PARBOABOA - Industri belanja online (e-commerce) yang terus menggeliat ternyata tidak serta merta ikut dirasakan pekerja-pekerjanya di tingkat paling bawah, yaitu kurir. Pekerja yang merupakan salah satu pemeran penting dalam industri ini masih mendapatkan upah yang rendah, beban kerja yang berat dan jam kerja berlebihan, dan rentan dengan risiko kerja yang tinggi.
Ini adalah laporan kedua seri khusus “Nasib kurir di tengah gegap gempita industri belanja online”
Diupah rata-rata Rp1.000 – Rp1.800 per paket, kurir yang merupakan pekerja utama di industri digital belanja online (e-commerce), menghadapi kerentanan terhadap kesehatan fisik, mental dan keselamatan mereka.
Pada Februari lalu, seorang kurir di Jakarta Barat ditemukan meninggal di depan pagar rumah seorang penerima paket. Kurir laki-laki berusia 42 tahun yang bekerja untuk SAP Express itu diduga meninggal karena kelelahan setelah mengantarkan puluhan paket.
Demi mengantarkan paket berisi produk belanjaan online, para kurir rela menempuh hujan dan terik matahari dan berbagai kondisi demi mengejar target mereka, dan yang terutama demi paket sampai ke tangan konsumen.
Robi, 26, bukan nama sebenarnya, seorang kurir di Pematang Siantar mengalaminya.
Selama kurang lebih 1,5 tahun menjalani pekerjaan sebagai kurir, dia telah melalui berbagai risiko.Pengalaman bocor ban sepeda motor saat mengantarkan paket sudah kejadian biasa yang dia lalui. Namun, kadang kala perusahaan yang memperkerjakannya tidak melihat itu, melainkan hanya menilai dari kecepatan waktu kurir saat mengantarkan setiap paketnya.
Kendala lainnya adalah alamat penerima paket yang tidak jelas, dan kadang tidak sesuai dengan peta Google, sehingga memperlambat waktu pengantaran. Belum lagi ketika penerima paket tidak bisa dihubungi, dan dia terpaksa membawa kembali paket itu, dan harus mengatarnya pada hari berikutnya.
Tidak semua konsumen juga memahami pekerjaannya sebagai kurir. Seorang konsumen yang beralamat di seputaran Jalan Renvile Pematang Siantar pernah memarahinya ketika mengantarkan paket yang dipesan anaknya tanpa sepengetahuannya.
“Alasan saya dimarahi tidak jelas, hanya karena anaknya memesan barang tanpa sepengetahuan orang tuanya, mau tidak mau barang tersebut dikembalikan dan saya yang membayar kembali paket tersebut kepada mereka sebesar Rp30 ribuan,” ucap laki-laki yang namanya sengaja disamarkan untuk menjaga privasinya.
Di perusahaan jasa pengiriman JNT cabang Pematang Siantar tempat Robi bekerja, dia ditargetkan mengantar 70-75 paket per hari, dengan upah Rp85 ribu per hari, dengan menanggung sendiri biaya bahan bakar minyak, dan durasi kerja selama delapan hingga sepuluh jam per hari.
“Di hari-hari tertentu atau saya bantu teman saya yang tidak masuk kerja bisa nyampai 100-150 paket per harinya,” tuturnya.
Jumlah target dan jarak tempuh pengantaran tak jarang membuat kurir keletihan bahkan jatuh sakit. Kurir lain yang diwawancarai Parboboa, Didi Setiawan Situmorang, 39, mengaku beberapa kali sakit karena kelelahan mengantarkan puluhan paket setiap hari.
“Beberapa kali sakit karena sering kena hujan atau panas yang begitu terik,” kata Didi kepada Parboboa.
Peneliti di Institute of Governance and Public Affairs, Universitas Gadjah Mada, Arif Novianto, mengatakan persoalan yang sering dihadapi oleh kurir-kurir di Indonesia adalah sangat rentan dengan risiko kesehatan dan jaminan keselamatannya, karena kebanyakan kurir bekerja secara overtime, atau bekerja di atas delapan hingga sepuluh jam sehari.
“Itu yang membuat mereka akhirnya sangat rentan mengalami kelelahan, sehingga ketika di jalan rentan mengalami kecelakaan dan juga yang lain,” katanya.
Persoalan lain yang membebani kurir adalah jika ada paket yang hilang atau ada persoalan tertentu dengan konsumen yang sering kita temui tentang masalah COD, ribut dengan konsumen, seperti yang terjadi pada Robi.
Dijadikan mitra, tapi diupah sesuai jumlah paket
Skema perekrutan kurir juga telah menciptakan klasifikasi kurir.
Menurut Arif, dari hasil penelitiannya terhadap pekerjaan kurir di wilayah Jabodetabek tahun 2021, ada dua klasifikasi pekerja kurir. Pertama, kurir sebagai pekerja atau karyawan perusahaan yang statusnya sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan mendapat upah bulanan sesuai dengan upah minimum di tempat mereka bekerja.
Klasifikasi kedua adalah mitra, yang tidak mendapatkan upah bulanan atau sesuai upah minimum, tetapi sesuai per paket. Statusnya mitra tergantung jumlah paket yang tersedia berapa, jumlah paket yang dapat dikirimkan berapa, karena bayaran mereka kan per paket yang dikirimkan ke konsumen.
RA, seorang kurir yang dipekerjakan sebagai mitra mengaku sangat berat menjalani pekerjaannya itu, namun dia masih menjalaninya karena belum mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Kurir yang sengaja menyamarkan namanya demi kelangsungan pekerjaannya itu mengatakan, dia mendapatkan upah sesuai jumlah paket yang dapat dia antar. Sebagai kurir berstatus mitra dia diupah Rp2.500 per paket.
Menurutnya upah itu sangat kecil bila dibanding dengan risiko yang dia hadapi, mulai dari barang yang jatuh saat pengantaran, kerusakan sepeda motor bahkan kecelakaan saat pengantaran, dan kesulitan mencari alamat dan menghubungi konsumen.
Berbagai masalah pun dia hadapi. "Paket kita mau jatuh dijalan, disuruh balik lagi besok karena nggak ada duitnya, pemilik paket tidak di rumah, sampai susahnya cari lokasi karena alamat nggak lengkap,"ujarnya kepada Parboaboa.
Pernah juga dia mengalami kerugian ketika mengantar paket cash on delivery (COD). Konsumen tidak mau bayar karena barang tidak sesuai. Karena tidak mau ribut berkepanjangan, akhirnya dia yang membeli belanjaan konsumen tersebut. “Pernah paling banyak Rp120 ribuan-lah," ucapnya.
Agar mendapatkan upah, dia harus mengantar minimal 30 paket sehari. Dia mengatakan, jika dia mampu mengantar 30 paket, maka dia akan mendapatkan upah Rp70 ribuan ditambah insentif sekitar Rp17 ribuan. Dalam sebulan dia mendapatkan upah rata-rata Rp2 jutaan. Pernah mendapatkan Rp3,5 juta, tapi sangat jarang. Upah itu sangat pas-pasan bila dikurangi dengan pengeluarannya hingga Rp1 juta per bulan, belum termasuk untuk untuk bensin, paket data, perawatan sepeda motor dan biaya lainnya.
Selama dua tahun menjadi kurir dengan pengupahan seperti itu, RA juga tidak mendapatkan BPJS Kesehatan dari perusahaan yang mempekerjakannya. “Tidak pernah,” katanya.
“Kereta (sepeda motor) rusak tanggung sendiri, bukan kantor," ungkapnya.
Ia mengatakan, sebenarnya ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, tetapi dia memilih bertahan daripada menganggur.
"Tak ada kerjaan lain, kalau ada yang lebih baik, cari yang lain. Cukup-cukupilah ini, disyukuri berapapun itu, biarpun sikit kalau halal, kan enak masuk kedalam darah daging," katanya.
Mengarah ke perbudakan modern
Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Dirgantara Digital Transportasi, Rusli, menganggap perlakuan sejumlah perusahaan jasa pengiriman terhadap para kurirnya tidak manusiawi, terutama bagi perusahaan yang memposisikan kurirnya sebagai mitra.
“Kurir dimaki-maki, padahal dia cuman mengantarkan. Ada yang mau dibacoklah, tidak dibayar, dan lain sebagainya. Jadi berisiko sekali, dan ini sebenarnya harus diselesaikan permasalahan ini. Oleh siapa? Ya, Pemerintah Indonesia melalui Dapartemen Ketenagakerjaan,” katanya kepada Parboaboa, Kamis (11/5/2023).
Menurut Rusli, perusahaan-perusahaan online yang mempekerjakan kurir dengan skema mitra telah melakukan praktik yang mengarah ke perbudakan modern.Harusnya, kata dia, tidak ada skema mitra dalam perekrutan kurir melainkan sebagai pekerja perusahaan.
“Tidak bolehlah orang sudah bekerja sekian tahun lamanya tidak ada status hubungan kerjanya. Karena pekerjaan kurir ini sudah memenuhi syarat sebagai hubungan kerja, sama seperti pekerja formal,” sebutnya.
Baca juga laporan pertama khusus seri “Nasib Kurir di Tengah Gegap Gempita Industri Belanja Online”: Dipaksa Kejar Target tapi Diupah Tak Layak: Nasib Kurir di Tengah Geliat Industri Belanja Online
Reporter: Patrick Damanik, Halima Tusaddiah, Ilham Pradilla, Anshori
Editor: Tonggo Simangunsong