PARBOABOA - Saat kunjungan kerja ke Gorontalo pada September 2023, Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional (PKJN) Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, Nova Riyanti Yusuf, dijambangi Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat. Pejabat itu sedang galau.
“’Dokter Nova, di sini bunuh diri naik drastis, lho... Tadinya nol sampai dua kasus saja. Sekarang menjadi tiga puluh.’ Begitu kata Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan,” Nova Riyanti Yusuf (Noriyu) berkisah ke Parboaboa. “Dia shock melihat kenyataan itu.”
Noriyu menyimak dengan serius. Soalnya, itu pokok bahasan yang sangat menarik hatinya. Sudah lama ia memberi perhatian khusus pada bunuh diri. Pula, itu menjadi kajiannya.
Saat menjalani program pendidikan spesialis kedokteran jiwa di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, thesisnya berjudul Aspek Biopsikososial dari Tindakan Bunuh Diri pada Dua Orang Pelukis di Yogyakarta. Hasil autopsi psikologis yang dilakukannya terhadap seniman bernama Febri Antoni dan Alit Sembodo kemudian terbit menjadi buku berjudul Jelajah Jiwa Hapus Stigma: Autopsi Psikologis Bunuh Diri Dua Pelukis (Kompas, 2020).
Tatkala melanjutkan pendidikan doktoral ilmu kesehatan masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dokter lulusan Universitas Triksakti masih tetap berfokus pada bunuh diri. Disertasinya berjudul Deteksi dini Faktor Risiko Ide Bunuh Diri Pelajar SMA Sederajat di Jakarta. Karya ini kemudian menjadi kitab berjudul Cegah Bunuh Diri Remaja: Yuk, Deteksi! (Kompas, 2023).
Percakapan dia dengan Kadis Kesehatan Gorontalo itu kemudian membuahkan program. Pusat Kesehatan Jiwa Nasional (PKJN) Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor yang bermitra dengan 269 rumah sakit di seluruh Indonesia lantas berkegiatan di sana. Mereka melakukan survei di sekolah serta memberikan pelatihan life skill ke sekitar 20 anak selama seminggu di hotel. Ketrampilan hidup ini materinya aneka. Termasuk mengambil keputusan, berpikir kreatif, dan komunikasi.
Data bunuh diri di Gorontalo menjadi perhatian khusus dari dokter Noriyu. Korban paling banyak di usia produktif: 18-29 tahun. “Karena ada juga yang berumur 50 tahun maka kita lakukan juga autopsi psikologi,” kata anggota Komisi IX DPR RI periode 2009-2019.
Dalam autopsi psikologis, tim dibantu oleh Institute of Mental Health of Singapore terutama dalam pembuatan panduan wawancara. Keluarga dan teman korban yang dijadikan sampel.
Hasil autopsi menunjukkan bahwa semua pelaku bunuh diri yang diteliti mengalami depresi dan bertipe pendiam (artinya, kemampuan verbalnya rendah). Mengalami tekanan hidup yang berat sehingga terganggu jiwanya. Sangat tertekan karena malu. Yang terakhir ini musebabnya macam-macam. Gagal panen, belum menikah, dililit utang, gagal bayar pinjaman online (pinjol) sehingga didatangi debt-collector, pendidikan rendah, dan dituduh mencuri ayam, termasuk.
”Alih-alih diterima, kenyataan itu membuat mereka malu. Sangat tertekan kemudian. Jadi, mindset is everything,” lanjut psikiater Noriyu yang pernah ikut program fellowhsip di Harvard Medical School.
Cara mereka mengakhiri hidup? Aneka. Mulai dari gantung diri hingga minum cairan pestisida dan menembak diri sendiri. Yang terakhir ini dilakukan tentara dan polisi.
Selain mengautopsi-psikologis para pelaku bunuh diri, tim Noriyu juga menyelenggarakan program pencegahan. “Kita harus segera menangani remaja. Kita turun ke SMA-SMA di sana. Tujuannya untuk deteksi dini faktor risiko bunuh diri.”
Hasil penelitian mereka menunjukkan 57,8% pelajar di Provinsi Gorontalo berisiko memiliki ide bunuh diri. Ternyata, risiko ide bunuh diri lebih banyak terjadi di kelompok pelajar perempuan dan kelas 1 SMA. Mereka mengalami depresi mulai dari yang sedang hingga berat.
Secara global, faktor risiko bunuh diri yang telah dibuktikan secara emperis adalah: gangguan jiwa, percobaan bunuh diri sebelumnya, isolasi sosial, penyakit fisik, pengangguran, konflik dalam keluarga, riwayat bunuh diri dalam keluarga, impulsivitas, pemasungan, ketidakberdayaan, variasi musim, disfungsi serotonergik (sistem di otak yang berperan penting dalam berbagai proses fisiologis dan perilaku), agitasi tidur, kekerasan masa kecil, paparan terhadap bunuh diri, tunawisma, paparan terhadap perang, rendahnya keterbukaan pada pengalaman, penarikan diri, serta harga diri, rasa malu (Nova Riyanti Yusuf, 2023).
Adapun penyebab stresor psikososial pada remaja Indonesia, menurut Kepolisian Republik Indonesia adalah: konflik dengan keluarga, penolakan dalam pergaulan, perpisahan dengan orang yang dicintai, merasa dipermalukan, konflik dengan pacar, masalah ekonomi, serta ujian nasional (Nova Riyanti Yusuf, 2023).
Depresi Berat
Di dua tempat praktiknya di Jakarta, pada 2024 ini Yayasan Pulih menangani sejumlah pasien yang depresi. Di antara mereka terdapat 6 lelaki dan 9 perempuan berusia 15-25 tahun. Kaum muda ini mengalami anxiety (kecemasan; saking cemasnya ada yang lambungnya sakit parah) dan trauma. Beberapa bahkan berpikiran untuk bunuh diri.
“Penyebabnya relasi keluarga, antara lain. Lalu ada juga efek pandemi, bullying, dan gangguan bipolar,” kata pimpinan Yayasan Pulih, psikolog Livia Iskandar.
“Kalau seseorang mengalami bipolar itu berarti sudah depresi banget atau panik berat. Itulah kondisi di mana semuanya menjadi serba gelap, semuanya serba negatif. Nah, itu yang bisa mendorong orang melakukan bunuh diri,” jelas mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Depresi sering disebut orang sebagai penyebab utama bunuh diri. Sebab itu, gangguan mental ini disebut the silent killer (pembunuh yang diam-diam).
Badannya masih ada tapi di dalamnya dia dying. Begitu keadaan mereka yang mengalami depresi berat. Ada perjuangan keras dari mereka untuk tetap hidup. Tapi itu menimbulkan kepahitan dan kesakitan psikologis yang luar biasa.
“Makin lama makin enggak tertahankan sampai akhirnya ada yang mengakhiri hidupnya betul-betul. Yang jelas, mengakhiri hidup adalah sebuah tindakan fatalistik,” tutur psikolog Ratih Ibrahim.
Penyebab depresi bukan tunggal melainkan banyak sekaligus. Faktor genetik (diturunkan dari orang tuanya), pola asuh, malnutrisi, dan trauma termasuk. Penjelasan dari Ratih Ibrahim berikut ini.
Malnutrisi atau salah asupan dalam jangka panjang akan membuat otak tidak berkembang dengan normal. Zat besi, misalnya, berpengaruh terhadap mood. Anak yang dalam pertumbuhannya cenderung lemas ada indikasi depresinya. Kurang zat besi ini hanyalah salah satu aspek.
Trauma juga bisa menyebabkan depresi. Saking traumanya sampai yang bersangkutan tidak lagi bisa melihat ada harapan hidup. Jadilah dia memutuskan bunuh diri karena itu dianggapnya solusi terbaik.
Contohnya adalah sekeluarga (suami, istri, dan dua anak mereka) yang meloncat dari lantai 22 Apartemen Teluk Intan di Penjaringan, Jakarta, pada Sabtu, 9 Maret 2024. Polisi menyebut kemudian bahwa mereka dililit utang.
“Harapan hilang, akhirnya ‘Ya sudah, kita bunuh diri.’ Bersama, karena dia mikir juga: kalau bunuh diri sendiri lalu istri dan anak saya bagaimana. ‘Ya sudah kita rame-rame sekeluarga’,” kata Ratih Ibrahim.
Atau juga kasus seorang ibu membunuh anaknya. Setelah itu baru dia bunuh diri. Sebuah tindakan akibat trauma, karena keputusasaan. Trauma misalnya karena diperkosa atau mengalami kecelakaan yang sangat fatal.
Selain depresi, penyebab lain dari bunuh diri adalah kesepian dan gangguan jiwa. Kesepian juga merupakan pembunuh yang diam-diam.
Penyebab lain yang perlu disebut adalah kecenderungan mengglorifikasi (mengagungkan) aksi bunuh diri. Kaum muda yang paling rawan melakukannya. Orang yang membakar diri kemudian mereka elu-elukan. Meniru, mereka kemudian menciptakan apa yang dianggapnya sebagai sensasi dan heroisme.
Ideologi mesti disebut juga. Pelaku bom bunuh diri itu contohnya. Tindakan mereka dianggap kaum pendukungnya sebagai aksi kepahlawanan nyata.
Studi Bunuh Diri
Sebab apa seseorang menyudahi hidupnya? Pertanyaan ini telah mengusik pikiran David Emile Durkheim (15 April 1858 – 15 November 1917). Dia lantas melakukan telaah ilmiah dengan obyek orang Katolik dan Protestan di Perancis pada masa itu. Hasilnya adalah buku Le Suicide: Étude de sociologie (Bunuh diri: Studi Sosiologi). Inilah kajian pertama dalam sejarah ilmu pengetahuan yang menggunakan data emperis (statistik) untuk menjelaskan perilaku sosial. Karya yang terbit untuk kali pertama pada 1897 ini masih menjadi rujukan penting hingga saat ini kendati kekurangannya nyata yaitu lebih mementingkan faktor sosial daripada psikologis.
Sebelumnya, para psikolog dan dokter jiwa berpendapat bahwa mereka yang bunuh diri itu kondisi mentalnya tidak sehat. Durkheim berpendapat lain. Ia berkesimpulan bahwa penyebabnya lebih merupakan kekacauan sosial; bukan gangguan jiwa. Tepatnya, kurangnya integrasi sosial atau solidaritas sosial.
Tingkat integrasi dan regulasi sosial dalam masyarakat dapat menentukan kecenderungan seseorang untuk bunuh diri, begitu kata sang pendiri sosiologi modern. Lantas, berdasarkan tingkat integrasi dan regulasi sosial, ia membagi bunuh diri menjadi empat jenis yaitu:
- Bunuh diri egoistik; terjadi ketika tingkat integrasi sosial rendah, seperti yang sering ditemukan pada individu yang kurang terikat dengan kelompok atau komunitas tertentu.
- Bunuh diri altruistik; terjadi ketika seseorang terlalu terikat atau sangat terintegrasi dengan kelompoknya sehingga ia rela mengorbankan diri untuk kelompok tersebut. Contoh klasiknya adalah bunuh diri ritual dalam budaya tertentu.
- Bunuh diri anomik; terjadi ketika ada kekacauan atau ketidakpastian sosial, misalnya saat perubahan besar dalam masyarakat yang mengacaukan norma-norma dan aturan-aturan sosial.
- Bunuh diri fatalistik; terjadi dalam kondisi regulasi sosial yang berlebihan, di mana individu merasa terlalu diatur atau dikekang oleh masyarakat, seperti dalam kasus perbudakan atau penindasan ekstrim.
Setelah Emile Durkheim, para ahli terutama psikolog dan psikiater terus mendalami fenomena penghilangan nyawa sendiri. Saat ini dua entitas yang terakhir ini bersepakat bahwa bunuh diri itu adalah klimaks dari sebuah proses. Tahapannya adalah ideasi bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan perilaku bunuh diri.
Ideasi bunuh diri merujuk pada pikiran untuk mengakhiri hidup dengan atau tanpa rencana atau niat untuk mati. Tatarannya masih sebatas ide.
Percobaan bunuh diri adalah usaha untuk menyakiti diri dengan niat untuk membunuh diri sendiri. Bukan sebatas gagasan lagi tapi sudah melakukan sesuatu. Akibatnya bisa fatal atau tidak fatal. Tapi, nyawanya masih tertolong.
Sedangkan perilaku bunuh diri merujuk pada tindakan sukarela yang dapat mengakibatkan kematian.
Kalau ditilik dari sisi ilmu jiwa, faktor utama penyebab percobaan bunuh diri adalah gangguan depresi mayor (GDM), gangguan stres pasca-trauma (PTSD), gangguan makan, gangguan bipolar, dan oppositional defiant disorder (ODD, gangguan perilaku yang sering muncul di masa kanak-kanak dengan gejala berupa mudah marah dan tersinggung).
World Health Organization (WHO) di tahun 2014 menyebut sejumlah faktor risiko utama dalam bunuh diri. Unsurnya adalah: hambatan memperoleh akses pelayanan kesehatan; akses terhadap cara melakukan bunuh diri; laporan media yang tidak pantas; stigma terhadap perilaku mencari bantuan; bencana perang dan konflik; stres akibat akulturasi dan dislokasi; diskriminasi; trauma atau penyiksaan; perasaan terisolasi dan kurangnya dukungan sosial; konflik dalam berhubungan, ketidakcocokan, dan kehilangan; percobaan bunuh diri yang sebelumnya; gangguan jiwa; penyalahgunaan alkohol; kehilangan pekerjaan atau keuangan; ketidakberdayaan; sakit kronis; riwayat diri dalam keluarga; serta faktor genetik dan biologis.
Solusinya? Lembaga PBB ini mengusulkan: kebijakan kesehatan jiwa; kebijakan mengurangi penyalahgunaan alkohol; akses pelayanan kesehatan; pembatasan akses terhadap alat untuk bunuh diri; pemberitaan media yang bertanggung jawab; meningkatkan kesadaran atas kesehatan jiwa, gangguan penggunaan zat, dan bunuh diri; intervensi untuk kelompok rentan; pelatihan gatekeepers (petugas penjaga]; crisis helpline (saluran bantuan krisis); tindak lanjut dan dukungan komunitas; penilaian dan pengelolaan perilaku bunuh diri; serta penilaian dan pengelolaan gangguan jiwa dan gangguan penggunaan zat.
Langkah Konkrit
Setelah bunuh diri menjadi ancaman serius di Indonesia, pemerintah kita akhirnya membuat instrumen untuk mengukur risiko bunuh diri pada orang dewasa. Evaluasi Pelayanan Kasus Kesehatan Jiwa (EPK2J), namanya. Unsurnya adalah Burdensomeness (perasaan sebagai beban), Belongingness (perasaan menjadi bagian dari sesuatu), Impulsiveness (keinpulsivan), Loneliness (kesepian), Hopelessness (ketakberdayaan), dan Suicide Behaviour Questionnaire-Revised (SBQ-R).
Untuk mengukur EPK2J ini dibuatlah daftar pertanyaan berikut ini.
Daftar Pertanyaan dalam EPK2J
Dimensi |
Pernyataan |
Burdensomeness 1 |
Saya merasa orang-orang dalam hidup saya akan lebih bahagia jika hidup tanpa saya. |
Burdensomeness 2 |
Saya pikir saya adalah beban bagi teman, keluarga, dan masyarakat. |
Burdensomeness 3 |
Saya pikir kematian saya akan membuat orang-orang dalam hidup saya merasa lega. |
Budensomeness 4 |
Saya merasa orang-orang di sekitar saya ingin menyingkirkan saya. |
Burdensomeness 5 |
Saya pikir segala sesuatu yang saya lakukan selalu dinilai memperburuk situasi atau kondisi yang ada. |
Belongingness 6 |
Saya merasa orang lain peduli kepada saya. |
Belongingness 7 |
Saya merasa saya adalah bagian dari sesuatu hal yang berguna. |
Belongingness 8 |
Saya beruntung bisa memiliki banyak teman yang peduli dan mendukung saya. |
Belongingness 9 |
Saya merasa tidak dekat dengan siapa pun. |
Belongingness 10 |
Saya merasa asing ketika berkumpul dengan orang lain. |
Belongingness 11 |
Saya merasa dekat dengan orang lain. |
Belongingness 12 |
Setidaknya saya memiliki satu hubungan pertemanan yang menyenangkan setiap harinya. |
Impulsiveness 13 |
Saya melakukan berbagai hal tanpa berpikir terlebih dahulu. |
Impulsiveness 14 |
Saya biasanya bisa mengendalikan diri saya sendiri. |
Impulsiveness 15 |
Saya adalah orang yang berpikir dulu sebelum bertindak. |
Loneliness 16 |
Saya kurang memiliki persahabatan. |
Loneliness 17 |
Saya merasa merupakan bagian dari sekelompok teman. |
Loneliness 18 |
Saya merasa ditinggalkan. |
Loneliness 19 |
Saya merasa tidak dimengerti oleh orang-orang di sekitar saya. |
Loneliness 20 |
Saya merasa terkucilkan. |
Loneliness 21 |
Saya dapat membangun persahabatan jika saya menghendakinya. |
Loneliness 22 |
Saya merasa kesepian walaupun ada banyak orang di sekitar saya. |
Hopelessness 23 |
Saya merasa hal-hal buruk akan terjadi pada saya. |
Hopelessness 24 |
Saya merasa percuma berusaha karena saya tidak akan berhasil. |
Hopelessness 25 |
Saya merasa lebih baik saya menyerah karena saya tidak bisa membuat kondisi saya menjadi lebih baik. |
Hopelessness 26 |
Saya merasa hidup saya sial terus. |
Hopelessness 27 |
Saya perkirakan, hidup saya di dunia ini tak akan terlalu lama. |
Sumber Kementerian kesehatan (2016) yang diambil dari Nova Riyanti Yusuf 2023.
Semakin banyak jawaban ‘ya’ dari responden maka kian besarlah kemungkinannya untuk bunuh diri.
Pelaku bunuh diri semakin banyak saja di negeri kita. Mahasiswa dan pelajar, termasuk. Keadaan yang sudah kian genting ini pun membuat pemerintah mengambil sejumlah langkah konkrit.
“Pemerintah serius banget sampai Menkes menunjuk Pusat Kesehatan Jiwa Nasional (PKJN) Marzoeki Mahdi di Bogor sebagai pengampu mengatasi masalah kesehatan jiwa. PKJN bekerja sama dengan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia. Bahkan ada call center 119 healing.” Kata psikolog Ratih Ibrahim yang merupakan pengurus pusat Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia.
Sudah waktunya memang semua kalangan, bukan hanya pemerintah tapi juga rumah tangga, lembaga pendidikan, dan yang lain bertindak nyata sesegera mungkin. Soalnya, keadaan sudah sangat genting.
Reporter: Rin Hindryati dan P. Hasudungan Sirait
Editor: Hasudungan Sirait