SETARA Institute: Negara Harus Hadir Dalam Konflik Intoleransi

SETARA Institute menyelenggarakan peluncuran dan penghargaan Indeks Kota Toleran 2022, Kamis (6/4/2023), di Jakarta. (Foto: DOk. SETARA Institute)

PARBOABOA-Sebanyak 94 kota se-Indonesia jadi objek kajian SETARA Institute. Upaya menguji Indeks Kota Toleran. Maka, hadirlah laporan Indeks Kota Toleran disingkat IKT pada 2022, Kamis 6 April 2023.

SETARA Institute memerinci 10 kota skor toleransi tertinggi bersama skor akhir penilaiannya. Singkawang skor akhir 6,583, Salatiga skor akhir 6,417, Bekasi skor akhir 6,080, Surakarta skor akhir 5,883, Kediri skor akhir 5,850, Sukabumi skor akhir 5,810, Semarang skor akhir 5,783, Manado skor akhir 5,767, Kupang skor akhir 5,687, dan Magelang skor akhir 5,670.

Sedangkan 10 kota toleransi rendah adalah Prabumulih skor akhir 4,510, Lhokseumawe skor akhir 4,493, Pariaman skor akhir 4,450, Medan skor akhir 4,420, Banda Aceh skor akhir 4,393, Mataram skor akhir 4,387, Sabang skor akhir 4,257, Padang skor akhir 4,060, Depok skor akhir 3,610, dan Cilegon skor akhir 3,227.

Parboaboa mewawancarai peneliti SETARA Institute, Halili Hasan, Senin 10 April 2023. Usai mengeluarkan laporan IKT 2022, hal-hal lain apa saja SETARA Institute temukan terkait kota toleransi? Selain untuk mempromosikan praktik-praktik toleransi terbaik kota-kota di Indonesia.

Berikut petikannya:

Bagaimana SETARA Institute melihat dinamika Intoleransi di Indonesia?

Kalau kita kembalikan data-data terutama dalam satu setengah dekade terakhir. Atau kalau konkritnya kita mau sandingkan dengan 4 periode kepresidenan. Dua periode SBY dan jelang dua periode Jokowi.

Memang kalau kita lihat data pelanggaran intoleransi ini mengalami penurunan dibandingkan dengan periode sebelumnya memang terjadi penurunan.

Tetapi memang faktor-faktor yang memicu terjadinya pelanggaran itu masih saja ada. Sehingga kecenderungan juga bahwa, beberapa persoalan akut misalnya yang berkaitan dengan Ahmadiyah, berkaitan dengan kelompok-kelompok minoritas keagamaan. Itu masih saja terjadi dan mereka menjadi korban dari berbagai peristiwa intoleransi di Indonesia.

Jadi meskipun data menunjukkan bahwa terjadi penurunan peristiwa dan tindakan. Faktor-faktor ini masih saja ada. Sehingga jika ini tidak diatasi, persoalan intoleransi di Indonesia akan terus terjadi.

Memang bagaimana intoleransi ini mempengaruhi pola pikir masyarakat kita?

Kalau kita bicara dalam takaran masyarakat, yang sedikit saya singgung tadi.  Dalam takaran kebhinekaan di indonesia kata multikulturalisme di Indonesia. Masyarakat kita mestinya memiliki tingkat resiliensi sosial tinggi gitu ya.

Sehingga  ketika aktor politik datang ke mereka. Mereka dengan mudah menyalakan alarm critical thinking, bahwa ini ancaman sosial. Jadi mestinya dengan tata kebhinekaan seperti Indonesia. Masyarakat kita tidak dengan mudah digunakan oleh elit. Untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan elektoral mereka.

Jadi mereka datang untuk mendapatkan suara sebesar-besarnya untuk memenangkan hajatan elektoral. Bagi masyarakat kita fenomena semacam itu penggunaan identitas-identitas keagamaan. Kemudian memenangkan kontestasi elektoral tentu melahirkan residu politik panjang di masyarakat.

Masyarakat akhirnya mengalami polarisasi, masyarakat terbelah karena politik elektoral terbentuk di dalam. Sehingga untuk menguatkan tata kebhinekaan.

Masyarakat memang harus memiliki ketahanan sosial untuk tidak mudah dimanfaatkan kepentingan jangka pendek dan menengah dari kontestan elektoral. Partai politik atau berkaitan dengan suara-suara kelompok mayoritas.

Laporan IKT 2022 Medan termasuk kota rendah toleran? Mengapa demikian?

Dalam studi ini menurunkan konsep toleransi ke dalam beberapa variabel sistemik kota. Yang dapat mempengaruhi perilaku sosial antar identitas dan entitas warga.

Yakni kebijakan-kebijakan pemerintah kota, tindakan-tindakan aparatur pemerintah kota, perilaku antar entitas di kota termasuk warga dengan warga, pemerintah dengan warga, dan relasi-relasi dalam heterogenitas demografis warga kota.

Pengukuran Indeks Kota Toleran 2022 sebagaimana pendahulunya, menggunakan perspektif hipotesis positif menyakini bahwa kota-kota di Indonesia. Hakikatnya merupakan kota yang toleran dan rukun.

Pembobotan skor hipotesis positif disusun dari angka 1 ke angka 7 dengan deskripsi makna sebagai berikut: 1 Sangat tidak toleran, 2 tidak toleran, 3 cukup tidak toleran, 4 netral, 5 cukup toleran, 6 toleran dan 7 sangat toleran.

Setiap kota dalam penilaian scoring dimulai dengan angka tujuh. Kemudian dikurangi bobotnya kalau ditemukan kondisi-kondisi melemahkan toleransi.

Grafik skor IKT sejak 2015 sampai 2022 yang masih berada di antara angka empat dan lima mengindikasikan stagnasi pengelolaan toleransi di kota-kota Indonesia. Meski begitu, indikasi stagnasi tidak terjadi merata di semua peringkat.

Ada kelompok peringkat yang berhasil berbenah dan merangsek naik. Namun ada juga kelompok peringkat yang turun dan memburuk. Skor pada peringkat satu misalnya, di rangking satu Kota Singkawang naik sekitar 0,1 poin dari raihan nilai IKT 2021. Begitu pula capaian nilai Kota Salatiga, yang duduk di rangking dua naik 0,1 dari nilai pada IKT 2021.

Jadi, jika memang Medan mendapat peringkat rendah di IKT 2022. Kemungkinannya ada dua antara stagnasi dan penurunan toleransi dari delapan indikator.

Kami menemukan faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya nilai scoring toleransi di beberapa kota di Indonesia, yang secara umum dipicu oleh dua hal.

Pertama, menguatnya identitas sosio-kultural. Kedua, melemahnya dimensi legal struktural kota menegakkan konstitusi untuk menjamin kebebasan beragama berkeyakinan.

Ada kecenderungan di masyarakat untuk mengedepankan identitas keagamaan dengan mengklaimnya sebagai kesepakatan publik. Kemudian mendorong pemerintah kota untuk bersepakat ke dalam sikap-sikap intoleran.

Bagaimana dengan kota yang termasuk dalam tinggi toleransi seperti Siantar? Apakah indikatornya sama?

Seperti yang tadi sudah saya jelaskan, kami menggunakan metode yang sama dengan indikator yang sama. Jadi jika ada pergeseran atau penurunan atau peningkatan. Itu berarti kelompok atau daerah tersebut berhasil berbenah dan merangsek naik. Namun ada juga kelompok peringkat yang turun dan memburuk.

Pada kota yang memiliki skor tinggi biasanya masyarakat dan pemerintahnya lebih banyak mempromosikan kerukunan toleransi dan kebangsaan. Ini juga bisa dilihat dari tindak tanduk pemerintah dalam menghadapi konflik-konflik intoleransi.

SETARA Institute memantau sedari laporan IKT 2015-2022? Tiga kota, Medan, Siantar, dan Tebing Tinggi di Provinsi Sumut itu apakah mengalami pergeseran peringkatkah? Bagaimana peringkat tiga kota itu untuk kategori kota skor tertinggi toleran? Skornya? Lalu kategori skor kota terendah toleran? Skornya?

Itu mungkin bisa dicek lagi di laporan IKT. Bisa dibandingkan lagi dari laporan karena cukup lengkap datanya. Yang jelas ada beberapa pergeseran.

Apa yang harusnya pemerintah dan masyarakat kita lakukan untuk meningkatkan toleransi di daerah? Atau setidaknya menjaga konsistensi? Dan apakah pemerintah sudah punya perlindungan hukum untuk korban intoleransi?

Sebenarnya kalau kita menggunakan kerangka hak asasi manusia. Sebenarnya korban-korban ini punya tiga jenis hak ya. Pertama, hak untuk rehabilitasi. Jadi mereka memang harus direhabilitasi jika ada pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia.

Jika ada sebuah pelanggaran itu, yang kedua kompensasi. Kita memang harus memberikan kompensasi terhadap kelompok menjadi korban.

Yang ketiga hak atas retribusi. Retribusi itu kelompok korban kalau mereka akhirnya tidak melakukan itu juga. Maka negara yang harus melakukan fungsi paksa atas itu. Jadi korban itu ada hak rehabilitasi kompensasi dan retribusi.

Kemudian pertanyaanya apakah pemerintah sudah memberikan itu pada korban?

Menurut saya tidak. Dan dari banyak peristiwa, banyak terjadi korban itu kemudian tidak mendapat rehabilitasi yang layak dari negara. Seperti rehabilitasi fisik, ada rehabilitasi psikis, atau pemulihan.

Mereka sebagai manusia memiliki hak sama dengan warga negara yang lain seperti Indonesia. Jadi pelanggaran seperti mereka harusnya dilindungi oleh negara.

Dari rehabilitasi sampai itu terjadi. Yang lain juga menurut kami gagal memberikan perlindungan kepada mereka adalah perlindungan hukum. Baik itu, yang adil yang fair merupakan langkah pertama menentukan apakah korban itu terlindungi atau tidak dalam berbagai peristiwa.

Terutama itu adalah peristiwa menjadikan kelompok itu menjadi korban. Para korban ini tidak mendapatkan keadilan substantif dari perlindungan hukum kita.

Ada tiga kendala utama yang kami saksikan, yang pertama ada gejala entitas ada ketiadaan penegakan hukum. Ketiadaan ketegakan hukum itu pasti akan mengundang terjadinya kejahatan-kejahatan lain setelahnya.

Seperti impunitas ketiadaan hukum akan mengundang kejahatan lain yang lebih besar. Itu satu, gejala yang lain adalah gejalan definisasi ketika terjadi penegakan hukum justru mencolok adalah kecenderungan menjadikan korban sebagai korban berikutnya.

Misalkan saya kasih contoh, kasus serangan atas Syiah Sampang. Itu jelas korbannya adalah minoritas Syiah di sana termasuk adalah Tajul Muluk. Itu menjadi korban dari penyerangan dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleran ketika terjadi ketiadaan hukum.

Maka yang dihukum adalah korbannya, Tajul Muluk kemudian dipenjara. Atas dasar melakukan penodaan agama. Yaitukan kecenderungan yang aneh, korban kemudian menjadi dikorbankan lagi hukum atas ditegakkannya proses hukum. Itu gejala kedua.

Gejala ketiga adalah gejala populisme yudisial. Jadi populisme itu bukan hanya terjadi pada ruang-ruang politik. Itu juga terjadi pada ruang hukum. Pengadilan itu cenderung berpihak kepada narasi-narasi mayoritas ketika pengadilan itu diselenggarakan.

Pengadilan itu bekerja dalam sebuah restorasi tertentu terjadi di ruang-ruang pengadilan. Adalah penghakiman atas keyakinan minoritas.

Itu bisa kita lihat di peristiwa Sintang misalnya. Kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah di Sintang ketika kemudian ada pra keadilan atas peristiwa itu dan beberapa orang dijadikan tersangka. Yang terjadi di proses pra peradilan itu adalah gejala populisme yudisial.

Jadi pengadilan itu cenderung berpihak pada keyakinan mayoritas dan menghakimi keyakinan minoritas. Itu kecenderungan populisme seperti yang terjadi di dunia politik. Jadi kecenderungan seperti itu juga terjadi pada dunia keadilan.

Tiga gejala itu yang kami tangkap dalam pra peradilan kita. Bahwa perlindungan hukum pada korban itu masih sangat lemah di Indonesia.

Jadi memang negara harusnya hadir dalam konflik-konflik intoleransi seperti ini. Orientasinya bukan lagi bagaimana mempertahankan peringkat. Namun, bagaimana mengakomodir hak setiap warga sebagai manusia.

Reporter: Reka Kajaksana

Editor: Fery Sabsidi
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS