Tarik-Ulur Posisi PDIP Sebagai Oposisi

Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. (Foto: Instagram/@presidenmegawati)

PARBOABOA, Jakarta - Di bulan Mei 2024 lalu, PDIP dengan lantang menyerukan praktik pemilu 2024 sebagai yang paling buruk dalam sejarah.

Penilaian itu rupanya tidak muncul begitu saja. Partai besutan Megawati Soekarno Putri itu mengaku, melihat secara kasat mata sejumlah penyimpangan demokrasi yang terjadi.

Di sana, mereka mencium aroma kental penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran etika, intervensi oleh aparat penegak hukum serta penyalahgunaan sumber daya negara untuk memenangkan kandidat tertentu.

"Pemilihan Umum 2024 adalah pemilu paling buruk dalam sejarah demokrasi Indonesia," kata petinggi PDIP, Puan Maharani saat membacakan hasil rakernas partai, Minggu (26/5/2024).

Presiden Jokowi dan putranya, Gibran Rakabuming Raka yang kala itu masih ber-KTA PDIP dinilai turut berkontribusi membegal demokratisasi pemilu, menyusul putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Putusan ini merupakan pintu masuk bagi Gibran menjadi cawapres Prabowo Subianto hingga menghantar keduannya menjadi pasangan terpilih yang sebentar lagi akan dilantik.

PDIP mengakui hal ini sebagai sebuah keteledoran pihaknya, sehingga meminta maat atas perilaku kader yang tidak berdisiplin, tidak menjunjung etika politik, melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ideologi partai serta melanggar konstitusi dan demokrasi.

Lewat rakernas pula, PDIP merekomendasikan evaluasi menyeluruh dan objektif terhadap pelaksanaan pemilu, serta menyuarakan pentingnya fungsi kontrol dan penyeimbang untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia.

Dalam rangka itu, partai politik yang ada di dalam maupun di luar pemerintahan, kata mereka, harus diperlakukan setara dan adil, tidak boleh didiskriminasi.

Capres dari PDIP, Ganjar Pranowo kala itu menyampaikan, meski sang Ketua Umum, Megawati belum menyatakan sikap resmi, poin-poin rakernas menggambarkan arah politik partai berlambang banteng moncong putih pasca pemilu.

"Saya kira itu menggambarkan sikap politik yang ada di PDI Perjuangan," kata mantan Gubernur Jawa Tengah itu.

Pengamat politik BRIN, Firman Noor juga memprediksi sikap PDIP tidak akan melenceng jauh dari rekomendasi rakernas. Menurutnya, faktor Jokowi menjadi penghalang bagi PDIP untuk begitu saja bergabung dengan pemerintahan.

Apalagi, di sana ada Gibran, sosok yang dinilai punya riwayat hubungan buruk dengan partai. Karena itu, menerima tawaran untuk menjadi bagian dari pemerintahan, kata dia, "itu sama saja seperti memberi pengakuan apa yang dilakukan oleh Gibran, Jokowi, itu sebagai sesuatu yang bisa diterima oleh PDIP."

Firman berkata, permintaan maaf PDIP atas perlakukan kadernya yang melabrak konstitusi dan mengangkangi etika, jelas mengarah ke Presiden Jokowi.

Lebih-lebih, jelang dan pasca pemilu Jokowi tidak diundang dalam sejumlah pertemuan penting dan rakernas partai. Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto menyindir keras terkait siapa-siapa saja yang harus diundang.

Orang kepercayaan Megawati ini berujar, yang diundang adalah "mereka yang memiliki spirit dan komitmen tinggi menjaga demokrasi hukum."

Semenjak itu, sejumlah kader militan PDIP melakukan serangan terbuka kepada Jokowi. Bersama organisasi masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah mereka menyebut Jokowi melakukan "pembegalan demokratisasi pemilu."

Tak hanya itu, salah satu kritik keras yang mereka sampaikan dalam sejumlah kesempatan adalah Jokowi melanggengkan dinasti politik.

Mereka berpijak pada pengaruh sang presiden menyediakan karpet merah bagi orang-orang terdekatnya untuk memonopoli kekuasaan politik. Antara lain misalnya, selain Gibran, mantan Wali Kota Solo itu berhasil mengontrol sejumlah partai politik besar untuk mengusung menantunya, Bobby Nasution di Pilgub Sumut.

Sang putra bungsu, Kaesang Pangarep juga sempat maju dalam Pilkada Jateng, meski secara aturan belum layak. Beruntung, kekuatan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil berhasil menggagalkan rencana tersebut dalam demo berjilid-jilid di Gedung DPR RI, Jakarta dan di sejumlah daerah.

Semenjak itu juga sebenarnya, portofolio PDIP dinilai banyak pihak identik dengan partai oposisi pemerintahan Prabowo-Gibran.

Ada harapan, militansi mereka sebagai oposisi selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terulang lagi, guna memastikan adanya kontrol yang kuat terhadap kekuasaan.

Namun sayangnya, diujung masa transisi pemerintahan saat ini, pilihan untuk menjadi oposisi bagi PDIP tampaknya tidak lagi menarik. Ada sinyal kuat partai pemenang pemilu ini akan bergabung dengan pemerintah yang berkuasa. 

Bendahara Umum PDIP, Olly Dondokambey secara tersirat telah mengkonfirmasinya. Kata dia, kerja sama dengan koalisi Presiden terpilih, Prabowo Subianto terjalin ketika Puan Maharani dilantik sebagai Ketua DPR RI periode 2024-2029.

"Kerja sama telah terjalin dengan dilantiknya Ibu Puan," kata Olly belum lama ini.

Semula rencana merebut kursi Ketua DPR RI dari PDIP memang kian kencang, dengan rencana merevisi UU MD3. Hal ini dihubungkan dengan keinginan koalisi Prabowo untuk memperkuat dukungan di legislatif.

Jika UU MD3 jadi direvisi, maka yang berlaku adalah rumusan pada tahun 2009 dimana ketua DPR diberikan kepada koalisi yang memperoleh kursi terbanyak di senayan.

Adapun saat ini, yang berlaku adalah UU MD3 tahun 2018 yang mengamanatkan Ketua DPR harus diberikan kepada partai politik yang meraih suara terbanyak dalam pileg. Dalam hal ini, PDIP berhak mendapatkannya.

Kini, rencana revisi UU MD3 kian redup seiring kuatnya isu PDIP bergabung dengan pemerintahan. 

Sementara itu, beredarnya nama-nama menteri dari PDIP di pemerintahan baru merupakan indikasi lain semakin kuatnya kerja sama politik tersebut.

Olly Dondokambey, Azwar Anas, hingga Budi Gunawan adalah kader PDIP yang dirumorkan masuk ke kabinet Prabowo-Gibran. Ketua DPP PDIP, Said Abdullah tidak menampiknya.

Kata dia, nama-nama tersebut tinggal menunggu keputusan DPP dan ketua Umum. "Baik Pak Budi Gunawan, Pak Azwar Anas, baik Bapak Olly Dondokambey, menunggu keputusan dari DPP dan Ibu Ketua Umum," katanya.

Pertemuan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto yang rencananya diadakan dalam waktu dekat, disinyalir memperkuat kerja sama politik PDIP dengan Koalisi presiden terpilih.

Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan komunikasi telah dilakukan. Sekarang, kata dia, tinggal mencocokkan tanggal dan tempat pertemuan.

"Karena masing-masing saling mencocokan. Yang pasti soal makanan telah ditentukan," kata Dasco.

Sementara itu, Pengamat Politik UI, Aditya Perdana menilai, kepastian PDIP bergabung dengan pemerintah akan sangat ditentukan sejauh mana pengaruh dan keterlibatan Jokowi di pemerintahan tersebut nantinya.

Paling tidak kata dia, "mereka akan melihat seberapa dominan peran Jokowi" dan di sisi lain, "seberapa jauh akomodasi politik yang ditawarkan Prabowo ke PDIP."

Kalau ada titik temunya, PDIP pasti akan bergabung, apalagi "hubungan politik Megawati dengan Prabowo dinilai masih tergolong baik meski berbeda kubu."

Pakar Hukum Tata Negara, sekaligus pihak yang selama ini getol mengkritisi pemerintah. Refly Harun menyatakan bahwa masyarakat tidak merasa bingung atau cemas dengan keputusan PDIP mengenai posisinya. 

Masyarakat, tegasnya, sudah memiliki pandangan yang jelas terkait hal ini.

Menurut dia, jika PDIP memutuskan untuk tidak bergabung dengan pemerintah, itu akan diterima dengan baik oleh rakyat. Sebaliknya, jika PDIP bergabung dengan pemerintahan, maka rakyat akan siap untuk mengambil peran sebagai oposisi.

Dalam demokrasi, tambahnya, oposisi memiliki peran penting sebagai pengawas jalannya pemerintahan. Jika semua partai politik besar berada di pihak pemerintah, keseimbangan politik dapat terganggu. 

Oleh karena itu, ketika partai oposisi lemah, rakyat perlu mengambil peran tersebut melalui berbagai bentuk partisipasi politik, seperti gerakan masyarakat sipil atau kelompok advokasi.

"Artinya tugas kami (rakyat) menjadi oposisi" apalagi, "ruang oposisi itu lebar sekali." kata Refly Harun.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS