Buah Manis Kearifan Lokal Dayak Pitap

Karung-karung gabah menumpuk di lumbung padi rumah warga (Foto: PARBOABOA/Anna Desliani)

Laporan Khusus dari Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan.

PARBOABOA -- Perjuangan warga Dayak Pitap melawan perusahaan tambang dan sawit di wilayah mereka bukanlah perkara mudah. Selama puluhan tahun, mereka bekerja keras untuk melindungi kawasan Meratus, meskipun masalahnya masih belum sepenuhnya teratasi.

Hingga kini, perizinan korporasi-korporasi tersebut belum dibatalkan oleh pemerintah, sehingga sewaktu-waktu mereka bisa saja beroperasi. Salah satu perusahaan tersebut adalah PT Malindo Jaya Diraja (MJD), perusahaan sawit asal Malaysia yang memiliki konsesi sekitar 10.000 hektar, setengahnya berada di wilayah adat Dayak Pitap.

"Kami mulai bertahan dan berjuang sejak tahun 1999 sampai sekarang," kata Anang Suriani, Kepala Desa Kambiyain, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.

Dengan mengenakan pakaian dinas berwarna kuning gading kecokelatan lengkap dengan atributnya, Anang berkisah kepada Parboaboa di ruang kerjanya tentang bagaimana komunitasnya selama puluhan tahun mampu bertahan dari ancaman perusak lingkungan.

Anang Suriani, Kepala Desa Kambiyain (Foto: PARBOABOA/Anna Desliani)

Ia menggambarkan, jika Indonesia sekarang berperang dengan negara lain, dalam dua minggu saja perekonomian negara kita bisa bangkrut, dan banyak rakyat akan kesulitan makan nasi. Namun, di kawasan Meratus, dua hingga empat tahun Indonesia dalam keadaan perang, warga Dayak Pitap masih bisa makan nasi karena setiap warga punya persediaan beras.

"Di sini ada larangan menjual padi," ujar Anang Suriani. Ia sendiri mengagumi tradisi yang membuat mereka sanggup bertahan hingga sekarang.

Masyarakat Dayak Pitap sangat terikat dengan peraturan adat dan begitu menghargai hasil alam. Padi, misalnya. Mulai dari proses pra-tanam hingga panen, ada ritual adatnya.

Sebelum membuka lahan, mereka mengadakan upacara untuk mencari tanah, meminta izin kepada Sang Pencipta dan makhluk selain manusia yang tinggal di hutan, agar tidak saling mengganggu nanti.

Jika tanah dianggap sudah cocok, langkah berikutnya adalah membakar lahan. Ini tidak boleh dilakukan sembarangan. Ada ritusnya, dengan persembahan yang disiapkan untuk menunjukkan bahwa pemanfaatan hutan harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

Suku Dayak Pitap, yang mendiami Pegunungan Meratus, meyakini bahwa setiap bulir abu dari pembakaran akan membuat tanah yang akan mereka tanami menjadi subur.

Ketika padi sudah menguning, ada lagi upacara yang disebut singgat banih. Saat mengangkat hasil panen ke rumah pun ada ritualnya, demikian juga ketika membersihkan padi menjadi gabah.

"Namanya beirit. Sebelum memasukkan ke tempat lulung atau penampungan, ada upacara lagi," jelas Anang Suriani.

Lulung, atau lumbung khusus berbentuk lingkaran yang memanjang ke atas, adalah tempat menyimpan gabah (butir padi yang sudah lepas dari tangkainya). Setiap warga memiliki lumbung yang mampu menampung sekitar 5-10 ton gabah, biasanya ditempatkan di dapur dekat dengan perapian.

Setelah semua proses dari pra-tanam hingga panen rampung, warga berkumpul untuk memusyawarahkan kapan sebaiknya upacara aruh dilangsungkan. Ritual pasca-panen ini merupakan puncak perhelatan, dengan tarian, nyanyian, dan sajian yang menghiasi. Lemang, dodol, wajik, gayam, dan aneka kue tradisional diletakkan di atas nampan dari rotan.

Masyarakat Dayak Pitap wajib memberikan hewan kurban berupa ayam atau babi dalam upacara yang dipimpin oleh balian—rohaniwan dalam agama Hindu Kaharingan yang dipercaya dapat berkomunikasi dengan para leluhur.

Keranjang-keranjang untuk prosesi tradisi Aruh tersimpan di Balai Adat Dayak Pitap (Foto: PARBOABOA/Anna Desliani)

Aruh, ritual sesaji sebagai wujud syukur kepada Sang Pencipta atas sumber kehidupan yang diberikan, termasuk padi, merupakan simbol penghargaan masyarakat terhadap kehidupan dan alam semesta. Mereka meyakini bahwa manusia dan alam saling membutuhkan dan tak terpisahkan.

Apabila alam hancur, lingkungan akan rusak dan hutan tak lagi membentang. Jika itu terjadi, warga tak dapat bercocok tanam seperti biasa. Bagaimana mereka bisa menghasilkan padi yang menjadi sajian wajib saat upacara adat?

"Dari padi itulah kami bisa mempersembahkan kurban kami kepada leluhur maupun Sang Pencipta sebagai ucapan terima kasih," terang Anang Suriani, sambil mengusap wajahnya yang sedikit berkeringat di siang bolong itu.

Selain menanam padi, masyarakat Dayak Pitap juga berkebun dengan konsep tumpang sari, menanam pisang, talas, ubi, dan sayur di sawah mereka.

Sejak dulu, masyarakat Meratus sering dianggap menerapkan sistem ladang berpindah, tapi itu tidak benar. Dayak Pitap menerapkan sistem gilir balik, menanam kembali di tempat yang sama, dengan batas-batas lahan sesuai garis keturunan. Misalnya, jika tanaman karet sudah tidak produktif, pohonnya akan ditebang dan bibit baru ditanam lagi.

Warga juga menerapkan sistem gotong royong dalam pertanian, yang disebut udal.

Hasil Kebun

Kami meniti jembatan bambu yang tersusun sekitar empat baris, tidak jauh dari kantor Desa Kambiyain. Di permukiman hutan Meratus, kami bertemu Eka Karlina, seorang guru di SMP Negeri 2 Awayan, Desa Sumsum, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan.

Saat itu, Eka sedang duduk bersila di depan rumahnya, memangku anak perempuannya. Dengan tatapan tajam tapi hangat, ia melirik ke arah kami. Setelah memperkenalkan diri, kami mulai berkomunikasi dengan baik.

Seorang petani sedang mengangkut potongan kayu untuk kebutuhan pembibitan kebun (Foto: PARBOABOA/Anna Desliani)

Di samping rumah Eka, tampak seorang ibu dan anaknya tengah membereskan dan mengangkut pisang yang baru dipanen. Kami beruntung bisa menyaksikan proses ini.

Eka, alumni Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, Bali, bercerita sambil menyodorkan sepiring pisang segar yang baru dipetik.

Produksi pisang di Kecamatan Tebing Tinggi mencapai 7.758 kuintal pada tahun 2019, 7.195 kuintal pada tahun 2020, 3.871 kuintal pada tahun 2021, dan meningkat lagi menjadi 6.653 kuintal pada tahun 2022.

Saking banyaknya, sebagian besar buah pisang dijual ke luar desa. Masyarakat hanya perlu mengantarnya menggunakan sepeda motor ke seberang jembatan bambu, tempat penampungan buah sebelum diambil oleh pembeli dari luar.

Warga juga menanam tomat, cabai, terong, serta berbagai buah dan sayuran lainnya. Mereka juga menggantungkan perekonomian pada perkebunan karet, hampir setiap hari menyadap pohon untuk mengambil getah.

Selain itu, Dayak Pitap memproduksi beragam keranjang atau bakul sebagai tempat buah-buahan dan lain-lain. Keranjang ini terbuat dari rotan yang dibelah memanjang dan dihaluskan, kemudian dikeringkan agar tidak berjamur dan tahan lama.

Eka berjalan ke seberang rumahnya untuk menunjukkan kerajinan tangan masyarakat Dayak Pitap. Ia duduk dan mengambil beberapa keranjang rotan yang sudah jadi, menyusunnya dengan rapi di beranda rumah tetangga. Angin berembus pelan, menyisir daun-daun kering di depan rumah kayu ulin itu.

Sambil memperkenalkan kerajinan lokal, Eka menyinggung pentingnya hutan bagi kehidupan Dayak Pitap.

"Mayoritas masyarakat Dayak bertani. Jika hutan dan tanah kami ditambang, otomatis kami tidak bisa lagi bertani dan berkebun secara leluasa," tuturnya.

Salah satu hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat Dayak Pitap adalah rotan. Dari tanaman hutan yang tumbuh merambat ini, mereka bisa menganyam dan membuat keranjang, digunakan untuk kebutuhan pribadi atau dijual.

Kadang, warga juga berburu untuk mendapatkan bahan makanan atau sekadar mengamankan kebun dari hewan liar. Namun, tidak semua hewan di Meratus bisa diburu, seperti trenggiling (Manis javanica) yang dilarang.

Masyarakat Dayak Pitap setia menjalankan kearifan lokalnya hingga hari ini, dan mereka telah merasakan buah manisnya. Sangat wajar jika mereka menolak perusak alam, terutama perusahaan tambang atau sawit.

Bersambung...

Reporter: Anna Desliani

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS