Tertipu Janji Sulap Food Estate di Humbahas

Proyek Food Estate di Desa Ria ria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. (Foto: Parboaboa/Calvin Siboro)

PARBOABOA - Lamsihar Siregar benar-benar tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Suatu siang awal Februari lalu, ia menunjukkan lahan seluas enam rante (sekitar 0,2 hektare) garapannya kepada Parboaboa.   

Empat tahun lalu, pada 2020, bidang tanah di Desa Ria-Ria, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan, Sumatra Utara, itu merupakan bagian proyek food estate. Kini, kelanjutan program yang digagas pemerintah tersebut mandek.

"Pemerintah ini enggak ada tanggung jawabnya," gerutu Ketua Kelompok Tani Ria Bersinar itu, Jumat (2/2/2024).

Food estate (lumbung pangan) adalah salah satu program strategis nasional. Konsepnya berupa pengembangan pangan yang terintegrasi di lokasi tertentu. Proyek ini diharapkan menjadi benteng ketahanan pangan nasional dalam menghadapi ancaman krisis.

Pemerintah awalnya menjanjikan bantuan pupuk dan bibit untuk program lumbung pangan ke petani Desa Ria-Ria. Iming-iming itu yang membuat petani tertarik menggarap food estate

Lamsihar pun berpartisipasi dan menanam kentang di tanah garapannya. Setelah panen pertama selesai pada awal 2021, gelagat tidak beres mulai muncul. 

Pupuk dan bibit yang dijanjikan pemerintah tak kunjung datang ketika masa tanam kedua tiba. Petani yang mempertanyakan hal itu ke perwakilan pemerintah di Desa Ria-Ria tak juga mendapat jawaban. 

Menurut Lamsihar, tanpa bantuan pupuk dan bibit, petani akan kesulitan. Ia saja butuh modal ratusan juta untuk sekali menanam kentang sampai panen.

Sebagian besar pengeluaran habis untuk pupuk dan bibit. Hanya petani dengan modal kuat yang bisa melanjutkan bercocok tanam. 

Orang dengan dana pas-pasan seperti Lamsihar dipaksa putar otak. Ia akhirnya memutuskan berhutang ke bank memanfaatkan fasilitas kredit usaha rakyat (KUR) ke bank. 

"Timbang kosong kan tidak digarap terpaksalah minjam ke KUR," ujarnya. 

Nasib proyek tersebut kian tidak menentu ketika Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) mengambil alih penanganan program dari Kementerian Pertanian. Keberlanjutan food estate mulai menjadi pergunjingan di kalangan petani.  

Kemenko Marves mulai menangani lumbung pangan di Desa Ria-Ria sekitar Mei 2021. Hal itu membuat petani heran. 

Lamsihar beberapa kali mempertanyakan perubahan tersebut dalam forum rapat yang melibatkan pemerintah. Para petani tak pernah mendapat jawaban memuaskan. 

"Kek manalah alasannya kami enggak tau sampai sekarang," katanya sambil bersungut-sungut.

Kondisi Lahan Food Estate Humbahas yang saat ini sudah tidak terurus dan ditumbuhi semak belukar. (Foto: Parboaboa/Calvin Siboro)

Sejumlah petani yang terlibat food estate di Desa Ria-Ria sebenarnya sudah merasakan kejanggalan sejak awal. Prosesnya serba kilat dan seperti dikejar target. 

Pada medio 2020 lalu, para petani dikumpulkan oleh Pemerintah Kabupaten Humbahas. Dari situlah mereka pertama kali mendapat informasi rencana program lumbung pangan di Desa Ria-Ria. 

Sekitar 170-an petani dari enam kelompok tani tergiur. Di Desa Ria-Ria, proyek lumbung pangan berada di atas tanah adat milik warga setempat seluas 215 hektare. 

Lamsihar menuturkan, sebelumnya lahan itu ditanami kopi. Tradisi menanam kopi di sana sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang warga Desa Ria-Ria. 

Begitu food estate masuk, hamparan tanah itu berubah ditanami tanaman hortikultura. Dari total 215 hektare lahan adat di Desa Ria-Ria, pemerintah membagi-bagi 105 hektare untuk tanaman bawang merah, 55 hektare bawang putih dan 55 hektare kentang. 

Berselang dua pekan setelah pertemuan, pemerintah tiba-tiba datang dengan membawa bibit. Hal itu membuat petani terkejut. 

Sebab, selama ini mereka tidak punya pengalaman menanam hortikultura. Khawatir bibit membusuk, petani terpaksa mulai menanam. Padahal tanah bekas tanaman kopi belum diberi penanganan.  

"Ditanamlah itu bibit di tanah yang belum gembur," tutur Marnida, bukan nama sebenarnya, salah satu petani di Desa Ria-Ria.

Perempuan 60-an tahun itu menanam kentang dan bawang putih di lahannya. Hasilnya, kata dia, berantakan. 

Kentang-kentang yang dipanen berukuran kecil-kecil. Bawang putih malah gagal panen total. 

Menurut sejumlah petani, buruknya kualitas hasil food estate juga dipengaruhi kondisi tanah di Desa Ria-Ria. Tanah di sana tergolong tandus dan penuh semak belukar. 

Untuk membuka lahan, perlu waktu lebih lama dan penanganan yang lebih telaten. Pertama-tama, lahan harus ditraktor. Setelah dua bulan, semak akan membusuk dan menjadi kompos. Selanjutnya, tanah harus dibajak lalu ditunggu lagi satu bulan. 

Pada bulan keempat barulah tanah siap ditanam. Namun, ketika tanah belum ditangani dengan tepat, ujug-ujug pemerintah datang dengan membawa bibit. 

"Siapa pun yang ngerjakan itu enggak berhasil itu. Ini kan butuh proses," kata Lamsihar Siregar. 

Selain soal tanah, petani juga dihadapkan pada masalah pengairan. Pemerintah memang telah membangun instalasi air untuk pertanian. 

Bak penampungan air atau embung yang rencananya untuk pengairan lahan Food Estate Humbahas. (Foto: Parboaboa/Calvin Siboro)

Sumber air berasal dari tiga sungai yang mengalir di sekitar lahan food estate. Air dari sana kemudian disimpan di bak penampungan (embung). 

Air kemudian akan didorong oleh pompa dari embung ke lahan warga melalui pipa-pipa. Namun, menurut Marnida, tidak pernah ada air yang mengalir ke lahan pertanian. 

Padahal, sungai yang menjadi sumber air tidak pernah surut. Parboaboa sempat melongok ke dalam embung berdiameter 200 meter dengan kedalaman 12 meter itu. 

Benar saja, air di dalamnya berisi kurang dari sepertiga dari total volume yang bisa ditampung embung itu. 

"Hidup air itu, kalau ada datang pejabat ke sini barulah diisi penuh bak airnya itu," kata Marnida dengan nada sinis. 

Karena pasokan air dari pipa tidak bisa diandalkan, petani membeli pompa air sendiri untuk menyedot air dari tanah.

Ironisnya, berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera II menggelontorkan Rp144,4 miliar untuk membangun jaringan perpipaan food estate di Humbahas. 

Kelindan masalah lumbung pangan di Desa Ria-Ria menyebabkan banyak petani mengalami gagal panen. Di musim tanam kedua, kondisi itu menyebabkan petani tidak punya modal untuk membeli bibit dan pupuk.

Bantuan dari pemerintah pun tak kunjung tiba. Sebagian petani memilih berhenti menggarap food estate dan kembali menyadap kemenyan dan memetik andaliman.

 

Petani kembali menyadap kemenyan dan andaliman setelah hasil panen dari Food Estate gagal. (Foto: Parboaboa/Calvin Siboro)

Dua kegiatan itu menjadi profesi warga Desa Ria-Ria sebelum proyek food estate masuk. Alhasil, mereka membiarkan lahan lumbung pangan begitu saja, hingga kini dipenuhi semak belukar. 

Pantauan Parboaboa, cuma 10-20 persen dari 215 hektare lahan proyek food estate yang kini masih digarap. Di kelompok tani pimpinan Lamsihar Siregar saja, tinggal enam dari 21 orang anggota yang masih menggarap lahan lumbung pangan. 

Ketika panen pertama, pada 2021, nasib Lamsihar relatif lebih baik. Ia bisa memanen 6 ton kentang. 

Masalahnya, ia kesulitan mencari pembeli. Ia terpaksa menjual hasil panen ke tengkulak. Otomatis harganya lebih murah dari harga wajar dari petani. 

"Paling sedikit selisihnya Rp3-4 ribu per kilo," ucapnya. Padahal pemerintah menjanjikan hasil food estate akan dibeli perusahaan dengan harga yang bagus. 

Lamsihar kini tak lagi menanam tanaman yang direkomendasikan Kementerian Pertanian untuk lumbung pangan. Ia memilih banting setir menanam kol yang modalnya relatif murah dan panen lebih cepat.  

Menjual kol juga terbilang gampang. Pasalnya, permintaan di pasaran masih tinggi. Parboaboa berjumpa dengan petani lain yang nasibnya apes, sebut saja Ronald. 

Ia sempat meminjam KUR senilai Rp90 juta dengan bunga 6 persen per tahun. Pada masa tanam kedua, uang pinjaman itu ia gunakan sebagai modal menanam bawang putih di lahan seluas satu hektare. 

Namun ia hanya bisa menghasilkan 1 ton dan dijual Rp10 ribu per kilogram. “Hancurlah, rugi besar aku,” keluhnya. 

Untuk membayar utang ke bank, ia terpaksa menjual 1 hektare dari 2 hektare lahan miliknya seharga Rp200 juta. Ia berencana menggunakan sisa hasil penjualan tanah untuk modal menanam kol. Ia kapok menanam bawang putih yang butuh perawatan ekstra. 

Enggak bisa ditanam sekali langsung berhasil kalau di sini,” katanya.  

Mardianton Lumban Gaol, pengurus Lembaga Adat Desa Ria-Ria, sejak awal sangsi food estate akan berhasil. Ia termasuk petani yang tidak ikut dalam euforia lumbung pangan. 

Prosesnya, menurut dia, terlalu terburu-buru. “Makanya proyek sulap-sulapnya ini dibilang itu disini,” pria 67 tahun itu berujar. 

Pipa pengairan air di lahan Food Estate Humbahas yang tidak berfungsi. (Foto: Parboaboa/Calvin Siboro)

Menurut Romian Christina Siagian, Anggota Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat, proyek food estate di Humbahas minim partisipasi masyarakat. Petani terkecoh karena tidak memahami skema yang ditawarkan. 

Ia menjelaskan, pemerintah hanya akan memberi pupuk dan bibit pada masa tanam pertama. Di tahap kedua, petani langsung berhubungan dengan perusahaan yang akan menyerap hasil pertanian. 

Romian menemukan, pernah ada koperasi unit bersama yang diberi tanggung jawab oleh Pemerintah Kabupaten Humbahas untuk menangani hasil produksi petani. Sistem pembagiannya 60 persen untuk petani, 30 persen untuk KUB dan 10 persen biaya administrasi. 

“Tapi sampai sekarang keuangan KUB-nya tidak transparan dan petani rugi,” papar Christina. 

Parboaboa mengkonfirmasi keluhan petani ke Anggota Tim Kementan Food Estate Humbahas, Muchtar Sibarani. Ia mengaku tidak tahu alasan resmi peralihan dari Kementan ke Kemenko Marves. 

“Bahasan peralihan tersebut, sudah tingkat pimpinan tinggi. Bukan kapasitas kami untuk menjawab,” ia menjelaskan. 

Peran Kementan saat ini hanya pendampingan petani dan monitoring perkembangan lahan. Ia membenarkan instansi tempatnya bekerja tidak lagi mengucurkan anggaran ke food estate.

“Setelah peralihan, tidak ada lagi bantuan langsung berupa sarana prasarana ke petani,” Muchtar menambahkan. 

Parboaboa berusaha menghubungi Juru Bicara Kemenko Marves, Jodi Mahardi, terkait lumbung pangan di Humbahas. Namun hingga berita ini ditayangkan, ia belum memberikan respons. 

Reporter: Calvin Siboro

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS