PARBOABOA - Pengurus Indonesia Corruption Watch (ICW) cuma geleng-geleng kepala ketika seratusan orang menggeruduk kantor mereka di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan, medio Februari lalu. Massa yang datang memprotes dugaan tindakan rasis yang dilakukan ICW.
Merasa tidak pernah melakukan rasisme, ICW menganggap tuduhan itu mengada-ada. Wana Alamsyah, peneliti di organisasi tersebut bercerita, sejak awal demonstrasi memang menunjukkan gelagat janggal. Apalagi ketika dilakukan mediasi, pendemo malah tidak bisa membuktikan tudingannya.
"Dari situ kami langsung menyadari aksi ditunggangi oleh oknum atau pihak tertentu dengan skenario yang mereka buat," kata Wana kepada Parboaboa, Jumat (10/11/2024) lalu.
Tak hanya ICW, lembaga swadaya masyarakat lain seperti Lokataru dan Kontras juga menjadi sasaran demonstran yang sama. Setelah itu, isu rasismenya seolah menguap begitu saja.
Indikasi adanya mobilisasi massa bayaran di balik aksi tersebut pun menguat. Massa bayaran merupakan praktik lumrah dalam kancah politik Tanah Air. Ia digunakan untuk demonstrasi, kampanye politik, hingga membuat narasi tandingan di lapangan.
Parboaboa menelusuri penyedia demonstran bayaran melalui jaringan aktivis. Seorang pemainnya, sebut saja Andri, langsung menyanggupi ketika Parboboa memintanya mengerahkan 200 orang untuk melakukan demonstrasi.
"Massa sih gampang banget. Saya comot-comot aja," jawabnya enteng ketika ditemui di Menteng, Jakarta Pusat.
Bisnis massa bayaran ini beririsan dengan jasa penyediaan perlengkapan aksi. Andri sejatinya merupakan pemilik jasa sewa mobil komando pembawa sound system yang kerap digunakan demonstran saat berunjuk rasa.
Tapi tak jarang penyewa mobil komando juga membutuhkan massa. Andri mencontohkan order yang diterimanya sekitar dua bulan lalu.
Suatu hari, tiga orang yang datang dari Sumatera Selatan menghubunginya. Selain menyewa mobil komando, mereka membutuhkan orang untuk berunjuk rasa ke salah satu institusi penegak hukum.
Lantaran tak membawa massa dari daerah, pemesan meminta disediakan orang. Isu yang dibawa saat itu mengenai persoalan salah satu infrastruktur di Sumatera Selatan.
Andri mengerahkan 200 orang untuk berdemo. Ia membawa konvoi massa ke lokasi yang sudah disepakati.
Kemudian, komando diserahkan ke tiga orang dari Sumatera itu. "Mereka nginep di salah satu hotel di sekitar situ," ungkap Andri.
Jasa yang disediakan Andri menyebar dari mulut ke mulut, utamanya di kalangan aktivis yang biasa menyewa mobil komandonya.
Parboaboa juga bertemu dengan dua koordinator demonstran bayaran. Salah satunya Indra, bukan nama sebenarnya, mematok biaya Rp100 ribu untuk tiap kepala demonstran.
Sementara, sebagai korlap ia akan mendapat upah Rp500 ribu. Makin banyak massa yang dibutuhkan, akan makin banyak pula korlap yang terlibat.
"Satu korlap biasanya cuma sanggup kumpulin massa 100 orang," katanya.
Pemesan, lanjutnya, juga perlu merogoh kocek untuk biaya transportasi massa. Korlap akan menyewa bus Kopaja dengan kapasitas 30 orang. Jumlah bus yang digunakan tergantung berapa banyak massa yang dikerahkan.
Untuk satu titik lokasi demonstrasi, ongkosnya per bus Rp600 ribu. Jumlahnya akan bertambah Rp50 ribu tiap tambahan titik demonstrasi.
Sebelum turun aksi, pemesan diminta membayar persekot setengah dari nilai yang disepakati. Sisanya harus dilunasi setelah "main" selesai.
“Main” ialah istilah yang digunakan di kalangan korlap massa bayaran untuk merujuk demonstrasi. Indra sudah menggeluti bisnis ini sejak 2010.
Kliennya berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari aktivis, partai politik, politisi, pejabat publik, hingga masyarakat umum. Ia tidak ambil pusing dengan isu yang akan dibawa dalam demonstrasi.
Sejauh harganya masuk, Indra akan dengan mudah mengerahkan massa. Menurut pengakuannya, permintaan terhadap massa bayaran tidak pernah surut.
"Jangankan sebulan sekali, ada nih seminggu tiga kali," ia membocorkan jumlah orderan yang diperoleh.
Pengguna jasa harus memesan minimal seminggu sebelum hari H. Ia akan mengumpulkan massa dari wilayah sekitar Utan Kayu dan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur.
Kawasan itu merupakan daerah tempatnya tinggal. Orang-orang yang direkrut berasal dari kelompok ekonomi rendah. Kebanyakan mereka bekerja serabutan dan mengandalkan hidup dari kerjaan apa saja.
Indra sanggup mengerahkan orang sesuai kriteria demografi yang ditentukan pemesan, seperti umur, jenis kelamin, dan lain-lain. "Tergantung pesenannya, bebas yang penting massanya banyak," ia menjamin.
Di lapangan, Indra punya prosedur standar. Di setiap 100 orang massa, ada empat orang koordinator. Mereka ini yang bertugas mengatur langsung massa di lapangan.
Di antara massa juga ada pembagian tugas siapa yang memegang spanduk atau poster tuntutan. Indra hanya meminta pengorder massa mengurus perizinan unjuk rasa ke kepolisian.
Di hari H, ia juga akan turun ke lapangan untuk mengawasi. Dalam beberapa kesempatan, massanya kadang harus bersinggungan dengan kelompok lain dengan aspirasi berbeda.
Bukan tidak mungkin muncul gesekan yang memantik bentrokan. Indra sudah piawai membaca angin situasi.
“Selama ini kita aman-aman saja, enggak sia-sialah pengalaman belasan tahun,” katanya sambil berseloroh.
Beberapa kali bentrokan memang tidak bisa dihindari. Namun yang paling ia khawatirkan justru kemungkinan provokasi dari aparat keamanan.
Indra dan rekannya sesama koordinator sudah tahu kapan harus menginstruksikan orang bawaannya mundur untuk menghindari kericuhan. Tapi ia juga menyanggupi bila demonstrasi dirancang dengan skenario chaos.
“Yang penting tanggung jawab kalau ada korban, ya semoga saja tidak ada korban,” ujarnya.
Jasa massa bayaran juga subur di lingkaran kalangan aktivis. Seorang mantan aktivis mahasiswa, panggil saja Robert, punya pengalaman panjang menggerakkan demonstrasi bayaran.
Permainannya pun lebih canggih. Tak hanya memobilisasi massa, ia juga ikut membantu kliennya mengelola dan mengemas isu.
Robert sampai melakukan riset untuk mempertajam isu dan tuntutan yang akan menjadi agenda unjuk rasa. Kalau isunya “berat”, kata dia, harganya akan lebih tinggi. Kalaupun masih bisa ditawar, nominalnya tidak akan turun terlalu jauh.
Ia banyak menggarap orderan yang bersinggungan dengan isu politik dan kebijakan pemerintah. Kadang kala, lanjut Robert, ada orderan terkait bisnis tertentu, khususnya bidang pertambangan.
Pengorder biasanya lawan politik atau pesaing bisnis pihak yang ingin didemo. Robert lantas menyebut satu demo besar terkait tambang yang dia gerakkan.
Karena alasan keamanan, kami tidak mengungkapkan gamblang kasus tersebut. Yang jelas, waktu itu Robert mengerahkan massa hingga 1.000 orang.
Aksi Pun digelar berjilid-jilid dalam kurun waktu dua bulan. Ia mengoordinasi banyak koordinator lapangan untuk mengelola massa.
Bahkan, pendemo terlebih dulu diberi pembekalan agar mereka paham isu yang diangkat. Setiap pendemo dia beri upah Rp100 ribu. Khusus orang yang dia ambil dari jalanan, hanya dibayar Rp 50ribu.
“Ada itu beberapa kali tertangkap media, dia tidak tahu itu lagi aksi apa, demo apa, nah itu-itu bayarnya cuma Rp50 ribu saja,” Robert menjelaskan.
Unjuk rasa, menurut dia, lebih bertujuan agar suatu isu tertentu menjadi perhatian publik. Itu sebabnya, Robert berusaha sebisa mungkin membuat aksinya bergema.
“Kita juga sering komunikasi dengan media-media kalau mau melakukan aksi,” ujarnya. Langkah tersebut bertujuan agar demonstrasi mendapat lebih banyak sorotan.
Dengan pengelolaan demonstrasi yang lebih rapih, ia membandrol jasanya dengan harga tinggi. Pria asal Indonesia Timur ini menolak mengungkap rincian harganya.
Namun, kata dia, rata-rata ia meminta bayaran sekitar Rp100 juta untuk demo berskala besar. Segmen kliennya tergolong kakap.
Ia harus pintar-pintar bergaul dan menempatkan diri. “Bukan hanya harus bisa untuk main dua kaki, bahkan harus bisa tiga sampai empat kaki,” kata Robert sambil tertawa.
Reporter: Achmad Rizki Muazam dan Patrick Damanik
Editor: Jenar