Kebijakan Kontroversial Ekspor Pasir Laut Perburuk Ekosistem Lingkungan

Ekspor pasir laut di Indonesia memperburuk ekosistem lingkungan (Foto: wouth_kreator/pexels)

PARBOABOA, Jakarta - Keputusan pemerintah Indonesia untuk membuka kembali ekspor pasir laut menuai kontroversi dan kritik tajam dari berbagai pihak.

Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil WALHI, Parid Ridwanuddin, mengkritik kebijakan tersebut sebagai langkah mundur dalam pengelolaan kelautan di Indonesia. 

Menurut Parid, meskipun kebijakan ini mungkin menawarkan keuntungan ekonomi jangka pendek, kerugian ekologis dan biaya pemulihan lingkungan yang diakibatkannya jauh lebih besar. 

"Dampak dari penambangan pasir laut bisa membuat kerugian pemerintah hingga lima kali lipat," kata Parid pada Rabu (11/09/2024) lalu.

Ia memperkirakan bahwa setiap keuntungan sebesar Rp 10 miliar dari penjualan pasir laut bisa menyebabkan biaya pemulihan hingga Rp 50 miliar.

Parid lantas menyoroti bahwa ekspor pasir laut memiliki dampak destruktif yang signifikan terhadap ekosistem laut, seperti rusaknya terumbu karang, mangrove, dan lamun (padang lamun). 

Menurut laporan The Conversation, pengisapan pasir laut bisa merusak keberlangsungan hidup mangrove, lamun, dan terumbu karang. 

Penambangan pasir laut menyebabkan air laut menjadi keruh dan mengganggu proses fotosintesis tumbuhan laut dan kehidupan biota seperti karang dan mikroorganisme lainnya. 

Aktivitas ini juga dapat menggali limbah berbahaya yang terpendam di dasar laut, sehingga mengganggu ekosistem dan rantai makanan laut.

Fakta lain seperti abrasi pantai dan tenggelamnya pulau-pulau kecil juga menjadi akibat lanjutan dari masifnya pengerukan pasir laut untuk kepentingan bisnis. 

Banyak pulau telah menghilang akibat aktivitas penambangan pasir laut, sehingga berdampak mempercepat tenggelamnya wilayah pesisir akibat abrasi yang tak terkendali.

Tidak hanya merusak ekosistem, kebijakan ini juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat pesisir. 

Parid menekankan bahwa masyarakat seperti nelayan di Pulau Rupat dan Sulawesi Selatan merasakan kerugian besar. 

Mereka kehilangan sumber mata pencaharian karena kerusakan ekosistem laut, seperti terumbu karang yang menjadi tempat berkembang biaknya ikan. 

"Sudah banyak pulau yang hilang akibat tambang pasir laut sebelumnya. Kebijakan ini hanya akan memperluas abrasi dan mempercepat tenggelamnya wilayah pesisir," ujarnya.

Banyak nelayan terpaksa mencari nafkah lebih jauh dari pantai atau bahkan beralih profesi, yang tidak jarang memicu utang dan permasalahan sosial seperti perceraian.

Dampak ini tidak hanya terbatas pada masyarakat di Pulau Rupat atau Sulawesi Selatan, tetapi juga dirasakan oleh nelayan di wilayah lain seperti Kepulauan Riau. 

Di sana, nelayan harus melaut lebih jauh hingga radius 5 mil karena rusaknya terumbu karang akibat aktivitas pengisapan pasir laut. 

Selain menguras sumber daya ikan, kegiatan ini juga meningkatkan biaya operasional nelayan, sehingga menurunkan pendapatan mereka dan menyebabkan ketidakstabilan ekonomi lokal.

Regulasi dan Kebijakan

Pembukaan kembali ekspor pasir laut dilakukan setelah revisi terhadap dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 dan 21 Tahun 2024 oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. 

Kebijakan tersebut merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. 

Peraturan ini memungkinkan jenis pasir laut tertentu yang memenuhi spesifikasi di bawah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47 Tahun 2024 untuk diekspor.

Namun, keputusan tersebut mengundang kekhawatiran karena pengalaman masa lalu menunjukkan dampak lingkungan yang sulit dipulihkan. 

Aktivitas penambangan pasir laut pada masa lalu telah menyebabkan kerusakan ekologis dan menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat pesisir.

Pro-kontra mengenai kebijakan ekspor pasir laut  menunjukkan dilema antara upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga keberlanjutan ekosistem serta kesejahteraan masyarakat pesisir. 

Kritikus seperti Parid Ridwanuddin menilai bahwa keputusan untuk membuka kembali ekspor pasir laut adalah kebijakan yang tidak memperhitungkan kerusakan jangka panjang. 

Di sisi lain, pemerintah menganggap kebijakan ini sebagai bagian dari pengelolaan sedimentasi laut, meski dampak negatifnya tetap menjadi perhatian serius.

Sejarah Panjang

Ekspor pasir laut punya cerita panjang di Indonesia. Sejak tahun 1970-an, pasir laut diekspor untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di Singapura. 

Namun, pada tahun 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri memutuskan untuk menghentikan ekspor ini karena dianggap merusak lingkungan.

Pada masa itu, data dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan menunjukkan bahwa ada sekitar 2 juta meter kubik pasir laut yang diekspor setiap hari. 

Dari jumlah tersebut, hanya 900 ribu meter kubik yang tercatat secara resmi, sehingga pemerintah diperkirakan kehilangan pendapatan sekitar 330 juta dolar AS per tahun.

Singapura memanfaatkan pasir dari Indonesia untuk melakukan reklamasi dan mengubah delapan pulau kecil menjadi satu wilayah yang disebut Pulau Jurong. 

Hasil reklamasi tersebut membuat wilayah Jurong bertambah luas hingga 3,5 kilometer ke arah barat daya.

Meski menambah devisa, Presiden Megawati melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) dari tiga menteri menghentikannya dengan alasan menjaga lingkungan dan mencegah tenggelamnya pulau-pulau kecil.

Namun, keinginan untuk membuka kembali ekspor pasir laut muncul lagi sejak periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. 

Ketua Asosiasi Pengusaha Pasir Laut (APPL), Herry Tousa, adalah salah satu yang mendorong ide ini. 

Menurutnya, banyak usaha tambang pasir laut yang terhenti dan bisa kembali beroperasi. 

Beberapa pertemuan antara APPL dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau membahas kemungkinan ini, meski sementara hanya untuk kebutuhan dalam negeri.

Dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya, yakni PP No. 5 Tahun 2021, ekspor pasir laut kembali dibahas. 

Presiden Jokowi sendiri menegaskan bahwa yang diekspor pemerintah bukanlah pasir laut, melainkan sedimen yang dianggap sebagai penghambat jalur kapal di laut. 

"Sekali lagi, itu bukan pasir laut, ya. Yang diekspor adalah sedimentasi," ujar Jokowi pada Selasa (17//09/2024).

Sebenarnya, larangan ekspor pasir laut sudah berlaku selama 20 tahun. Namun, kebijakan ini berubah melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan di bidang ekspor.

Sejak dibukanya kembali kebijakan ekspor pasir laut, sejumlah protes muncul, baik dari para pengamat lingkungan dan masyarakat yang merasakan langsung dampaknya.

Mereka menyayangkan kebijakan presiden yang tidak memperhatikan kepentingan umum, tetapi semata hanya untuk mencapai kepentingan ekonomis semata.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS