PARBOABOA, Jakarta - Kasus pidana kekerasan seksual di Indonesia kerap kali mengalami hambatan serius karena kurangnya alat bukti.
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, seorang hakim hanya dapat menjatuhkan pidana apabila terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
Adapun lima jenis alat bukti yang diakui dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, antara lain keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Dengan demikian, "pembuktian menggunakan alat bukti yang tidak termasuk dalam Pasal 184 ayat (1) tidak memiliki nilai dan kekuatan hukum yang mengikat," tulis Ledeng Marpaung (2011) dalam buku Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan).
Maksud Ledeng, "selain alat bukti yang disebutkan tadi, tidak diperbolehkan menggunakan alat bukti lain untuk membuktikan kesalahan terdakwa."
Pembuktian dalam perkara pidana bertujuan untuk mengungkap kebenaran material, yaitu kebenaran yang hakiki dan sesungguhnya.
Dalam tataran global, proses pencarian kebenaran materiil (materiële waarheid) dalam perkara pidana sangat bergantung pada pentingnya alat-alat bukti yang digunakan.
Namun demikian, perkembangan hukum terbaru memperlihatkan bahwa dalam kasus kekerasan seksual seperti pemerkosaan dan pelecehan, pihak penyidik bisa menggunakan hanya satu alat bukti.
Salah satu UU yang mengakomodasi ketentuan tersebut adalah UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 12 April 2022 lalu.
Pasal 25 UU ini menyebut, "keterangan saksi dan/atau korban dapat cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, asalkan didukung minimal satu alat bukti sah dan hakim memiliki keyakinan bahwa tindak pidana memang benar terjadi dan terdakwalah pelakunya."
Selain itu, "keluarga terdakwa dapat memberikan keterangan sebagai saksi di bawah sumpah atau janji, tanpa memerlukan persetujuan dari terdakwa," bunyi pasal yang sama.
Jika keterangan saksi hanya bisa didapatkan dari korban atau jika keterangan saksi diberikan tanpa sumpah/janji, atau diperoleh dari pihak lain, maka pembuktiannya dapat diperkuat dengan keterangan saksi dan ahli.
Ketentuan ini sesungguhnya bermaksud mempermudah penyidik dalam mengungkap kasus kekerasan seksual yang cenderung diselesaikan melalui jalur kekeluargaan.
Advokat senior di Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F), Valentinus Pogon mengafirmasi, ketentuan terkait alat bukti dalam UU TPKS menunjukkan langkah maju dalam sistem hukum di Indonesia.
"Kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual itu kadang sulit diselesaikan karena alasan kurangnya alat bukti. Pertanyaannya, bagaimana mendapatkan alat bukti sementara tidak ada saksi langsung saat kejadian?" ujar Valentinus medio 2023 lalu.
Dalam beberapa kesempatan menangani kasus kekerasan seksual bersama TRUK-F, Valentinus menyebut, persoalan mengenai alat bukti menghalangi penyidik dalam mengusut perkara.
"Adanya UU TPKS ini sebenarnya mempermudah para penyidik. Apalagi ada ketentuan bahwa barang bukti bisa juga menjadi alat bukti. Itu sudah cukup untuk menindak pelaku," tambahnya.
Valentinus menyebut, alpanya penggunaan UU TPKS justru berdampak serius pada peningkatan angka kasus kekerasan seksual yang dialami beberapa tahun terakhir.
Menurut laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), per 1 Januari 2024, jumlah korban kekerasan seksual mencapai 19.957 orang.
Dari angka tersebut, 4.339 korban adalah laki-laki, sementara 17/303 korban adalah perempuan. Mereka berisiko mengalami gangguan fisik maupun mental yang merusak masa depan.
Kasus Putri Candrawati
Salah satu kasus yang menyedot perhatian publik adalah dugaan pemerkosaan terhadap Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo oleh Yosua Hutabarat pada Juli 2022 lalu.
Ahli Kriminologi, Muhammad Mustofa, menilai bahwa minimnya barang bukti membuat dugaan pelecehan yang disebutkan Putri Candrawathi tidak dapat dijadikan sebagai motif dalam perkara tersebut.
Kesaksian ini disampaikan Mustofa saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam sidang kasus kematian Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (19/12/2022).
Menurut Mustofa, ada aspek menarik terkait motif pelecehan seksual dalam kasus kematian Brigadir J di Duren Tiga, Jakarta Selatan.
"Dari segi waktu mungkin sangat jauh, tetapi hal yang menarik adalah seorang perwira tinggi kepolisian menyadari bahwa dalam kasus pemerkosaan, bukti dan saksi sangatlah penting," ujar Mustofa.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam perkara pidana, satu alat bukti saja tidak cukup, sehingga dibutuhkan dukungan barang bukti lainnya untuk membenarkan kesaksian korban.
"Tindakan-tindakan tersebut, seperti melakukan visum, tidak dilakukan Putri Candrawathi. Akibatnya, ketika laporan diajukan kepada polisi, barang buktinya tidak mencukupi," lanjutnya.
Mustofa juga menambahkan bahwa terdapat kemarahan yang dialami pelaku dalam peristiwa di Magelang, tetapi hal tersebut tidak memiliki kejelasan.
"Artinya, tidak ada bukti yang mengarah ke sana, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai motif," tutupnya.
Berlawanan, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan bahwa kejadian yang menimpa Putri Candrawathi sesungguhnya merupakan bentuk pemerkosaan.
"Tidak yakin pun harus dibuktikan. Jadi, biarkan penyidik yang melakukan pembuktian, dengan bantuan ahli," ujar Ahmad pada Sabtu (03/09/2022).
Ahmad menjelaskan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menetapkan bahwa keterangan saksi atau korban merupakan alat bukti.
Ia menyoroti dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh Yosua terhadap Putri Candrawathi, berdasarkan keterangan dari Putri, Ferdy Sambo, Kuat Ma'ruf, Ricky Rizal, dan ART Ferdy Sambo, Susi.
"Perlu dipahami bahwa UU TPKS mengatur alat bukti dalam pasal 25. Keterangan saksi atau korban diakui sebagai alat bukti yang sah. Ini berbeda dengan tindak pidana lainnya di mana keterangan dianggap sebagai alat bukti yang paling rendah," ujarnya.
Dengan bertolak dari ketentuan ini, Ahmad menerangkan, pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi dapat dibuktikan hanya dengan keterangan saksi dan korban.
Menurutnya, prosedur pembuktian untuk tindak pidana kekerasan seksual berbeda dari tindak pidana umum lainnya.
"Alat bukti yang diperlukan cukup berupa keterangan saksi dan/atau korban. Prosedur pembuktian dalam kasus kekerasan seksual tidak sama dengan tindak pidana umum yang biasanya memerlukan barang bukti tambahan," jelasnya.
Lebih lanjut, Ahmad menekankan kekerasan seksual sering terjadi di ruang privat. Oleh karena itu, pembuktian dugaan pelecehan ini bisa dilakukan dengan keterangan dari saksi dan korban.
"Hal ini dikarenakan kekerasan seksual seringkali terjadi di ruang privat, di mana hanya ada pelaku dan korban. Oleh karena itu, prosedur pembuktiannya menjadi lebih sederhana," tutup Ahmad.