Mata Pencaharian Masyarakat Asli di PIK yang Dikorbankan untuk PSN

Seorang nelayan memperbaiki perahu kayunya. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik)

PARBOABOA, Jakarta - Pembangunan wilayah PIK 2 berpotensi mengubah dinamika sosial dan ekonomi masyarakat di wilayah Jakarta Utara ini. 

Bagaimana tidak, pengerjaan Proyek Strategis Nasional (PSN) di wilayah ini menghadirkan tantangan sekaligus peluang bagi penduduk setempat, terutama terkait sumber mata pencaharian mereka.

Masyarakat asli yang tinggal di PIK 2 merupakan penduduk lokal yang telah menghuni wilayah ini sejak lama.

Sebelum ditetapakn sebagai kawasan PSN, sebagian besar penduduk wilayah ini berprofesi sebagai nelayan, petani, dan pedagang kecil.

Menurut data BPS Jakarta, sekitar 60% masyarakat asli di PIK 2 berprofesi sebagai nelayan, bahakan itu sebagai mata pencaharian utama mereka.

Mereka menangkap ikan di perairan sekitar dengan menggunakan perahu tradisional. Hasil tangkapan mereka tidak hanya untuk kebutuhan konsumsi pribadi, tetapi juga dipasarkan di pasar lokal.

Sebagai nelayan, tentu saja masyarakat asli di PIK 2 memiliki peran penting dalam menjaga keberlangsungan ekosistem perairan.

Namun, pekerjaan ini tergerus waktu. Para nelayan merasa aktivitas mereka seringkali terancam, seperti pencemaran dan alih fungsi lahan semenjak pembangunan PSN mulai berjalan.

Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah nelayan di Jakarta mengalami penurunan sebesar 20% dalam lima tahun terakhir.

Proyek pembangunan yang mengubah kawasan pesisir menjadi area komersial, telah menghancurkan sumber rejeki bagi banyak nelayan di PIK 2. 

Pada hal, UU No. 31 Tahun 2004, tentang Perikanan yang mengatur tentang perlindungan terhadap nelayan kecil.

Dalam pasal 14 UU itu, disebutkan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi dan memberdayakan nelayan tradisional. Dengan UU ini, masyarakat asli PIK 2, sesungguhnya bisa memperjuangkan hak mereka sebagai nelayan.

Selain nelayan, sebagain kecil masyarakat asli di PIK 2 juga berkerja di sektor pertanian.

Mereka mengelola lahan pertanian kecil dengan memanfaatkan lahan yang tersisa di sekitar kawasan. Jenis tanaman yang ditanam pun bervariasi, mulai dari sayuran hingga buah-buahan.

Bekerja sebagai petani sesungguhnya hanya bagi mereka yang tidak bisa melaut, sehingga masih memiliki alternatif dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup.

Belakangan, pilihan menjadi petani juga sudah hampir sirna. Mereka kehilangan banyak lahan pertanian demi memwujudkan PSN.

Dalam Laporan Khusus Parboaboa, yang bertajuk, “Ruang Hidup yang Hilang Setelah PIK 2 Terbilang”, Kamis (10/10/2024), Sri Mulyani, Peneliti Next Policy, lembaga yang mengkaji isu kebijakan publik, mengatakan pembangunan PIK 2 tampak begitu pesat setahun belakangan.

Proyek tersebut memasuki area lahan produktif yang selama ini berfungsi sebagai kawasan sabuk pangan di Pesisir Utara Kabupaten Tangerang.

Bahkan, dari sembilan kecamatan yang masuk areal pembangunan PIK 2, 18.487 hektare atau 42,1 persen lahannya merupakan daerah persawahan.

Merujuk pada analisis citra satelit maret 2024, Mulyani memperkirakan 4.607 hektare lahan sawah akan terdampak langsung perluasan PIK 2. 

Menurutnya, pembebasan lahan untuk proyek besar seperti PIK 2 perlu pertimbangan yang holistik. Sehingga kompensasi yang diberikan tidak hanya melihat luasan lahan dan bangunan terdampak. 

Pembebasan lahan juga mesti memperhatikan beberapa aspek, seperti keadilan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Dengan demikian, warga tidak hanya mendapatkan penggantian yang adil, tetapi juga tidak kehilangan akses terhadap sumber mata pencaharian dan kesejahteraan.

Sementara, berdasarkan data Dinas Pertanian DKI Jakarta, lahan pertanian di PIK 2 berkurang sekitar 30% dalam lima tahun terakhir akibat pembangunan.

Hal ini berdampak pada ketahanan pangan masyarakat.  Padahal, UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani memberikan landasan hukum untuk menjaga keberlangsungan usaha pertanian, termasuk hak-hak petani dalam mendapatkan akses terhadap sumber daya dan informasi.

Selain nelayan dan petani, pedagang kecil juga menjadi bagian integral dari mata pencaharian masyarakat asli di PIK 2.

Mereka berjualan di pasar tradisional dan kios-kios yang ada di sekitar pemukiman. Pedagang kecil ini menjual berbagai produk, mulai dari makanan hingga barang kebutuhan sehari-hari.

Data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan DKI Jakarta menunjukkan bahwa pedagang kecil menyumbang sekitar 25% dari total perekonomian lokal di PIK 2.

Meskipun mereka menghadapi tantangan persaingan dengan pedagang modern, keberadaan mereka tetap penting dalam mempertahankan identitas budaya lokal.

Karena bagaimanapun, kenyataannya masyarakat asli di PIK 2 pasti menghadapi berbagai tantangan dalam upaya melestarikan warisan leluhur mereka terkait  mata pencaharian.

Alih fungsi lahan menjadi area komersial, pencemaran lingkungan, dan kurangnya dukungan akses modal menjadi beberapa masalah yang perlu diatasi.

Sebenarnya, ada harapan untuk masyarakat masa depan yang lebih baik. Misalnya, memaksimalkan  program-program pemerintah, seperti pelatihan keterampilan dan bantuan modal usaha.

Upaya ini dapat menjadi solusi bagi masyarakat asli untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

Apalagi, UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memberikan dukungan bagi pengembangan usaha kecil melalui akses permodalan dan pelatihan.

Sehingga, pembebasan lahan yang juga berpotensi mengubah pola hidup yang selama ini dijalani masyarakat bisa jadi solusi alternatif.

Masyarakat asli di PIK 2, kata Mulyani, harus diberi peluang bekerja di proyek baru atau pelatihan untuk masuk ke sektor ekonomi lain.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS