Benarkah PSN Ciptakan Pemerataan Pembangunan?

Sampan milik nelayan di sekitar lokasi PSN. (PARBOABOA/Patrick)

PARBOABOA, Jakarta - Proyek Strategis Nasional (PSN) selalu diklaim sebagai upaya menciptakan pemerataan pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia.

Itulah sebabnya pemerintahan Presiden Jokowi, melalui Kementerian Koordinator Perekonomian menargetkan 41 PSN terealisasi di tahun 2024. 

Bahkan, di ujung masa jabatannya, mantan Wali Kota Solo itu menetapkan dua kawasan baru sebagai PSN, yaitu pengembangan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 dan pengembangan Kawasan Terpadu Bumi Serpong Damai (BSD).

Di balik sejumlah proyek ambisius tersebut, apakah janji pemerataan yang selalu didengungkan pemerintah benar-benar terealisasi?

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI menilai, PSN gagal menciptakan pemerataan pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia.

Kata mereka, PSN masih terpusat di Jawa, terbukti dari jumlah pembangunan dan besaran dana yang digelontorkan untuk pembiayaan pembangunan di wilayah tersebut.

Dengan pola pembangunan yang masih bersifat Jawa Sentris, Eksekutif Nasional WALHI, Satrio Manggala mengatakan, Jokowi telah mengingkari janjinya sendiri.

Apalagi, Presiden ke 7 RI itu, kata dia, selalu berbicara dan berkomitmen menciptakan pembangunan yang tidak Jawa sentris. Tetapi dalam kenyataannya, sejumlah pembangunan, termasuk PSN masih terpusat di Jawa.

"Proyek PSN masih tetap dominan di Jawa, hampir lebih dari 2.000 triliun," Kata Satrio dalam diskusi daring bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Kamis (10/10/2024).

WALHI mencatat, di luar Jawa, PSN hanya berjumlah 11 proyek yang tersebar di beberapa titik dengan nilai anggaran sebesar Rp1.600 triliun.

Satrio menyampaikan, di wilayah Sumatra PSN menghabiskan anggaran Rp800 triliun, Kalimantan sekitar Rp200-an triliun, serta Sulawesi dan Papua masing-masing Rp500 triliun.

Adapun proyek-proyek yang dibangun berupa jalan, bendungan dan kawasan ekonomi. Selebihnya, pembangunan perkebunan, energi, dan pelabuhan, semuanya masih terpusat di Jawa.

Menurut Satrio, dominannya pembangunan di Jawa, "tidak seperti apa yang presiden selalu bicarakan bahwa kita sedang membangun pemerataan pembangunan."

Kendati demikian, PSN yang sudah dan sedang dibangun, belum sepenuhnya berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Alih-alih menciptakan kesejahteraan, data WALHI menunjukkan, PSN justru jadi salah satu penyebab terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat sipil.

"Data angka kekerasan dan kriminalisasi tertinggi nomor 3," Kata Satrio, dengan sebaran orang yang mengalami kekerasan dan kriminalisasi terjadi di berbagai pulau.

Dalam publikasi sebelumnya (2023), WALHI mengungkapkan, PSN pemerintahan Jokowi menjadi sumber tiga jenis kekerasan, yaitu kekerasan fisik, kekerasan kultural dan kekerasan struktural.

Kekerasan ini terjadi karena pemerintah lebih dominan mengerahkan pihak keamanan dalam PSN, seperti kepolisian, tentara, BIN, komponen cadangan dan Polisi Pamong Praja.

Sementara itu, KontraS setidaknya mencatat 79 pelanggaran HAM terkait PSN dari November 2019 hingga Oktober 2023, yang mengorbankan masyarakat adat dan warga pemilik lahan. 

Di sana Warga mengalami pembatasan informasi, serangan digital seperti doxing dan peretasan, kekerasan fisik, intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, pengrusakan, hingga penembakan peluru karet. 

Selain itu, ada juga masalah lingkungan seperti penggusuran paksa, pengrusakan dan pendudukan lahan, serta kekerasan psikologis.

"Kekerasan psikologis dan simbolik juga kerap dirasakan warga contoh kecilnya yakni kriminalisasi," kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya.

Dimas merinci, ada 27 kasus kriminalisasi, 18 kasus intimidasi, dan 18 kasus okupasi dan penangkapan sewenang-wenang. 

Adapun pihak yang paling banyak melakukan intimidasi adalah aparat keamanan dengan 39 kejadian, diikuti oleh pemerintah dengan 30 kasus, serta pihak swasta atau perusahaan dengan 29 kasus.

Kata Dimas, tingginya pelanggaran HAM di tengah pembangunan PSN menunjukkan bahwa strategi pembangunan saat ini hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan saja tanpa memperhatikan perlindungan HAM.

Pendekatan model ini, lanjutnya, "hanya akan dapat menimbulkan berbagai bentuk permasalahan baru di kemudian hari."

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS