Agar Makanan Tak Selalu Berakhir di Pembuangan dan Jadi Polutan

Sejumlah pemulung memulung sampah di Bantar Gebang. (Foto: PARBOABOA/Bina Karos)

PARBOABOA - Budi Prianto tampak sedang sibuk memeriksa maggot yang sedang melahap sisa-sisa makanan di Jakarta Recycle Center (JRC) Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Kamis siang pekan lalu.

Budidaya maggot adalah salah satu solusi untuk mengatasi masalah sampah makanan yang kerap berakhir jadi pemicu polusi (polutan). Selain tidak membutuhkan biaya yang sangat besar, budidaya ini juga tidak terlalu rumit dilakukan.

Budi menjelaskan, maggot atau larva yang berasal dari serangga black soldier flies (BSF), atau biasa disebut lalat hitam, dikembangbiakkan dengan memberi makan sampah organik hingga bertelur dan dipanen sekali dalam tiga hari.

“Telur lalat itulah yang nantinya menjadi bayi maggot,” ujar Budi yang ditemui Parboaboa, Kamis pekan lalu.

Budi Prianto, petugas budidaya maggot JRC. (Foto: Parboaboa/Muazam)

Bayi maggot itu ditaruh di sebuah wadah yang ada tumpukan sampahnya dan akan memakan sampah tersebut. Bayi maggot itu akan tumbuh besar selama tujuh hari dan siap dipanen untuk jadi pakan ikan dan hewan ternak lainnya. Dalam waktu seminggu, maggot akan kembali menjadi lalat hitam.

“Dari lalat akan menjadi maggot, maggot akan menjadi lalat lagi. Jadi, gitu aja sirkulasinya,” kata Budi.

Satu kilogram larva lalat hitam itu mampu menghabiskan dua sampai lima kilogram sampah organik per hari. Sisa makanan maggot juga bisa digunakan sebagai pupuk organik. “Dari sampah sisa makanan maggot kita ayak jadi pupuk buat tanaman,” ujar Budi.

Foodcycle Indonesia, salah satu lembaga non-profit yang konsern dengan solusi sampah makanan, juga telah melakukan budidaya ini sejak beberapa tahun lalu. Budidaya ini dianggap bernilai ekonomi tinggi. 

“100 gram maggot kering dapat dijual mulai dari harga Rp15 ribu hingga Rp30 ribu,” kata General Manager Foodcycle Indonesia, Cogito Ergo Sumadi kepada Parboaboa, pekan lalu.

Di Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara, solusi penanganan sampah makanan juga telah dilakukan dengan budidaya maggot.

Koordinator Pusat Pelatihan Skala Kota (Pusdiklat) Dinas Lingkugan Hidup Pematang Siantar, Felim Panjaitan, memaparkan dalam sehari larva maggot dapat mengkonsumsi sekitar 250 kilogram sampah makanan.

“Dalam satu kotak yang kita budidaya ada sekitar 3-4 kilogram maggot yang sanggup mengkonsumsi 25 kilogram sisa makanan per hari. Untuk saat ini kotak larva maggot yang kita punya 10 wadah,” ujarnya saat ditemui di Kantor Pusdiklat DLH Pematang Siantar, Sabtu, pekan lalu.

Maggot hasil budidaya Jakarta Recycle Center (JRC), Pesanggrahan, Jakarta Selatan. (Foto: Parboaboa/Muazam)

Sampah-sampah makanan yang kebanyakan adalah sayur dan buah-buahan yang sudah membusuk diangkut dari sejumlah pasar induk di Pematang Siantar, seperti Pasar Horas, Pasar Parluasan, dan Pasar Dwikora.

Hentikan Makanan di Food Bank

Selain budidaya maggot, sampah makanan (food bank) merupakan solusi lain untuk menghentikan makanan tidak terbuang menjadi sampah.

Food and Agriculture Organization (FOA) merilis data sampah makanan mencapai 13 juta ton setiap tahun. Volume itu bisa berkurang apabila tidak membuang-buang makanan.

Foodcycle Indonesia membagikan roti ke Panti Jompo. (Foto: Dok/Foodcycle Indonesia)

Foodcycle Indonesia, salah satu lembaga nirlaba yang telah berupaya menghentikan makanan-makanan tidak terbuang dengan menjadi jembatan bagi masyarakat serta perusahaan untuk menyalurkan makanan berlebih kepada 5,59 juta penduduk yang kurang mampu. 

“Fokus utamanya menyelamatkan makanan berlebih yang berpotensi menjadi sampah. Fungsinya di pencegahan, supaya makanan berlebih itu tidak menjadi sampah,” kata General Manager Foodcycle Indonesia, Cogito Ergo Sumadi kepada Parboaboa, Rabu pekan lalu.

Lembaga ini telah bekerja sama dengan 80 perusahaan yang mempunyai makanan berlebih, misalnya Holland Bakery, McDonald’s, Nestle, hingga Frisian Flag. Lembaga itu menyeleksi terlebih dahulu makanan layak untuk diberikan kepada Panti Asuhan, Panti Jompo, Rumah Singgah, Rumah Belajar, dan yayasan lain. 

“Kami sudah punya agensi berupa yayasan atau komunitas yang bergerak di bidang sosial-kemanusiaan. Di Jakarta ada sekitar 70, kalau seluruh Indonesia ada 104,” ujar Cogito.

Makanan yang langsung didonasikan tanpa diolah terlebih dahulu antara lain roti, susu, biskuit, beras, minyak goreng, hingga makanan catering yang tidak habis tapi masih layak makan. Sementara makanan yang perlu diolah dulu, misalnya pisang dan wortel.

“Ada makanan masih layak makan, tapi orang nggak mau makan karena bentuknya nggak bagus gitu. Nah, itu kita olah sedemikian rupa agar jadi makanan yang orang mau memakannya,” cerita Cogito.

Sejak berdiri tahun 2017 hingga 2022, Foodcycle Indonesia telah menyelamatkan 700 ton makanan berlebih yang berpotensi menjadi sampah. Makanan itu disalurkan kepada 120 ribu orang.

“Kita hitung kerugian makanan itu kalau terbuang Rp12 miliar untuk tahun 2022, dan Rp9 miliar tahun 2021,” ucap Cogito.

Di Indonesia, solusi yang dilakukan Foodcycle Indonesia juga dilakukan beberapa lembaga nirlaba, antara lain Foodbank of Indonesia (FOI) dan Yayasan Surplus Peduli Pangan, Aksata Pangan, dan sejumlah lembagabaru yang mulai fokus ke masalah ini. 

Menunggu Solusi Bioenergi

Selain melalui budidaya maggot dan bank sampah, pengelohan sampah organik menjadi bioenergi yang ramah lingkungan telah menjadi wacana lama.

Menurut riset International Energy Agency (IEA), bioenergi dapat diperbarui, sedikit polusi, dan bisa diproduksi dari sampah organik yang mengandung gula dan pati. Penggunaan bioenergi diproyeksikan dapat mengurangi emisi CO2 sekitar 2,1 gigaton per tahun 2050 jika diproduksi secara stabil.

Sayangnya, di Indonesia belum banyak fasilitas pengelolaan sampah organik menjadi bioenergi. Adapun sejumlah wilayah yang sempat mengelola bioenergi di antaranya Kediri, Bali, Sulawesi Selatan, Malang, Pasuruan, dan Bantar Gebang, Bekasi. Itu pun masih dalam skala pengembangan.

Para pemulung sedang memilah sampah yang bisa dijual ke pengepul. (Foto: Parboaboa/Muazam)

Kepala Satuan Pelaksana JRC, Ariyanto kepada Parboaboa, Kamis pekan lalu, menjelaskan bahwa pengelolaan sampah organik menjadi bioenergi belum banyak dilakukan di Indonesia karena membutuhkan alat yang mahal.

Karena keterbatasan alat, saat ini JRC yang bernaung di bawah Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, hanya mengelola sampah organik menjadi pupuk, kompos, dan penguraian melalui maggot saja.

“Nggak ada alatnya. Itu kan butuh biaya banyak, alatnya nggak ada. Kalau mau jadiin bahan bakar butuh alat khusus, sampah ini (organik) memang banyak bisa kita olah,” katanya.

*Laporan ini merupakan bagian kedua dari liputan khusus edisi ‘sampah makanan’.

Reporter: Achmad Rizki Muazam, Putra Purba

Editor: Tonggo Simangunsong
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS