PARBOABOA, Jakarta - "Udah satu jam nih belum ada yang nyewa," kata Soeharto (60), penjual jasa sewa sepeda onthel di kawasan wisata Kota Tua, Jakarta Barat.
Soeharto sehari-harinya menyewakan sepeda-sepeda onthelnya kepada pengunjung kawasan wisata Kota Tua.
Aktivitas itu ia lakukan sejak 2008, setelah ia bergonta-ganti profesi.
Sebelumnya Soeharto sempat berjualan es kelapa di kawasan Pasar Baru, menjadi karyawan salon, hingga buruh bangunan.
"Saya jual es kelapa di Pasar Baru, dulu ramai banget, tapi bangkrut kena musibah. Terus sempat bantuin teman parkiran, sempat mulung juga jaga kardus bekas. Kemudian jaga salon," cerita pria asal Cirebon tersebut.
Di tahun 2008, Soeharto akhirnya ditawarin temannya menjadi penyedia jasa sepeda onthel di Kota Tua.
Saat itu ia membeli 5 unit sepeda onthel temannya seharga Rp10 juta dan akses mendapat kartu anggota Paguyuban Onthel Kota Tua.
"Ada onthel tuh mau dijual, orangnya meninggal buat selamat. Harganya Rp10 juta. Saya izin ke pengurus (Paguyuban Onthel Kota Tua)," kata Soeharto menirukan ucapan temannya.
Bermodalkan 5 unit sepeda onthel itu, Soeharto memulai usahanya. Ia menyewakan sepeda onthel seharga Rp20 ribu untuk 30 menit.
Ada juga paket tour keliling Kota Tua seharga Rp100 ribu selama 2 jam.
Untuk paket itu, wisatawan akan diajak keliling mengunjungi Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari, jembatan Taman Kota Intan, Toko Merah, dan Menara Syahbandar.
Dalam sehari Soeharto bisa membawa pulang uang Rp200 ribu dari usahanya menyewakan onthel, bahkan hingga Rp1 juta jika libur dan akhir pekan.
"Hari ini baru dapat 10 sepeda, jadi Rp200, belum buat makan dan ngerokok. Sabtu dan Minggu baru rame, ya bisa sampai 50 sepeda. Kalau lagi sepi ya nombok. Paling laku 2 sepeda, nombok buat makan dan rokok," ujarnya.
Setiap harinya ia menjajakan sepeda onthel dari pukul 08.00 hingga 20.00, Senin hingga Minggu. Baginya, tak ada hari libur. Setiap hari digunakan untuk mencari nafkah.
"Istilah kasarnya, kalau gak keluar kita gak makan. Kan gak ada gaji bulanan," ungkap Soeharto.
Meski begitu, Soeharto mengaku penghasilannya yang tak menentu itu kadang tidak cukup untuk biaya hidup.
Apalagi sebagai kepala keluarga, ia harus membiayai satu orang istri dan tiga anak yang masih sekolah.
"Terus terang aja penghasilan enggak cukup. Untung dibantu istri bayar kontrakan Rp700 ribu. Anak sekolah sih gratis, tapi kan harus beli sepatu, tas, buku, dan jajan sehari-hari aja Rp20 ribu," jelas dia.
Penghasilan itu juga harus dibagi untuk biaya perawatan sepeda ke bengkel jika rusak. Sekali perawatan, Soeharto harus merogoh kocek hingga Rp110 ribu.
Apalagi sebagai penjual jasa, Soeharto tidak menerapkan sistem ganti rugi kepada penyewa jika sepedanya rusak saat dikendarai.
"Kita sistemnya, kalau patah gak perlu ganti risiko. Ya sudah, itu saya sendiri. Saya prinsipnya gini, lu tabrakan enggakpapa, gak usah ganti, yang penting orangnya gak luka," kata Soeharto.
Ia menyebut, penumpang yang kecelakaan saat menyewa sepeda akan dapat berasuransi dari perusahaan penyedia jasa asuransi yang bekerja sama dengan Paguyuban Onthel Kota Tua.
Hanya saja, Soeharto mengaku belum tahu sampai kapan harus menyewakan sepeda onthel di Kota Tua.
“Kalau masih sehat terus, karena kan masih punya tanggungan anak,” imbuhnya.
Editor: Kurnia Ismain