Pemutihan Sawit dan Potensi Korupsi Tata Kelola Perkebunan

Potret perkebunan kelapa sawit. (Foto: gapki.id)

PARBOABOA, Jakarta - Baru-baru ini, Tim Penyidik dari Direktorat Jampidsus melakukan penggeledahan di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Penggeledahan itu berkaitan dengan dugaan korupsi tata kelola perkebunan sawit ilegal tahun 2016 hingga tahun 2024.

Di KLHK, penyidik menggeledah beberapa ruangan dan berhasil menyita empat kotak dokumen dan bukti elektronik pelepasan kawasan hutan.

Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung menyampaikan, sebagai tindak lanjut dari penggeledahan tersebut, pihaknya dalam waktu dekat akan menjadwalkan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi.

"Sedang menjadwal pemeriksaan saksi-saksi," kata Harli di Jakarta, Kamis (10/10/2024).

Ia belum merinci lokasi perkebunan yang terindikasi korupsi terkait tata kelola karena masih dalam penyidikan Jampidsus. Demikian juga dengan potensi kerugian keuangan negaranya.

"Nanti ada ahli yang hitung," ujar Harli sembari menegas, fokus mereka masih pada pemeriksaan saksi-saksi.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI menyebut, penggeledahan ini punya irisan dengan pemutihan sawit dalam kawasan hutan yang diatur dalam pasal 110 A UU Cipta Kerja.

Sejak awal, WALHI sendiri telah mengingatkan, proses pemutihan dapat menjadi celah korupsi. Apalagi tenggat waktu penyelesaiannya sampai tanggal 2 November 2023, ketentuan yang menurut mereka " sarat akan kepentingan transaksional politik."

Sayangnya, setelah bertepatan dengan tanggal tersebut, KLHK berdalih, 2 November 2023 merupakan batas akhir pendaftaran bukan batas penyelesaian.

WALHI mengatakan, sebenarnya sejak 13 tahun yang lalu, pemerintah melalui Kementerian Kehutanan, sekarang KLHK, telah memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan kehutanan untuk memperbaiki status mereka. 

Hal ini diatur dalam PP Nomor 60 Tahun 2012, yang mengubah PP Nomor 10 Tahun 2010, serta PP Nomor 104 Tahun 2015. 

Kedua peraturan ini memberi waktu bagi perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan untuk menyelesaikan administrasi: 6 bulan untuk PP Nomor 60 Tahun 2012 dan hingga 3 tahun untuk PP Nomor 104 Tahun 2015.

Dengan memenuhi syarat administrasi yang ditentukan, perusahaan yang sebelumnya beroperasi secara ilegal di kawasan hutan dapat memperoleh izin legal untuk melanjutkan kegiatan mereka. 

Namun, bukannya memperketat penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan, pemerintah malah mengeluarkan pasal 110 A dan 110 B dalam UU Cipta Kerja, yang semakin memudahkan perusahaan tersebut untuk tetap beroperasi tanpa sanksi tegas.

Tak hanya itu, proses pemutihan perkebunan sawit di dalam kawasan hutan yang diatur melalui dua pasal di atas dinilai sangat tertutup. 

Bahkan, data yang digunakan Kementerian KLHK untuk menghitung luas konsesi, berapa banyak hutan yang sudah diubah menjadi perkebunan sawit, serta kondisi hutan sebelum dibuka juga tidak jelas. 

Tidak diketahui juga apakah data tersebut berasal dari KLHK sendiri atau dari laporan mandiri perusahaan. Kata WALHI, Jika data berasal dari laporan mandiri perusahaan, tidak ada informasi apakah ada pemeriksaan lebih lanjut terhadap data yang diserahkan tersebut.

Selain itu, KLHK secara tiba-tiba mengeluarkan SK Menteri LHK Nomor SK.661, yang menyederhanakan cara perhitungan kewajiban Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi (PSDH-DR) yang harus dibayar oleh perusahaan dalam proses pemutihan. 

Dalam formula ini, jenis kayu di kawasan yang diputihkan tidak diperhitungkan. Perhitungannya hanya didasarkan pada taksiran volume kayu, potensi kayu, dan luas area yang sudah digunakan. 

Jika dibandingkan dengan perhitungan PSDH berdasarkan potensi tegakan yang merujuk pada neraca sumber daya hutan tahun 2022 dan data tutupan hutan tahun 2000, metode yang digunakan dalam SK.661 ini jauh lebih rendah dan sangat menguntungkan perusahaan.

Hingga 4 Oktober 2023, data dari Kementerian KLHK menunjukkan, luas perkebunan sawit yang dibangun dalam kawasan hutan tanpa izin kehutanan mencapai 1.679.797 hektare. 

Jumlah ini berasal dari 1.679 kebun sawit, hasil dari inventarisasi tahap 1 hingga 15 yang ditetapkan oleh Menteri LHK.

Dari total tersebut, 1.263 kebun sawit (seluas 1.473.946 hektare) diduga dimiliki oleh perusahaan atau korporasi. Sebanyak 1.132 kebun dengan luas 1.374.322 hektar sudah dinyatakan memenuhi syarat untuk penyelesaian masalah perizinan. 

Dari kebun-kebun itu, 969 kebun dengan luas 867.313 hektar diselesaikan melalui mekanisme Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja, sementara 162 kebun seluas 507.009 hektar diselesaikan hanya menggunakan Pasal 110A. 

Dari kebun yang menggunakan Pasal 110A, 78 kebun sudah mendapatkan SK Penetapan Batas atau Areal Kerja, 29 kebun sudah memiliki SK Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, dan 55 kebun lainnya masih dalam proses.

Sementara itu, kebun sawit milik masyarakat hanya berjumlah 297 unit dengan luas 106.196 hektar, dan kebun koperasi sebanyak 119 unit dengan luas 99.654 hektar. 

Sayangnya, tidak banyak kemajuan dalam pemutihan kebun milik masyarakat karena pemerintah lebih memprioritaskan pemrosesan kebun-kebun milik korporasi.

WALHI mencatat sepuluh grup besar yang turut serta dalam proses ini, seperti, Wilamar, Musim Mas, Sinar Mas Goodhope, Citra Borneo Indah, Genting, Bumitama, Sime Darby, Perkebunan Nusantara, dan Rajawali/Eagle High. 

Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional,  Uli Arta Siagian mengatakan, penanaman sawit di kawasan hutan tidak hanya menyebabkan deforestasi, tetapi juga mengancam keanekaragaman hayati dan merusak fungsi hidrologis.

Juga "menyebabkan longsor dan banjir, pelepasan emisi, kerugian negara dan perekonomian negara, konflik dan tidak jarang diikuti dengan intimidasi kepada masyarakat,' katanya.

Uli menambahkan, meskipun penggeledahan kantor KLHK terkait dugaan tindak pidana korupsi tata kelola perkebunan sawit 2016-2024 terlambat dilakukan, langkah yang diambil Kejaksaan ini tetap patut diapresiasi. 

Selanjutnya, kata dia, penting bagi Kejaksaan untuk turut memeriksa korporasi-korporasi yang terlibat dalam proses pemutihan sawit dalam kawasan hutan.

Dalam UU Cipa Kerja, pemutihan sawit merupakan mekanisme untuk memberikan legalitas perkebunan sawit yang berada di kawasan hutan.

Proses ini harus diselesaikan paling lambat pada 2 November 2023 dan diberikan kepada kepada kebun sawit yang berada di hutan produksi dan area penggunaan lain.

Sementara itu, perkebunan di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung harus dikembalikan kepada negara. Selain itu, pemutihan harus memperhatikan aspek pemulihan lingkungan.

Bagi siapa saja yang yang tidak menyelesaikan persyaratan tersebut dapat dikenai sanksi administratif. Juga dapat dijerat pidana apabila terindikasi korupsi dan melanggar UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS