Bayang-bayang Kekerasan Seksual di Sekolah Agama

Menolak kekerasan seksual. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Memantau Eksekusi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

PARBOABOA - Tersangka pelaku licik itu putra seorang kyai yang sangat berpengaruh di Jawa Timur. Akibatnya, sulit untuk mengubah kinerjanya. Tatkala konferensi akhirnya bisa digelar setelah 5 tahun lampau, yang terjadi adalah adu kekuatan.

Keluarga penyihir Moch Subchi Azal Tsani (Bechi) menurunkan beberapa orang pembela sekaligus. Tentu saja mereka tidak menegakkan hukum. Ruang sidang juga selalu dipenuhi oleh pendukung sang putra mahkota pemilik pesantren. Demikian pula halaman gedung pengadilan. Di sana mereka rutin menunjukkan rasa.

“Bapaknya Bechi itu kepala mursyid thariqah [guru tarekat]. Kalau di NU [Nadhatul Ulama] Rois Am . Kyai Muhammad Mukhtar Mukthi itu tempat jenderal-jenderal sowan kalau mau dapat jabatan dan lain-lain. Jadi, ya susah sekali memang. Jadinya banyak tantangannya,” kata Alissa Wahid kepada Parboaboa belum lama ini. Anak sulung Gus Dur ini seorang psikolog keluarga yang juga pegiat kemanusiaan.

Diminta oleh Polri, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pun turun ke Surabaya. Livia Iskandar, Wakil Ketua LPSK, yang memimpin tim. Melihat pengarahan massa yang masif, mereka juga berkoordinasi dengan Polda Jawa Timur. 

“Kami memang memberikan perhatian khusus. Soalnya terjadi pengarahan massal sehingga saksi dan korban merasa tidak aman dan nyaman,” kata Livia Iskandar, psikolog lulusan Universitas Indonesia yang kemudian beroleh gelar master psikologi di City University, London, dan doktor bidang kesehatan dari Universitas Hawaii, Honolulu, AS.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim, Mia Amiati yang menjadi jaksa penuntut umum dalam konferensi ini. Itu antara lain bukti betapa seriusnya masalah ini.

“Kapolda Jatim sendiri turun tangan. Memang heboh sekali waktu itu. Soalnya pendukungnya banyak sekali dan mereka tampak siap mati. Sayang, Jakarta saat itu sedang fokus pada kasus Sambo. Perkara Bechi pun seperti ketelan .”

Livia Iskandar, Wakil Ketua LPSK periode 2019-204 . (Foto: PARBOABOA/ P. Hasudungan Sirait )

Semula, Saksi yang juga mengorbankan seorang saja. NA inisialnya. Merasa tidak aman dan nyaman karena penahanan ada di ruang sidang, santriwati itu kemudian meminta agar diperiksa di tempat terpisah. Pimpinan sidang mengizinkan.

NA diperiksa di ruang sebelah. Tak kurang dari 7 jam ia diminta menjelaskan ihwal apa saja yang dilakukan Bechi terhadap dirinya sendiri. Bisa kita membayangkan betapa stres dan lelahnya dia waktu itu. Penemuan, keberanian dan keteguhan yang dipunyainya.

Saksi-korban rupanya bertambah terus. Dari 1 menjadi 4, lalu 6, dan akhirnya belasan. LPSK pun menggandeng tim psikologi Jatim. Sesuai Undang-Undang Tindak Pidana Kejahatan Seksual (UU TPKS), alat bukti sah dalam pembuktian TPKS termasuk surat keterangan psikolog klinis dan atau psikiater, rekam medis, dan hasil pemeriksaan forensik (Pasal 24 ayat 3). Sedangkan dalam Pasal 26 dikatakan korban dapat didampingi oleh pendamping pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan (ayat 1) dan salah satu pendamping itu adalah psikolog (ayat 2 d).

Para Saksi-korban mendapat tekanan dari pihak Bechi. Mereka diminta mencabut pengaduan. Namun LPSK berjanji akan terus maju.

Seorang Saksi (yang bukan korban) sampai dianiaya pendukungnya. Jurnalis perempuan yang masih percaya itu datang dan dirampas telepon selulernya sebelum didorong ke dinding. “Ia dimusuhi karena giat mewartakan kasus ini termasuk lewat media sosial,” ucap Livia Iskandar, Wakil Ketua LPSK periode 2019-204.

Para Saksi-korban tidak aman. Sebab itu, selama proses peradilan mereka pun ditempatkan di rumah aman yang disiapkan LPSK. Untuk melindungi Saksi dan korban secara fisik, lembaga ini bisa menyiapkan rumah aman, pengamanan perlengkapan, pengamanan dalam keliling, pegawasan, identitas baru, dan fasilitas tempat kediaman (sementara dan atau baru).

Daftar Pencarian Orang

Awalnya, Bechi yang merupakan guru sekaligus Wakil Rektor Ponpes Majma'al Bachroin Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah, Desa Losari, Ploso, Jombang, diadukan seorang santriwatinya, NA, pada tahun 2017. Namun, Polres Jombang menghentikan penyelidikanan dengan alasan tidak ada bukti.

Pada tahun 2019 NA itu mengadu lagi ke tempat yang sama. Tuduhannya serupa yakni pencabulan dengan modus transfer ilmu. Setelah menyidik ​​ulang, Polres Jombang menjerat Bechi dengan pasal licik dan perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur.

Polda Jatim mengambil alih kasus ini pada tahun 2020 setelah membuat banyak yang mengadukan Bechi. Tapi, pria kelahiran 20 Juni 1980 berbalik melawan lewat gugatan praperadilan di Surabaya dan, kemudian, di Jombang. Gugatannya ternyata ditolak.

Setelah tiga kali melayangkan suara panggilan dan tak digubris, Polda Jatim pun memasukkan Bechi ke Daftar Pencarian Orang (DPO) pada 13 Januari 2022. Penolakan yang terjadi saat mereka hendak menangkap max. KH Muhammad Mukhtar Mukthi sendiri melindungi putranya. Ulama terkemuka yang menjadi pengasuh pondok pesantren (ponpes) Shiddiqiyyah, Jombang, menyatakan tuduhan terhadap sang putra mahkota adalah fitnah semata.

Bechi kabur saat mobilnya disergap polisi pada 3 Juli 2022. Empat hari berselang sekitar 600 polisi megepung Ponpes Shiddiqiyyah. Tiga ratus orang yang ada di sana pun dibawa ke Mapolres Jombang.

Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan periode 2010-214 . (Foto: PARBOABOA/ . Hasudungan Sirait )

Lima hari berselang, Moch Subchi Azal Tsani (Bechi) akhirnya menyerahkan diri. Setelah undian di PN Surabaya, pada 1 Oktober 2022 Mia Amiati menuntut dia hukuman pernjara 16 tahun. Ini sesuai pasal 15 UU TPKS yaitu 12 tahun hukuman maksimal ditambah khususnya.

Ternyata saat divonis pada 17 November 2022 hukumannya dikurangi separuh lebih dari tuntutannya, yakni pidana 7 tahun penjara.

“Putusan yang sangat mengecewakan. Memang benar, sedang terjadi demoralisasi di lingkungan penegak hukum kita. Ngeri sekali,” kata Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan periode 2010-214, kepada Parboaboa .

Kasus Herry Wirawan

Masih di tahun 2022, LPSK juga menangani kasus kekerasan seksual yang tak kalah sensasional. Tempat kejadiannya juga di pesantren yakni di Cibiru, Bandung. 

Herry Wirawan, pemilik dan pengurus Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Pondok Pesantren Madani Cibiru, telah memerkosa 13 santrinya yang berusia 13-16 tahun. Sembilan bayi yang lahir. Seorang korban sampai dua kali bersalin. 

Kendati telah dilaporkan ke polisi pada Mei 2022, kejahatan Herry ini baru diketahui khalayak luas saat sidang ketujuh di PN Bandung pada 7 Desember 2022 dengan agenda mendengarkan keterangan Saksi.

Jaksa menuntut hukuman mati Herry Wirawan. Namun putusan Pengadilan Negeri Bandung pada Februari 2022 adalah hukuman seumur hidup. Menggunakan UU TPKS, PN Bandung menyatakan adanya restitusi (uang ganti rugi) untuk 13 korban. Negara yang akan membayarnya.

Jaksa banding dan ternyata ia menang. Pengadilan Tinggi Bandung menyatakan Herry dihukum mati. Selain itu dia harus membayar biaya restitusi Rp 300 juta lebih. Setiap korban akan mendapatkan uang restitusi yang jumlahnya tak sama. .

Pengadilan Tinggi Bandung juga menyatakan "merampas harta kekayaan/aset penipu Herry Wirawan berupa tanah dan bangunan serta hak-hak penipu dalam Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda, Pondok Pesantren Tahfidz Madani, Pondok Pesantren Yayasan Manarul Huda, serta aset lainnya yang sudah disita maupun yang belum ."

Herry menempuh jarak kasasi. Ternyata pada 8 Desember 2022 Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung.

Sekian lama Herry Wirawan telah memanfaatkan orang-orang terbelakang secara ekonomi dengan menjual mimpi-mimpi. Ke mereka yang bercita-cita menjadi guru, polisi, dokter, dan yang lainnya itu ia menjanjikan sekolah dan dana.

“Ekonomi para korban rata-rata sangat bermasalah. Mereka susah. Ada yang rumahnya jauh di balik gunung. Manajer kami di LSPK ada yang membahas mereka waktu itu. Ia enam jam naik sepeda motor ke sana dan harus melalui lintasan yang sangat berat,” tutur Livia Iskandar.

Tidak punya uang Herry untuk membayar restitusi yang Rp 300 juta itu. Asetnya yang di Cibiru tak ada yang sudi membeli kendati harga jualnya murah. LPSK akhirnya turun tangan.

“Kalau tidak salah 29 orang yang harus ditanggung LPSK. Selain bayi-bayinya, sebagian ibunya pun ikut menjadi tertanggung karena memang masih kecil-kecil.”

Sekolah Bibelvrow

Tentu saja kejahatan seksual tidak hanya terjadi di pesantren. Di lembaga pendidikan non-Islam di negeri kita ini juga terjadi. Di Sekolah Bibelvrouw, Laguboti, misalnya. Berikut ini kisahnya. 

Dosen itu sering memanggil siswa ke satu ruangan. Panggilan pagi, siang, sore, atau malam. Alasannya macam-macam. Konseling pastoral (pengembalaan), bimbingan penulisan (khotbah atau skripsi), membuatkan kopi, dan sebagainya.

Di bilik yang merupakan laboratorium komputer ternyata nafsu seksnyalah yang dilampiaskan dosen. Ia selalu memulai dengan menghipnotis. Korban yang sudah di bawah kendalinya disuruhnya menanggalkan segenap penutup tubuh sebelum digerayangi. Memasukkan benda tertentu ke alat kelamin dan oral seks antara lain yang dilakukannya.

Para korban yang semuanya mahasiswi kemudian diiming-iminginya dengan beasiswa dan yang lainnya. Mereka dimintanya untuk tetap mulut. Ia mengingatkan bahwa menceritakan hal itu kepada orang lain merupakan kesombongan spiritual.

Trauma, stres, dan depresi. Itulah yang kemudian dialami sebagian korban. Mereka juga saling curhat. Kisah nestapa itu akhirnya sampai ke telinga Ibu Asrama, Nursia Siallagan. Bibelvrouw —penginjil bagi jemaat gereja yang tugas utamanya adalah melayani kaum perempuan, pemudi, dan anak-anak—senior itu langsung bertindak. Para korban dihimpunnya dan dimintanya menuliskan selengkap mungkin kejadian yang menimpa diri masing-masing. Laporan itu kemudian disampaikannya ke Direktur Sekolah Bibelvrouw, Pendeta Manarias Sinaga.

Ada 19 orang mahasiswi yang menuliskan pengalaman buruknya. Dalam laporan itu disebut bahwa pelaku, Pendeta Siman Hutahaean, melakukan aksi biadabnya sejak September 2009 hingga Januari 2010.

Sekolah Bibelvrouw Laguboti, milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Zuster Elfrieda Harder asal Jerman mengawalinya di Kutacane, Aceh, pada tahun 1934. Empat tahun berselang sekolah ini dipindahkan ke Laguboti, Kabupaten Toba Samosir (kini Kabupaten Toba), Sumatera Utara. Saat kejadian, programnya diploma 3 (D-3). Sejak tahun 2013 meningkat menjadi strata 1(S-1) dan namanya pun berganti menjadi Sekolah Tinggi Bibelvrouw HKBP.

Para korban dan mahasiswi yang lain ingin kasus ini diselesaikan oleh pucuk pimpinan HKBP. Mereka juga menuntut agar pelaku diberhentikan sebagai pendeta dan pengajar. Ternyata, otoritas lamban tersebut bergerak. Akibatnya, mahasiswa kemudian mendatangi kantor pusat HKBP di Pearaja, Tarutung, pada Januari 2010. Beberapa korban juga diadu ke Polres Toba Samosir (Tobasa).

Visum dilakukan. Polres kemudian menyampaikan berkas perkara ini ke Pengadilan Negeri Balige.

Alih-alih mendengarkan suara hati para korban, pucuk pimpinan HKBP malah menekan mereka dengan pelbagai cara. Kelakuan mereka—terutama Bonar Napitupulu (Eforus; pimpinan tertinggi), Ramlan Hutahaean (Sekjen), Jamilin Sirait (Kadep Koinonia), Binsar Nainggolan (Kadep Marturia, Debora Sinaga (Kepala Personalia), Darwin Lumban Tobing (Ketua Sekolah Tinggi Teologia HKBP) , dan Parulian Sibarani (Praeses Toba)—berpihak. Rupanya, agar lembaga tak sampai kehilangan mukalah sehingga mereka menyatakan demikian.

Gerakan perlawanan pun terjadi. Beberapa orang yang bersimpati—termasuk Dewi Sri Sinaga (ia dosen di STT HKBP) dan sejawatnya sesama pendeta HKBP sedari awal setia mendampingi para korban. Juga pengacara TP Jose Silitonga yang khusus datang dari Jakarta. 

Maret Sepanjang—Desember 2010 teror selalu membayangi seluruh mahasiswa dan sejumlah dosen yang tinggal di kompleks sekolah Bibelvrouw. Beberapa lelaki bertopeng dan membawa klewang acap muncul untuk mengusik. Teror SMS juga merebak bertubi-tubi.

Penerimaan mahasiswi baru ditiadakan pimpinan pusat HKBP. Acara wisuda pada 1 Juli 2010 mereka memboikot. Sejak Oktober 2010, yang membela para korban dipindahkan ke tempat jauh. Termasuk Pendeta Manarias Sinaga yang baru 10 bulan menjadi direktur serta istri-suami Dewi Sri Sinaga—Colan Pakpahan.

Ijazah korban tidak dikeluarkan jika tidak mencabut pengaduan. Hal yang membuat Komnas HAM kemudian turun tangan. Komisionernya, Johny Simanjuntak, datang dari Jakarta pada 16 September 2010.

Gambaran kelam suasana kala itu benderang betul di dalam buku berjudul Panjang, Terkuaknya Kasus Pelecehan Seksual Di Sekolah Bibelvrouw HKBP Di Laguboti, Sumatera Utara (tanpa tahun terbit, ditulis oleh Pendeta Dr. Dewi Sri Sinaga). 

PN Balige memulai konferensi pada tanggal 26 Mei 2010. Setelah serangkaian sidang tertutup, akhirnya pada tanggal 29 September 2010 majelis hakim memvonis Siman Hutahaean 5 tahun penjara; lebih ringan 2 tahun dari tuntutan jaksa. Ia menempuh jalur banding di Pengadilan Tinggi Medan. Ternyata kalah. Ia pun kasasi. Kandas juga. Putusan Mahkamah Agung keluar pada Agustus 2011. Pendeta bejat itu akhirnya membui.

Hubungan Kuasa

Komnas Perempuan menyatakan, kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama tergolong tinggi dibandingkan lembaga pendidikan umum. Perempuan di sana rentan. Ada sejumlah hal penyebabnya.

“Pertama, hubungan kekuasaan berlapis antara pelaku pemilik pesantren dan guru pesantren yang memiliki pengaruh dan dapat memanfaatkan pengaruhnya dengan santriwati. Kedua, masyarakat yang menempatkan pemilik pesantren dan guru pesantren pada posisi terhormat. Ketiga, ketakutan korban dan keluarganya baik karena adanya ancaman maupun posisi baik pelaku. Keempat, korban dan keluarganya juga ketakutan mengalami hambatan-hambatan dalam proses pendidikan akibat kekerasan seksual yang dialaminya.” Komnas Perempuan menyatakan demikian dalam siaran persnya sewaktu menyiarkan kasus Herry Wirawan.

Tentu saja, yang terjadi di Sekolah Bibelvrouw Laguboti juga kurang lebih seperti musebabnya.

Ultra konservatisme sedang menguat di Indonesia. Begitu menurut Alissa Wahid.

“Itu besar pengaruhnya. Jadi, kembalinya konsep patriarki itu menempatkan laki-laki menjadi lebih tinggi dalam hubungan personal. Dosen ke murid, guru ke murid, pendeta ke jemaat, kyai ke santri, suami ke istri, laki-laki ke pasangannya. Itu sedang meningkat,” ucap aktifis yang merupakan Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian tersebut.

Alissa Wahid (kedua dari kiri) bersama para tokoh lintas-agama . (Foto: Instagram/@Alissa Wahid )

Pada saat seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain, lanjut Alissa Wahid, sangat mungkin dia tidak bisa mengendalikan dirinya. Pada titik hubungan yang sangat krusial itu perilaku kekuasaan pun muncul. Ia bisa memukul, memaksa, menggagahi, dan sebagainya.

Ah, relasi kekuasaan yang telah berurat-berakar dalam ini yang harus ditata ulang dengan mengedepankan kesetaraan gender. Jika tidak, Undang-Undang Tindak Pidana Kekekrasan Seksual yang terbilang sudah progresif tidak akan bisa bernas.

Reporter: Rin Hindryati dan P. Hasudungan Sirait

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS