PARBOABOA, Jakarta - Kekerasan seksual merupakan salah satu isu kesehatan paling sensitif di tengah-tengah masyarakat saat ini.
Berdasarkan sejumlah penelitian, anak-anak adalah kelompok usia paling rentan menjadi pelaku sekaligus korban.
Komnas Perempuan, dalam Catatan Tahunan 2020 menemukan adanya pelaku kekerasan seksual anak di bawah usia 18 tahun selama 3 tahun berturut-turut.
Data menunjukkan, 7 dari 1 juta anak di bawah usia tersebut berpotensi menjadi pelaku setiap tahunnya, atau sekitar dua anak per hari.
Data yang sama sekaligus menampilkan potensi anak-anak menjadi korban kekerasan seksual di ranah pribadi maupun komunitas.
Dalam ranah personal, anak di bawah 5 tahun tercatat mengalami kekerasan seksual sebanyak 129 kasus, pada rentang usia 6 hingga 12 tahun ada 653 kasus.
Sedangkan anak usia 13 hingga 18 tahun mencapai 2.262 kasus.
Pelaku kekerasan seksual di ranah yang sama juga melibatkan anak-anak, dengan rincian: 83 kasus melibatkan anak usia 6 hingga 12 tahun dan 652 kasus melibatkan anak usia 13 hingga 18 tahun.
Di ranah komunitas, anak di bawah 5 tahun yang mengalami kekerasan seksual sebanyak 24 kasus, usia 6 hingga 12 tahun 289 kasus, dan usia 13 hingga 18 tahun sebanyak 963 kasus.
Adapun pelaku di ranah komunitas, 10 kasus melibatkan anak berusia di bawah 5 tahun, 86 kasus dilakukan anak usia 6 hingga 12 tahun, dan 307 kasus dilakukan anak usia 13 hingga 18 tahun.
Pengajar pada Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Nia Kusuma Wardhani, mengurai secara detail mengapa anak-anak rentan menjadi korban kekerasan seksual.
Kata dia, anak-anak menjadi kelompok usia paling rentan karena mereka sering diposisikan sebagai sosok yang lemah, belum memiliki kekuatan dan tidak berdaya.
Hal ini membuat mereka memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang lain serta orang-orang dewasa yang ada di sekitarnya.
"Membuat anak-anak itu tidak berdaya saat diancam" termasuk "tidak memberitahu kejahatan seksual yang dia alami," pungkasnya.
Menurut Nia, predator seksual juga sering kali menggunakan cara manipulatif untuk menguasai korban yang adalah anak-anak.
Mereka bisa memakai tipu daya atau menawarkan hadiah yang mungkin tidak didapatkan anak di rumah, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan kejahatan tersebut.
Hal ini, tegasnya membuat kejahatan itu sulit dihindari, terutama ketika pelaku adalah orang yang dekat dengan korban.
Dengan kata lain, pelaku memanfaatkan kepercayaan yang sudah terbentuk untuk melakukan aksinya.
Ironisnya, sebut Nia, beberapa orang tua kurang memperhatikan aktivitas anak mereka, sehingga tidak tahu dengan siapa anak berinteraksi atau apa yang mereka lakukan.
Anak-anak Jadi Pelaku Kekerasan Seksual
Sementara itu, Psikolog Gracia Ivonika menjelaskan sejumlah faktor kenapa anak-anak turut terlibat menjadi pelaku kekerasan seksual.
Pertama, pelaku adalah orang yang pernah menjadi korban. Berdasarkan sejumlah penelitian, kata dia, sebagian besar pelaku merupakan mereka pernah mengalami kekerasan serupa di masa lalu.
Menurut dia, lingkaran kekerasan ini menunjukkan bagaimana pengalaman traumatis dapat berdampak pada perilaku seseorang di kemudian hari.
Apa yang disampaikan Gracia, sejalan dengan temuan WH0. Hasil penelitian organisasi kesehatan dunia itu menunjukkan, seseorang yang memiliki riwayat kekerasan fisik atau seksual lebih rentan untuk melakukan kekerasan seksual terhadap orang lain.
Dengan kata lain, pengalaman buruk di masa lalu seringkali menjadi pemicu dan membentuk perilaku agresif yang dapat berbahaya bagi orang di sekitarnya.
Kedua, perilaku implusif dan kurangnya kontrol diri. Perilaku impulsif sering terjadi pada anak-anak yang kesulitan mengendalikan diri.
Gracia menyampaikan, impulsif berarti bertindak tanpa memikirkan dampak atau konsekuensi dari tindakan tersebut. Kesulitan ini biasanya muncul karena mereka tidak mampu mengatur emosi dan keinginan mereka dengan baik.
Selain itu, ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi rendahnya kontrol diri seseorang. Misalnya, terlibat dalam kelompok atau geng, penggunaan alkohol atau narkoba, memiliki sifat antisosial, dan kurangnya pendidikan yang memadai.
Semua ini dapat membuat seseorang lebih sulit untuk mengendalikan diri dan cenderung bertindak impulsif.
Ketiga, kurangnya kedekatan dengan keluarga. Kurangnya ikatan yang kuat antara anak dan orangtua atau keluarga bisa membuat remaja kesulitan mengendalikan diri dalam pergaulan dan menghambat perkembangan sosial-emosional mereka.
Oleh karena itu, Gracia menekankan pentingnya orangtua membangun fondasi yang kuat sejak anak masih kecil. Fondasi ini bisa berupa menciptakan hubungan emosional yang erat, kedekatan, dan keterbukaan antara anak dan orang tua.
Dengan adanya kedekatan ini, anak akan merasa lebih nyaman dan aman untuk berbagi dengan orang tuanya. Selain itu, jika fondasi ini sudah terbentuk sejak dini, anak akan lebih mudah diarahkan dan dipahami.
Pendidikan Seksual
Ada banyak cara untuk menangani dan mencegah kekerasan seksual pada anak-anak. Salah satunya adalah dengan memberikan pendidikan seksual sejak usia dini.
Pendidikan seksual, secara sederhana, merupakan proses memberikan pengetahuan dan keterampilan terkait seksualitas dan kesehatan reproduksi.
Tujuan utamanya adalah meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, mencegah seksualitas terbuka, dan menghindari penyakit menular.
Aprilaz (2023) menekankan, pendidikan seksual seharusnya menjadi bagian integral dari pendidikan kesehatan.
Pendidikan ini, tulis dia, tidak hanya berfokus pada seksualitas, tetapi juga mencakup berbagai aspek penting seperti kesehatan reproduksi, anatomi seksual, dan hubungan emosional.
Termasuk, "tanggung jawab, kontrasepsi, serta nilai-nilai moral, etika, hukum, dan budaya yang berkaitan dengan perilaku seksual."
Pentingnya pendidikan seksual sejak dini, bahkan sejak usia dini, tambanhnya, tidak boleh diabaikan.
Apalagi, anak-anak pada kategori usia tersebut, demikian ia menjelaskan, memiliki kemampuan belajar yang sangat cepat.
Sehingga pengenalan pengetahuan yang tepat dan lebih awal dapat membantu membentuk prinsip dan pandangan hidup mereka di masa depan.
Edukasi ini juga berfungsi sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual, dengan memberikan pemahaman tentang batasan pribadi dan perilaku yang aman.
Perawat pediatrik, yang bekerja di berbagai lingkungan seperti klinik, sekolah, rumah, dan pusat penitipan anak, menambahkan, memiliki peran penting dalam hal ini.
Mereka dapat menjadi advokat dan edukator bagi anak-anak dan keluarga. Sebagai advokat, mereka memastikan hak-hak anak dilindungi dengan menyediakan informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan terbaik.
Sebagai pendidik, mereka memberikan pengetahuan dan konseling mengenai berbagai aspek kesehatan, termasuk pendidikan seksual, kepada anak-anak, orang tua, dan tenaga kesehatan lainnya.
Ia menyampaikan, "ini adalah langkah preventif yang penting dalam mengurangi risiko kekerasan seksual pada anak-anak."
Editor: Gregorius Agung