Laporan Khusus dari Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan
PARBOABOA - Suhu panas membara dari aspal jalanan di Desa Kambiyain, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Namun, di belakang kantor desa, terdapat pemandangan yang menenangkan: pohon pisang melambai-lambai di antara rimbunnya pepohonan, perdu, dan semak belukar. Berbagai jenis tanaman tumbuh subur di atas tanah yang sedikit miring itu.
"Karena kami masyarakat adat, jadi kami sangat yakin bahwa hutan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri," ujar Anang Suriani. Ia bercerita tentang kehidupan mereka yang taat pada tata cara pengelolaan hutan yang telah disepakati di Lembaga Adat Dayak Pitap. Saat ini, suku mereka tersebar di lima desa: Desa Kambiyain, Desa Ajung, Desa Langkap, Desa Dayak Pitap, dan sebagian Desa Mayanau.
Mereka tidak sembarangan mengolah tanah, melainkan membaginya menjadi dua. Pertama, tanah untuk lahan pertanian dan perkebunan yang membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Kedua, tanah untuk tempat berburu dan sebagai tempat sakral yang dikeramatkan oleh Dayak Pitap.
Tempat keramat ini adalah lokasi para leluhur Dayak Pitap disemayamkan. Mereka percaya bahwa selain sebagai bentuk penghargaan, tempat ini juga disakralkan sebagai penjaga alam. Oleh karena itu, tidak sembarang orang dapat masuk dan tidak sembarang pohon dapat ditebang. Seandainya pun bisa, harus ada ritual khusus yang dilakukan terlebih dahulu.
Dalam tradisi masyarakat Dayak Pitap, orang yang dapat masuk ke tempat keramat harus memiliki tujuan dan kebutuhan yang jelas. Biasanya, mereka masuk untuk melakukan persembahan kepala kambing. Seusai melakukan ritual aruh untuk persembahan, hutan itu akan tetap terjaga.
Di Desa Kambiyain, 70% wilayahnya adalah hutan lindung, sebagaimana yang disebut oleh negara dengan penamaan tertentu. Namun, bagi masyarakat Dayak Pitap, di dalam hutan lindung itu terdapat hutan keramat dan hutan untuk berburu. Dari hutan tersebut, ada bagian yang boleh dimanfaatkan dan ada yang tidak boleh disentuh sama sekali. Begitulah cara masyarakat Dayak Pitap menjalani hidup selama ini.
"Obat-obatan tradisional kami juga diambil dari hutan. Kami percaya, suku mana pun, bukan hanya Suku Dayak Pitap, pasti memiliki ramuan khusus untuk berbagai penyakit, mulai dari yang paling besar hingga yang paling kecil. Rahasia," tuturnya sambil tersenyum kecil, enggan menceritakan lebih jauh tentang penyakit apa saja yang kerap dapat disembuhkan.
Hutan Keramat
Sebelumnya, reporter Parboaboa bertemu dengan Rahmadi, Kepala Adat Dayak Pitap periode 2000-2005 di Desa Ajung. Tentang hutan keramat, dahulu pernah ada orang-orang dari luar Kalimantan datang ke Pegunungan Meratus. Mereka menebang pepohonan di hutan keramat yang berlokasi di hulu Dayak Pitap. Tempat itu biasanya diantarkan ancak dan kepala kambing seusai upacara aruh oleh masyarakat.
Pada waktu itu, pohon-pohon berjejer rapi. Masyarakat menyebutnya kayu mempiring, yang getahnya dapat digunakan untuk tetamba atau mengobati penyakit wisa. Pohon inilah yang ditebang oleh orang-orang pendatang tersebut. Mereka diduga berasal dari salah satu perusahaan kayu.
Tak lama setelah sembilan pohon tinggi dan besar itu ditebang, kabar menyebar bahwa para penebang jatuh sakit. Percaya atau tidak, kata Rahmadi, itulah yang terjadi puluhan tahun silam. Penyakit yang mendera para penebang itu tak lazim di sana.
Orang-orang yang sakit itu seolah dirasuki oleh makhluk lain. Dari tubuh mereka muncul suara yang bukan milik mereka sendiri, mengatakan, "Kau telah merusak rumah kami," kata Rahmadi.
Penyakit tak lazim tersebut diketahui tak hanya menyerang satu atau dua orang; , semua penebang terkena dampaknya. Dulu, mereka sempat datang untuk diobati oleh tetua Dayak Pitap. Namun, kedatangan mereka ditolak dengan baik-baik. Tak lama setelah mereka beranjak dari Balai Adat Dayak Pitap, tetua suku berkata dengan tegas, "Sampai mati pun, saya tidak akan pernah mengobati mereka."
Kejadian sebelum tahun 2000 itu masih diingat dengan baik oleh Rahmadi. Mereka yang melanggar dan tidak meminta izin masuk ke hutan keramat di Meratus, apalagi sampai merusak, harus menanggung akibatnya sendiri.
Tanah Hidup
Awan mendung memuncak, diiringi suara gemuruh halilintar. Suasana gelap, dan hujan lebat pun turun dengan derasnya. Hingga tiga hari, hujan tak jua reda. Banjir bandang lantas datang menyapu bersih daratan, kecuali Nabi Nuh dan para pengikutnya yang berada di atas kapal besar buatan mereka. Ini adalah cerita tentang Nabi Nuh dalam kepercayaan agama Muslim.
Menurut Rahmadi, cerita serupa juga terjadi di Meratus. Ada yang disebut Tanah Hidup, yang dalam analogi Rahmadi, serupa dengan kapal Nabi Nuh.
Di Meratus, terdapat dua Tanah Hidup. Di hulu Balangan yang merupakan puncak Tanah Hidup Bini. Sementara, di hulu Pitap adalah puncak Tanah Hidup Laki.
Tanah Hidup ini adalah gunung-gunung yang dikeramatkan. Dulu, orang-orang yang sempat naik ke Tanah Hidup akan selamat dari kiamat kecil tersebut. Ini adalah kepercayaan masyarakat Dayak Pitap yang secara turun-temurun, dari zaman Datuk-Nini (Nenek), hingga sekarang masih sangat kental.
Selama hidupnya, Rahmadi pernah sekali ke Tanah Hidup di hulu Pitap. Saat itu, ia mengantar ancak dan kepala kambing. Tiba di hutan, ia dibantu oleh Balian melakukan ritual untuk berkomunikasi dengan makhluk gaib.
"Bila tidak bisa membaca mantra, maka kita mengajak Balian (tokoh agama Hindu Kaharingan. Balian akan menyampaikan atau menghubungkan sebagai perantara kita dengan orang gaib yang tinggal di sana," kata Rahmadi.
Adat dan budaya yang dirawat oleh masyarakat Dayak Pitap diyakini mereka sebagai kekuatan dan bentuk pertahanan diri melawan ketamakan tambang dan sawit yang mengancam kehidupan di Pegunungan Meratus.
Tamat.
Reporter: Anna Desliani