PARBOABOA - Sukamta, panggil saja demikian, sesekali memandang nanar ke arah laut. Di tengah percakapan, warga Kampung Alar Jiban, Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Banten, ini tiba-tiba menyeletuk, "Kami kan manusia." Suaranya terdengar lirih.
Dari warung miliknya, yang berjarak tak sampai lima meter dari bibir pantai, terlihat jelas pancang-pancang di tengah laut. Patok yang disusun berjajar menyerupai pagar itu berada sekitar 1,5 kilometer dari daratan. Sudah setahun terakhir patok bambu itu "mengurung" Desa Kohod.
Desa Kohod merupakan salah satu wilayah terdampak rencana pembangunan PIK 2, proyek raksasa yang diinisiasi kongsi perusahaan properti milik Agung Sedayu Group dan Salim Group. Pancang-pancang tadi, menurut warga, dipasang oleh pengembang.
Sejak itu, kehidupan penduduk di sana yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan tidak lagi sama. Sekitar 40-an orang di sana menggantungkan hidup dari hasil laut.
Kehadiran pancang mengganggu mata pencaharian warga Desa Kohod. Jalur perahu nelayan tertutup patok. Nelayan kesulitan menebar jaring.
Mereka biasa menggunakan metode jaring gebrak. Ikan akan dikagetkan agar terjerat jaring.
Sekarang, ikan dan rajungan malah bisa bersembunyi di sela-sela pancang bambu. Tangkapan nelayan pun merosot drastis.
Pilihan satu-satunya hanya berlayar ke laut lepas. Itu pun tidak bisa dilakukan nelayan. "Ukuran kapal-kapal kita seadanya, kecil-kecil," Sukamta menjelaskan alasannya.
Sebelum laut dipatok, nelayan pulang dengan penghasilan bersih Rp200 ribu per hari. Mereka bisa mendapat tangkapan 10-20 kilogram.
Ikan dan rajungan dijual dengan harga bervariasi. Nelayan menjual ikan berukuran besar Rp40 ribu sekilo. Sementara ikan berukuran kecil dilepas seharga Rp35 ribu.
"Sekarang mah nyari sekilo-dua kilo itu waduh susah," keluh Sukamta.
Warga Kohod merasa sumber penghasilan mereka dimatikan. Padahal menangkap ikan menjadi salah satu keahlian yang mereka andalkan untuk bertahan hidup.
Sebagian warga memang ada yang punya bagan yang dibuka sebagai tempat pemancingan. Tapi jumlahnya tidak banyak.
Kini mereka juga harus berurusan dengan pembebasan lahan oleh pengembang yang skema relokasi dan ganti ruginya dianggap tidak adil. Warga, menurut Sukamta, tidak menolak pembangunan. Mereka hanya meminta ganti rugi yang layak dan solusi untuk bisa mencari ikan.
"Apakah nelayan dikasih kapal-kapal besar supaya bisa ngelaut yang lebih jauh?" ujarnya.
Kerisauan juga menghinggapi warga Alar Jiban lain Aminah, bukan nama sebenarnya. Belakangan penghasilan suaminya menangkap ikan dari hasil memasang bubu di laut makin tak menentu. Patok di tengah laut lagi-lagi menjadi biang keroknya.
"Ngebubu susah, mau ngelaut juga susah," ia berkesah.
Warung yang Aminah buka di pinggir sungai untuk membantu menambal pengeluaran rumah tangga pun baru saja digusur Satpol PP. Ia termasuk orang yang terpaksa melepas tanah dan bangunan tempat tinggalnya untuk pembangunan PIK 2.
Ia takut ganti rugi yang didapat akan lebih kecil bila menolak. Alhasil, bangunan rumah warisan orang tuanya dia lepas dengan harga Rp1,75 juta per meter persegi.
Untuk tanah, ia dijanjikan lahan pengganti. Masalahnya, area relokasinya tak juga jelas sampai sekarang. Aminah bingung kalau-kalau dipindah ke tempat yang jauh dari pantai.
"Suami saya nanti gimana? Ngelaut ntar juga jauh ke laut. Taro perahu kan di sini, di muara," katanya.
Pembangunan PIK 2 tidak hanya mengganggu kehidupan ekonomi warga Kohod. Penduduk Kecamatan Kronjo, Banten, yang jaraknya sekitar 30 kilometer ke arah Kabupaten Serang, juga terdampak. Sebagian daerah di sana juga masuk rencana pembangunan PIK 2.
Di sana, Makdis Adhari atau yang akrab disapa Haji Heru waswas. Tokoh masyarakat di Desa Kronjo, Kecamatan Kronjo, ini mengelola tambak seluas 5 hektare.
Tambak dipanen tiga kali dalam setahun. Sekali panen, tiap hekatre bisa menghasilkan 500 kilogram ikan dengan harga Rp25 ribu sekilo. Artinya, penambak memperoleh penghasilan kotor rata-rata Rp12,5 juta per hektare.
Dengan hitungan modal 40 persen dari total omzet, Heru masih bisa menafkahi keluarga dengan layak. Kehadiran tambak juga dirasakan masyarakat. Saat tambak sedang produktif, tambak menyerap 19 orang tenaga kerja dari warga sekitar.
"Kalau dipindahkan juga enggak tau, mau ke mana rizkinya. Bukan saya aja pasti yang kena kan," ucapnya.
Wilayah di Kronjo yang terdampak pembangunan PIK 2 bukan kawasan rumah huni. Pembebasan lahan sejauh ini masih menyasar lahan produktif.
Selain bertambak penduduk juga memanfaatkan lahan dengan bersawah. Desa Kronjo termasuk salah satu lumbung padi di Banten.
Di sisi Kecamatan Kronjo yang lain, Desa Pagedangan Ilir, Haji Maimun juga terdampak pembangunan proyek PIK 2. Ia masih menolak melepas 2 hektare lahan tambak dan sawahnya kepada pengembang.
Maimun bilang, nilai ganti rugi yang ditawarkan terlalu kecil. Per meter persegi tanahnya hanya dihargai Rp50 ribu.
Padahal harga tanah di Pagedangan Ilir jauh lebih tinggi. Sebelum proyek PIK 2 merambah kampungnya saja, Maimun pernah menolak tawaran orang yang mau membeli tanahnya Rp70 ribu per meter persegi.
"Segitu saja nggak saya jual, eh, sekarang kok malah mau turun," ujarnya. “Terus, kalau saya jual, setelah itu kami keluarga gimana?”
Ia sudah berhitung. Dengan nilai tawaran ganti rugi saat ini, ia tidak mungkin membeli lahan dengan luasan yang sama di tempat lain. Keluarganya selama ini hanya menggantungkan hidup pada sawah dan tambak.
Dalam setahun, sawahnya bisa panen 3-4 kali dengan produksi 3-4 ton gabah per hektare. Panen terakhir, kata Maimun, sekilo gabah dihargai Rp5-6 ribu. Total pemasukan nantinya ia harus kurangi ongkos produksi, mulai dari pupuk dan lain lain.
Penghasilan itu tak akan lagi dinikmatinya bila sawah jadi dijual ke pengembang PIK 2. Maimun cuma bisa bertani dan mengolah tambak. Tanpa sumber pencaharian pengganti, ia sadar hanya akan menghabiskan tabungan.
"Berapa miliar pun punya besok, beberapa ratus juta pun, kalau tidak digulirkan maka habislah," katanya. Ia meminta pengembang bijaksana melihat kondisi riil warga terdampak.
Menurut Sri Mulyani, Peneliti Next Policy, lembaga yang mengkaji isu kebijakan publik, pembangun PIK 2 tampak begitu pesat setahun belakangan. Proyek itu merambah ke lahan produktif yang selama ini menjadi kawasan sabuk pangan Pesisir Utara Kabupaten Tangerang.
Dari sembilan kecamatan yang masuk areal pembangunan PIK 2, 18.487 hektare atau 42,1 persen lahannya merupakan daerah persawahan. Berdasarkan analisis citra satelit maret 2024, Mulyani memperkirakan 4.607 hektare lahan sawah akan terdampak langsung perluasan PIK 2.
Ia menilai pembebasan lahan untuk proyek besar seperti PIK 2 perlu pertimbangan menyeluruh. Kompensasi, menurut dia, tidak hanya melihat luasan lahan dan bangunan terdampak.
Pembebasan lahan juga harus memperhatikan aspek keadilan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dengan begitu, warga tidak hanya mendapatkan penggantian yang adil, tetapi juga tidak kehilangan akses terhadap sumber mata pencaharian dan kesejahteraan.
"Penggantian lahan harus mencakup nilai ekonomi lahan yang produktif seperti sawah, tambak, atau usaha kecil yang ada di atasnya," tegasnya.
Pembebasan lahan juga berpotensi mengubah pola hidup yang selama ini dijalani masyarakat. Warga terdampak harus mendapat solusi alternatif. Mereka, kata Mulyani, perlu diberi peluang bekerja di proyek baru atau pelatihan untuk masuk ke sektor ekonomi lain.
Ia juga mengingatkan risiko yang harus ditanggung dari pembebasan lahan produktif. Terlebih, dunia saat ini sedang menghadapi ancaman krisis pangan global.
"Ketahanan pangan nasional tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan proyek komersial atau perumahan semata," ia mengimbuhi.
Parboaboa telah meminta tanggapan Corporate Secretary PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk., Christy Grassela. Hingga tulisan ini ditayangkan, ia belum menanggapi surat permohonan wawancara yang dikirim ke kantornya dan pesan yang dikirim ke nomor ponselnya. Konsultan Hukum PT PIK 2, Haris Azhar, juga tidak merespons pesan dari Parboaboa.
Reporter: Achmad Rizki Muazam dan Patrick Damanik
Editor: Jenar