perdebatan yang menyulut konflik dan kekerasan. 

Ia juga memakai platform media sosial sebagai ruang branding. Beberapa aktivitas di lapangan dipublikasi. Cara ini, kata dia, cukup ampuh untuk menarik simpati publik terutama klien yang membutuhkan jasa mereka.

"Kalau sekarang kita lebih kayak kompromi aja gitu. Yang penting dapat sama-sama dulu,” jelas Eten.

Kendati demikian, Eten mengaku jejak para preman di Jakarta tidak akan pernah hilang. Mereka akan selalu ada dengan pola permainan yang lebih lentur. 

“Preman tetap ada, hanya pendekatannya saja yang berbeda," tegasnya.

Luis (56), sebut saja begitu, juga mengkonfirmasi kerasnya dunia jalanan di Jakarta. Pria asal Nusa Tenggara Timur (NTT) itu mengikuti jejak kakaknya yang menjaga salah satu tempat judi di kawasan Jakarta Barat pada 1997 silam.

Di tengah krisis moneter yang menghantam Indonesia kala itu, Luis terpaksa harus mengasah nyali. Kerasnya kehidupan jalanan butuh keberanian dan mental yang kuat.

Ia kerap terlibat bentrok dan berurusan dengan aparat penegak hukum. Masuk sel adalah idaman Luis saat itu. Setidaknya, ia punya posisi tawar tinggi dengan kelompok lain setelah keluar.

“Keluar masuk penjara itu udah biasa. Kalau mau tes mental harus begitu,” cerita Luis kepada Parboaboa beberapa pekan lalu.

Di awal tahun 2000-an, Luis mendapatkan orderan menjaga lahan di daerah Rawamangun. Ia diberikan kuasa oleh PT. Subik Satu untuk mengelola aset tanah di daerah tersebut, yang kini telah menjadi kawasan ruko. 

Mengamankan tanah kosong bukanlah tugas mudah. Sering kali, kata dia, bentrok terjadi di lapangan karena ada pihak lain yang juga mengklaim lahan tersebut.

Ia juga mulai merambah sejumlah tawaran politik. Saat itu, kondisi politik di Indonesia cukup tegang, terutama setelah lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998. 

Banyak partai politik saat itu yang menggunakan jasa preman untuk mengamankan sejumlah agenda partai.

“Salah satu pengalaman saya adalah ketika menerima pekerjaan dari PKB untuk mencopot spanduk anti-Megawati dan Gus Dur yang dipasang di beberapa tempat,” cerita Luis.

Menurutnya, stigma negatif yang melekat di kelompok timur memang susah dibendung. Rekam jejak di lapangan yang kerap bersentuhan dengan kekerasan mempertebal persepsi publik.

Sejak beberapa tahun terakhir, Luis memutuskan berhenti dan mencari pekerjaan yang lebih stabil dan normal. Ia menyadari dunia yang digelutinya itu penuh resiko, bahkan sampai harus bertaruh nyawa.

Saat ini, Luis membantu anak-anak muda dari NTT yang menganggur untuk mendapatkan pekerjaan di bagian keamanan yang lebih teratur.

Ia tak ingin generasi muda NTT mengikuti jejak para seniornya. Mereka perlu mencari pekerjaan yang lebih baik tanpa harus mengorbankan nyawa.

“Biasanya jaga di apartemen atau pergudangan,” katanya.

Luis, bukan nama sebenarnya, saat menceritakan pengalamannya menggeluti dunia preman di Ibukota. (Foto: PARBOABOA/Dhoni)

Sumber Parboaboa menyebut, keberadaan kelompok preman bayaran di Jakarta biasanya terhubung ke oligarki dan institusi tertentu.

Namun, eksekutor lapangan tidak menyadari bahwa mereka adalah kelompok yang sengaja diorganisir demi memuluskan agenda-agenda tertentu.

"Jadi garisnya itu, tidak ada pengusaha di Indonesia yang tidak dekat dengan institusi negara," jelasnya.

Dalam konteks lahan sengketa, kata dia, pemilik modal yang punya banyak duit  cenderung melakukan investasi ke tanah.

Masalahnya, tidak semua tanah tersebut punya alas hak yang kuat. Karena itu, perlu ada orang yang menduduki lahan tersebut untuk mencegah penyerobotan.

"Mereka itu langsung di bawah pimpinan institusi tadi itu atau orang yang berpengaruh di institusi itu. Entah coklat atau hijau seperti itu," ungkapnya.

Namun, massa di lapangan biasanya tidak mengetahui mastermind-nya. Mereka hanya bertugas untuk mengeksekusi sesuai perintah pimpinan kelompok.

"Sehingga kalau ada masalah itu terputus. Cuci tangan," jelas pria yang sudah 15 tahun mengadvokasi isu-isu seputar premanisme di Jakarta.

Menurutnya, posisi tawar preman di Jakarta terbilang tinggi. Mereka selalu ada dalam setiap agenda politik elit dan oligarkis. 

"Tidak bisa munas atau muktamar tanpa ada mereka, jadi mereka selalu ada," katanya.

Ia menyangsingkan bahwa proses penegakan hukum dalam setiap kasus premanisme di Jakarta dilakukan secara transparan.

Meskipun, kata dia, aparat bisa saja sudah mengetahui keberadaan dan tarikan kepentingan kelompok-kelompok tersebut.

“Udah tahu mereka. Karena kelompok ini juga dimonitor selalu. Tinggalnya dimana, bagaimana, siapa jaringannya, mereka (instansi) sudah tahu,” jelasnya.

Menurut Lasarus Jehamat, Dosen Sosiologi FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang, fenomena premanisme masih menjadi problem serius di tengah modernitas dan kemajuan kota. 

Lasarus menyebut, premanisme merupakan manifestasi dari watak kebinatangan manusia, yang identik dengan kekerasan dan ancaman terhadap masyarakat umum.

Kondisi ini mencuat sejalan dengan ketidakmerataan sosial dan ekonomi, serta kegagalan sistem dalam menciptakan lingkungan yang tertib.

"Dalam masyarakat modern yang seharusnya beradab, tetap bakal ada individu yang bertindak brutal karena tekanan sosial dan ekonomi tadi," jelas Lasarus kepada Parboaboa, Kamis (17/10/2024) lalu.

Namun, stigma orang timur yang identik dengan aksi premanisme tidak muncul begitu saja. Pelabelan ini terjadi karena sejumlah insiden kekerasan yang melibatkan sejumlah oknum, namun stereotip negatif malah bermuara terhadap kelompok tertentu saja.

Hal ini didukung dengan kebiasaan masyarakat luas yang melihat tampilan fisik, yang mengkategorikan penampilan yang garang sebagai simbol kekerasan.

Terlebih orang Indonesia Timur, khususnya NTT dan Ambon, mayoritas punya postur tubuh yang kekar, wajah yang tegas dan suara lantang, yang secara visual dianggap sangar dan menakutkan. 

Media juga disebut ikut bertanggung jawab dengan pelabelan citra negatif terhadap orang timur. Padahal kekerasan yang terjadi selama ini dilakukan oleh segelintir oknum, bukan cerminan dari keseluruhan kelompok. 

“Namun kita kerap memukul rata semua. Mereka tidak mengetahui, bahwa orang timur itu memiliki hati yang lembut dan jujur apa adanya," terangnya.

Di sisi lain, para preman yang terlihat di lapangan sering kali hanyalah alat dari kekuatan yang lebih besar. Mereka dipakai oleh kelompok oligarki atau penguasa tertentu untuk tujuan ekonomi maupun politik. 

“Mereka kerap dipekerjakan oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa untuk melakukan tindakan intimidasi atau memecah belah kelompok masyarakat,” jelas alumnus Universitas Gadjah Mada itu.

Karena itu, stigma terhadap orang timur sebagai ‘preman’ juga perlu diluruskan. Banyak masyarakat dari Indonesia Timur yang tinggal di Jakarta hidup dengan damai dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. 

Mengaitkan kelompok etnis tertentu dengan praktik kriminal, kata Lasarus, hanya akan menambah jarak sosial dan memperlebar ketidakadilan. 

“Pelabelan negatif semacam ini harus dihapus agar masyarakat dapat melihat setiap individu secara objektif dan tidak terjebak dalam stereotip,” tegas Lasarus.

Reporter: Calvin Vadero Siboro, David Rumahorbo dan Rahma Dhoni

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS