PARBOABOA, Jakarta – Nama Sutan Takdir Alisjahbana (STA) di dunia bahasa dan sastra Indonesia seringkali diibaratkan sebagai Khalil Gibran, atau pujangga baru di Indonesia.
Pemikiran filsuf asal Mandailing Natal, Sumatra Utara ini sangat berpengaruh dalam perkembangan kesusastraan Indonesia.
STA dan pemikirannya juga tak bisa dilepaskan dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan sosok intelektual penting dalam sejarah Indonesia.
STA merupakan pendukung demokrasi dan negara sekuler.
Oleh karenanya, ia memandang jauh dan luas tentang masa depan Indonesia. Bahkan dalam karya-karyanya, STA juga menyebut Indonesia akan menjadi negara yang maju dan berkembang.
Novelis sekaligus sastrawan di Indonesia, Ayu Utami menilai, Sutan Takdir Alisjahbana merupakan salah satu filsuf yang lengkap dalam filsafat Indonesia.
"STA memenuhi tiga kriteria yaitu dari Indonesia, menjadi orang Indonesia, menulis dengan kriteria akademis,” katanya saat Diskusi Publik Kebudayaan dalam Alam Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana di Kampus Universitas Nasional, Jakarta Selatan, Jumat (27/10/2023).
Pemikiran Takdir berpengaruh hingga sekarang salah satunya adalah penggunaan bahasa yang egaliter.
"Ia (STA) mewakili pemikiran modern (rasional, teologis, optimistis, aksiologis). Ia berani berpolemik, mengasah pemikirannya, mempertanggungjawabkan dan membelanya bahkan hingga dipenjarakan, Indonesia bersyukur punya Sutan Takdir dalam sejarah intelektualnya,” kata Ayu.
Bahkan, untuk meneruskan pemikirannya, Sutan Takdir Alisjahbana membangun lembaga pendidikan. Salah satunya Universitas Nasional (Unas) yang menjadi kampus swasta tertua di Indonesia.
STA juga menjadi salah satu pendiri Akademi Jakarta yang saat ini menjadi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Menurut Komite Sastra DKJ, Anton Kurnia, lembaga itu dikukuhkan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin pada 1970.
Anggota Akademi Jakarta terdiri dari Sutan Takdir Alisjahbana yang merupakan budayawan dan sastrawan, Mohammad Said Reksohadiprodjo seorang pendidik, Mochtar Lubis, wartawan dan sastrawan, H.B. Jassin yang juga kritikus sastra.
"Kemudian Affandi dan Popo Iskandar yang merupakan perupa, Asrul Sani seorang penyair dan dramawan, Soedjatmoko sosiolog, D. Djajakusuma dramawan dan Rusli pelukis," jelas dia.
STA, lanjut Anton, ditunjuk menjadi ketuanya yang pertama hingga saat beliau wafat pada 1994. Ia juga bisa dikatakan sebagai salah seorang tokoh peletak dasar Akademi Jakarta.
“Setelah STA wafat, posisinya sebagai anggota AJ digantikan oleh sejarawan Taufik Abdullah yang kelak terpilih sebagai ketua AJ menggantikan Koesnadi Hardjasoemantri sejak 2007-2020. Adapun posisi ketua AJ sebagai pengganti STA saat itu dijabat oleh Mochtar Lubis (1994-1999),” bebernya.
Jejak STA Sebagai Pendidik
Wakil Menteri Agama, Saiful Rahmat Dasuki mengaku sangat bangga menjadi salah satu anak didik STA.
”Pemikiran STA sangat penting untuk diterapkan dalam setiap lini kehidupan, ajaran STA membangun karakter kritis yang kedepan menjadi modal bagi kemajuan ilmu pengetahuan juga kebudayaan,” ungkap perwakilan alumni Unas jurusan Fisip angkatan 1992.
Saiful yang akrab disebut Gus Saiful ini juga mengenang saat ia menjadi mahasiswa di Unas dan mengikuti mata kuliah STA yaitu Filsafat dan Kebudayaan.
”Saya memiliki pengalaman saat mengambil mata kuliah STA, saya dua kali mengulang mata kuliah filsafat dan kebudayaan karena mendapat nilai C, namun hal itu menjadi momen tidak terlupakan bagi hidup saja,” beber mantan pimpinan GP Ansor DKI Jakarta ini.
Pemikiran STA dalam segala lini kehidupan, dikatakan Saiful sangat penting dan harus dijaga.”Saya berharap, pemikiran STA di monumenkan dan diabadikan dalam sebuah museum,” katanya.
Lebih lanjut Guru Besar FISIP Unas Firdaus Syam, STA sangat menyukai mahasiswa yang protes dan kritis.
”Saya ingat sempat protes kepada STA, bukan saya dimarahi, dia malah memanggil saya dan menawarkan saya membuat buku,” katanya.
Penulis dan Penyair Arlina Hart sebagai salah satu mahasiswa Sastra didikan STA sangat keras dan mendidik.”Saya sempat kesal dengan STA karena menganggap Estetika diatas agama, lalu saya protes kepada STA saat itu sebagai dosen salah dalam memberi materi pembelajaran, setelah itu saya dipanggil ke ruangannya, saya pikir saya akan dimarahi, dia malah menawarkan beasiswa untuk belajar ke Cina,” kenangnya.
Untuk menghormati jasa-jasa, Sutan Takdir Alisjahbana terhadap bahasa dan sastra Indonesia, Keluarga Universitas Nasional (Kalunas) lantas mengusulkannya menjadi salah seorang pahlawan nasional.
Usulan tersebut bertepatan pula dengan peringatan Bulan Bahasa dan Sastra yang diperingati setiap Oktober.
Editor: Kurniati