Sistem Sel Peredaran Rokok Tanpa Cukai

Ilustrasi transaksi rokok tanpa pita cukai. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik)

PARBOABOA - Amir, sebut saja begitu, sudah sebulan belakangan kesulitan mendapat pasokan rokok tanpa pita cukai. Pedagang kelontong di Desa Marindal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, itu kini sudah kehabisan stok. 

Padahal komoditas tersebut merupakan primadona di kalangan pelanggannya. Menurut Amir, 80 persen pembeli rokok di warungnya mencari produk tanpa pita cukai. 

"Karena orang pilih yang harganya murah. Sekarang orang tidak peduli mau rokok apa, yang penting merokok," ia menjelaskan alasannya, medio Agustus lalu.

Dua merek yang paling banyak dicari pelanggannya yakni Helium dan YS Mild. Untuk tiap slop berisi 10 bungkus rokok, Amir membeli dari agen seharga Rp163 ribu untuk Helium dan Rp120 ribu untuk YS Mild. 

Ia meraup untung lumayan karena tiap bungkusnya akan dijual Rp20 ribu. Rata-rata ia meraup laba antara Rp37-80 ribu per slop.

Rokok tanpa pita cukai tergolong barang ilegal. Produk ini beredar tanpa memenuhi kewajiban membayar cukai. Itu sebabnya, harga jualnya bisa lebih murah dibanding rokok resmi di pasaran. 

Amir biasanya tidak kesulitan mendapatkan rokok ilegal. Ia punya tiga agen langganan yang menjadi penyuplai. Sekali belanja, ia minimal mengambil tiga slop. 

Kelangkaan rokok tanpa cukai terjadi di nyaris seluruh wilayah Sumatra Utara. Usut punya usut, para pemasok kini sedang tiarap. 

Rokok tanpa cukai merek Helium yang beredar di Sumatra Utara. (Foto: PARBOABOA/Ahmidal)

Aparat di Sumatra Utara sedang ketat-ketatnya mengawasi peredaran rokok tanpa cukai. Beberapa distributor kakap bahkan sudah digulung penegak hukum. 

"Ini lagi gawat. Banyak razia, makanya sulit barang," ucap seorang agen yang biasa menyuplai ke daerah Kota Medan dan sekitarnya.

Ia mengaku mendapat rokok tanpa cukai dari Jawa, tanpa bersedia menyebutkan lokasi persisnya. Rokok-rokok dikirim melalui jasa kurir ekspedisi. 

Ia biasa memesan 25 slop untuk sekali pengiriman. Barang-barang itu kemudian dipasarkan langsung ke warung-warung. 

Wilayah Malang, Jawa Timur, dan Jepara, Jawa Tengah, merupakan episentrum utama produksi rokok tanpa cukai. Dari sana rokok ilegal itu didistribusikan ke berbagai daerah. 

Pulau Sumatra, menurut seorang pelaku industri rokok di Malang, selama ini memang menjadi salah satu pasar utama peredaran rokok tanpa cukai. Konsumen rokok ilegal juga banyak berada di Kalimantan dan Jawa. Khusus di Jawa, produk tersebut banyak terserap di Jawa Barat. 

Sebagian distributor juga memanfaatkan lokapasar (marketplace) untuk menjajakan rokok tanpa pita cukai. Semua platform toko daring sejatinya punya aturan yang melarang penjualan rokok, baik yang legal maupun yang ilegal. 

Untuk mengelabui, penjual rokok ilegal biasanya menghindari penggunaan kata "rokok" dalam deskripsi barang jualan. Mereka menggunakan istilah tertentu untuk menyamarkan dagangannya, seolah produk yang dijual bukan kategori rokok. Bahkan distributor-distributor ini juga ada yang sama sekali tidak memajang foto rokok.  

Tangkapan layar rokok tanpa cukai yang dijual di marketplace. (Foto: PARBOABOA/Akbar)

Akan tetapi, sebagian besar pemasok sudah meninggalkan metode itu. Seorang distributor rokok tanpa cukai di Jepara mengatakan, risiko memasarkan produk di lokapasar terlalu besar. Pengelola pasar online kerap menyisir produk yang tidak sesuai syarat dan ketentuan mereka. 

"Mau gimanapun itu pasti ketahuan. Enggak bertahan lama pasti keblokir. Kalau saldo sudah ketarik enggak apa-apa, kalau belum kan hangus," kata distributor rokok tanpa cukai tadi. 

Menurutnya, lebih aman bertransaksi lewat aplikasi perpesan. Kebetulan ia sudah punya beberapa pelangganan, yang paling besar di daerah Garut, Jawa Barat. 

Begitu ada order masuk, ia akan mencari barang ke produsen. Sumber Parboaboa mengaku tidak menyimpan persediaan rokok tanpa cukai dalam jumlah besar. Hal ini untuk menghindari razia Bea Cukai sekaligus mencegah kualitas rokok turun bila disimpan terlalu lama. Ia biasa akan menyetok sesuai pesanan saja. 

Bila stok sedang tipis, ia tak jarang mencari persediaan ke distributor lain. Kemudian paket dikemas sesuai pesanan. Modus distribusinya menggunakan fasilitas sistem cash on delivery (COD) yang disediakan jasa ekspedisi. Penerima baru akan membayar ketika rokok sudah diterimanya dari kurir. 

Cara dianggap aman karena menjamin kerahasiaan distributor. Pemesan tidak akan mengetahui identitas dan alamat pengirim. Pasalnya, jasa ekspedisi tidak mencantumkan informasi lengkap pengirim dalam resi. Sementara itu, komunikasi lewat aplikasi perpesan juga dilakukan secara anonim.

Namun skema distribusi menggunakan jasa ekspedisi bukan tanpa cela. Kalau sedang apes, barang kiriman juga bisa terkena razia Bea Cukai. Pengirim dan penerima biasanya sudah membuat kesepakatan di awal untuk memitigasi risiko. 

Sumber Parboaboa mencontohkan barang yang akan dikirim ke Jawa Barat. Bila rokok tanpa cukai terjaring razia di Jawa Tengah, seluruh kerugian akan ditanggung distributor. Ia akan mengirim ulang pesanan yang sama. Kalau barang terkena razia di wilayah jawa Barat, risiko akan ditanggung bersama antara penjual dan pembeli, masing-masing 50 persen.  

Penyelenggara jasa ekspedisi sebenarnya juga punya aturan ketat terkait barang yang dikirim. Bea Cukai sudah mewanti-wanti pelaku usaha untuk tidak berurusan dengan peredaran rokok ilegal. Makanya, gerai-gerai pengiriman barang di daerah rawan produksi rokok tanpa cukai biasanya sudah memasang peringatan: Tidak menerima titipan rokok ilegal!

Lagi-lagi, aturan tersebut masih bisa diakali. Distributor biasanya berkongkalikong dengan oknum pekerja ekspedisi. Konsekuensinya, kocek harus dirogoh lebih dalam sebagai pelicin. Hal ini juga penting untuk menjaga paket sampai ke tujuan dengan utuh. 
Sebab, ada saja kurir nakal yang menyebabkan barang “bocor” di tengah perjalanan. Mereka biasanya mengambil sebagian isi paket. "Misalnya ngirim sebal atau dua bal, itu barang di dalem diambil, tiga slop atau empat slop," kata sumber tadi.

Pemusnahan rokok tanpa cukai oelh Bea Cukai Kudus. (Foto: Dok. Bea Cukai Kudus)

Setiap satu bal rokok tanpa cukai memuat 20 slop, yang tiap slop berisi 10 bungkus. Sumber Parboaboa pernah beberapa kali mendapat komplain dari pemesan yang mempertanyakan ketidaksesuaian jumlah barang dengan kesepakatan. 

Pengiriman paket tidak melulu menggunakan jasa ekspedisi. Kerap kali distributor main kucing-kucingan dengan aparat memanfaatkan jasa pengiriman yang disediakan bus perjalanan. Penerima nanti akan mengambil barang di terminal bus tujuan. 

Jalur peredaran rokok ilegal pun tidak hanya bertumpu pada distributor. Ada juga produsen yang ikut menyalurkan rokok tanpa cukai tapi dengan volume transaksi yang lebih besar. 

Informasi itu disampaikan seorang sumber di Jepara yang pernah terlibat dalam ekosistem produksi rokok ilegal. Menurut dia, produsen akan menggunakan jasa pengiriman tidak resmi. 

Biasanya ekspedisi semacam ini menawarkan jasa langsung ke produsen. Sistemnya hanya kerja sama putus per pengiriman. Ongkosnya akan tergantung jumlah bal yang dikirim. 

Orang yang menawarkan jasa pengiriman tadi kemudian menyewa sopir untuk membawa berbal-bal rokok tanpa cukai. Pengemudi ini tidak tahu menahu barang apa yang mereka bawa. Seringkali merekalah yang menjadi korban ketika terjaring razia.  

"Banyak lulusan SMA masih muda-muda yang ketangkep, dipenjara, ada yang 2 tahun sampai 3 tahun," ujar sumber Parboaboa. 

Modus pengiriman rokok tanpa cukai membuat Bea Cukai kerepotan mengantisipasi peredarannya. Menurut Sandy Hendratmo Sopan, Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi KPPBC Tipe Madya Cukai Kudus, banyak kurir juga tidak tahu siapa pemilik barang ilegal itu. 

"Pak ini bukan punya saya pak, saya ngantar aja," Sandy menirukan kesaksian para sopir yang biasa terjaring razia. 

Sandy Hendratmo Sopan, Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi KPPBC Tipe Madya Cukai Kudus. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik)

Bea Cukai tidak punya pilihan selain menjadikan mereka sebagai tersangka lantaran kedapatan menguasai rokok ilegal. Ia menduga, ada kemungkinan pengirim paket juga tidak jujur perihal isi muatan. 

Bea Cukai Kudus sendiri memiliki kewenangan di wilayah bekas karesidenan Pati yang meliputi Kudus, Blora, Pati, Jepara dan Rembang. Di Jepara terdapat beberapa daerah yang masuk zona merah produksi rokok tanpa cukai.

Menurut Sandy, Bea Cukai setiap wilayah sudah berbagi informasi untuk membatasi ruang gerak peredaran rokok ilegal. Dulu, pengirimannya kerap menggunakan jalur Tol Jawa Timur-Jakarta. 

Rokok tanpa cukai biasa berhasil dicegat di Solo, Semarang, Tegal, bahkan Lampung. Begitu jalur Solo diperketat, para kurir mengubah rute keluar dari Sragen dan masuk ke Salatiga. Sumber pengiriman selalu berasal dari jaringan Jawa Timur dan Jawa Tengah. 

"Mereka ini sistem penjualannya sudah kayak narkoba. Enggak akan ketemu pelaku utamanya," ujar Sandy. 

Penelusuran jaringan selalu mentok di kurir atau distributor tingkat kedua. Peredaran dengan sistem sel menyebabkan pihak-pihak yang terlibat bisa jadi tidak saling mengenal satu sama lain. Kalaupun ada yang saling tahu, biasanya hanya di level distribusi akhir.  

Di lapangan, setiap rantai distribusi juga tampak beroperasi dengan sangat berhati-hati. Penjualan rokok tanpa cukai dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Distributor di level kedua atau ketiga pun tidak sembarangan memberikan rokok ke pedagang eceran. 

Mereka sangat berhati-hati agar aktivitasnya tidak terendus aparat. Amir, pedagang kelontong di Deli Serdang, butuh tiga kali pertemuan untuk meyakinkan agen bahwa ia bukan intel yang menyamar. 

Biasanya agen hanya memberikan barang ke orang yang sudah mendapat rekomendasi dari lingkaran yang sudah mereka kenal terlebih dulu. Penyerahan rokok pun selalu dikamuflasekan dalam kotak air mineral kemasan atau bungkus kertas cokelat agar tidak dicurigai. 

Sistem tertutup juga berlaku di penjualan eceran. Para pedagang ini tidak akan gegabah memberikan rokok ke pembeli yang baru dikenal. 

Amir, misalnya, sudah diperingatkan agennya untuk waspada. Rokok tanpa cukai tidak di pajang di etalase dagangan. 

Jika ketahuan aparat, risikonya tidak main-main. Amir mendapat informasi, dendanya bisa mencapai Rp2500 per batang. "Rp2500 per batang, kalau satu slop berapa pula itu," kata Amir. 

Reporter: Achmad Rizki Muazam, Ghiyatuddin Yauzar, Patrick Damanik

Editor: Jenar
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS