Proyek Raksasa PIK, Agung Sedayu Group dan Salim Group Jadi Sorotan

Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK 2. (Foto: PARBOABOA/Patrick)

PARBOABOA, Jakarta - Di tengah pesatnya pembangunan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, dua nama besar, Agung Sedayu Group dan Salim Group terus menjadi sorotan masyarakat.

Proyek besar di utara Jakarta ini adalah hasil kolaborasi antara dua grup tersebut, yang telah menarik perhatian banyak pihak.

Dalam laporan khusus Parboaboa, Senin (7/10/2024), warga sekitar menyatakan penolakan mereka terhadap relokasi yang disebabkan oleh pembangunan proyek ini.

Sutoyo (bukan nama sebenarnya), salah satu warga Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, yang telah lama tinggal di wilayah tersebut, mengungkapkan bahwa warga merasa tidak dilibatkan dalam proses relokasi.

Menurutnya, sosialisasi proyek memang dilakukan menjelang bulan puasa tahun lalu, namun skema relokasi yang ditawarkan tidak melalui negosiasi yang terbuka.

Sutoyo juga menekankan bahwa warga berharap adanya transparansi lebih dalam proses tersebut.

Mereka menginginkan kompensasi yang adil atas tanah dan bangunan mereka, tetapi sayangnya ganti rugi ditetapkan secara sepihak.

Warga juga merasa khawatir karena diminta menyerahkan sertifikat tanah mereka tanpa ada penjelasan yang memadai.

Dengan nominal ganti rugi antara Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta per meter persegi, banyak warga yang menilai angka tersebut tidak cukup untuk membangun rumah baru dengan kualitas yang setara.

Di balik ketidakpastian relokasi, perhatian masyarakat tertuju pada dua grup besar tersebut.

Siapa sebenarnya Agung Sedayu Group dan Salim Group? Bagaimana peran mereka dalam ekonomi Indonesia?

Agung Sedayu Group (ASG) didirikan pada tahun 1971 oleh Sugianto Kusuma, yang lebih dikenal dengan nama Aguan.

Selama lebih dari lima dekade, ASG telah menjadi salah satu pemain utama di industri properti Indonesia, dengan berbagai proyek besar seperti Pantai Indah Kapuk (PIK), pusat perbelanjaan elit, serta apartemen mewah di Jakarta Utara.

Kawasan PIK tidak hanya terkenal sebagai hunian, tetapi juga menjadi destinasi wisata alam dan pusat perbelanjaan yang terintegrasi.

Proyek-proyek lainnya, seperti Sedayu City dan Mall of Indonesia (MOI), juga telah menjadi ikon di Jakarta.

Menurut data Bank Indonesia, sektor properti mengalami pertumbuhan sebesar 3,42% pada tahun 2023, di mana proyek mixed-use seperti yang dikembangkan ASG memberikan kontribusi besar.

ASG memanfaatkan momentum ini dengan terus memperluas investasinya ke kota-kota besar lain seperti Surabaya dan Bali.

Konsep kawasan terintegrasi yang diterapkan ASG memungkinkan pembeli tidak hanya mendapatkan hunian, tetapi juga gaya hidup yang lengkap dengan akses ke pusat perbelanjaan, taman, dan fasilitas kesehatan.

Sementara itu, Salim Group dikenal sebagai konglomerasi yang awalnya bergerak di sektor makanan dan minuman melalui PT Indofood Sukses Makmur.

Namun, seiring berjalannya waktu, Salim Group memperluas bisnisnya ke sektor properti, dan menjadi pemain penting di pasar properti Indonesia.

Mereka memulai ekspansi ini dengan bekerja sama dengan pengembang besar lainnya, seperti Agung Podomoro Group.

Proyek Grand Indonesia, yang menjadi salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Asia Tenggara, adalah salah satu hasil kolaborasi tersebut.

Menurut data BPS. pada tahun 2023, sektor properti menyumbang sekitar 11,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, Salim Group, dengan diversifikasi bisnis yang luas, turut berkontribusi besar dalam pertumbuhan ini.

Di bawah kepemimpinan Anthony Salim, grup ini telah merambah berbagai sektor, mulai dari properti, infrastruktur, hingga energi.

Proyek mereka tidak hanya fokus pada hunian, tetapi juga mencakup infrastruktur penting seperti pembangkit listrik dan jalan tol.

Meski sama-sama berperan besar dalam industri properti, Agung Sedayu Group dan Salim Group memiliki pendekatan yang berbeda.

ASG lebih menekankan proyek kelas atas dengan kawasan terintegrasi di sekitar Jakarta, sementara Salim Group lebih beragam dalam pendekatannya, merambah sektor lain di luar properti, seperti infrastruktur dan energi.

Agung Sedayu Group cenderung fokus pada segmen pasar menengah ke atas dengan proyek-proyek mewah, sementara Salim Group berusaha menjangkau berbagai lapisan masyarakat.

Selain membangun properti komersial, Salim Group juga berinvestasi dalam pembangunan rumah subsidi dan infrastruktur, memberikan manfaat bagi lebih banyak segmen masyarakat.

Kedua grup ini tidak hanya memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetapi juga memberikan dampak sosial.

Proyek-proyek yang mereka jalankan menciptakan lapangan kerja dan berkontribusi pada pendapatan pajak negara.

Pada tahun 2022, sektor properti menyumbang sekitar Rp62,8 triliun dalam pendapatan negara, dengan kontribusi besar dari pengembang seperti Agung Sedayu dan Salim Group.

Selain dampak ekonomi, kedua grup juga berkontribusi dalam pembangunan sosial.

Agung Sedayu mendukung berbagai program CSR untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar.

Sementara Salim Group fokus pada pembangunan infrastruktur yang meningkatkan konektivitas antar wilayah, seperti pembangunan jalan tol yang membuka akses ke daerah-daerah terpencil.

Di tengah semua pencapaian tersebut, dua perusahaan tadi juga mendapat sorotan soal keterlibatan mereka dalam proyek strategis nasional (PSN). 

Sorotan itu, utamanya disebabkan oleh mekanisme pembebasan lahan. Harga yang ditawarkan oleh pengembang untuk membeli lahan masyarakat sangat rendah, bahkan beberapa di antaranya berada di bawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). 

Selain itu, masyarakat juga mengeluhkan tindakan pengembang yang sudah mulai melakukan pengurugan di lahan mereka, padahal proses jual beli atau pemberian ganti rugi belum dilakukan.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS