PARBOABOA, Jakarta - Di era digital, perkembangan teknologi telah membawa berbagai dampak, termasuk munculnya berbagai bentuk kejahatan baru.
Salah satu kejahatan yang semakin mengkhawatirkan adalah tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang kini banyak menggunakan modus online scamming.
Kejahatan ini berdampak pada banyak aspek kehidupan korban, mulai dari fisik, mental, hingga ekonomi.
Lantas, seperti apa pelaku kejahatan ini menjerat korban, yang sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang dijebak dalam jaringan perdagangan manusia.
Kasus TPPO melalui penipuan daring semakin marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Modus yang digunakan para pelaku biasanya melibatkan penawaran pekerjaan palsu.
Mereka menjanjikan gaji tinggi serta pekerjaan yang terlihat menarik, baik di luar negeri maupun di dalam negeri.
Korban, yang tergiur oleh iming-iming tersebut, diminta untuk mengirim sejumlah uang dengan alasan biaya administrasi atau transportasi.
Tidak hanya itu, para pelaku sering kali menggunakan identitas palsu untuk meyakinkan korban bahwa tawaran pekerjaan tersebut sah dan dapat dipercaya.
Ketika korban sudah berada di bawah kendali pelaku, mereka dieksploitasi secara fisik atau seksual, bahkan dijual ke jaringan perdagangan manusia lainnya.
Terbaru, dari Laporan Khusus Parboaboa yang bertajuk, “Perdagangan Orang Berkedok Kawin Kontrak di Kota Santri” mengindikasikan bahwa modus TTPO ini sangat beragam.
Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), pada tahun 2023 terjadi peningkatan sebesar 20% dalam jumlah kasus TPPO dibandingkan tahun sebelumnya.
Sekitar 30% dari kasus tersebut melibatkan modus online scamming. Mayoritas korban adalah perempuan muda dari keluarga dengan latar belakang ekonomi rendah.
Mereka sering kali menjadi target utama karena keterbatasan akses informasi dan pendidikan.
Hal ini membuat mereka rentan terhadap tawaran pekerjaan yang tampak menggiurkan namun sebenarnya merupakan jebakan.
Selain itu, laporan dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengungkapkan bahwa sebagian besar korban perdagangan orang dari kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dipekerjakan sebagai pekerja paksa atau dieksploitasi secara seksual di negara-negara seperti Malaysia, Tiongkok, dan Timur Tengah.
Banyak dari mereka tertipu oleh tawaran pekerjaan yang disebarkan melalui platform daring.
Kejahatan ini tidak hanya merugikan korban secara individu tetapi juga mencoreng citra negara di mata internasional.
Indonesia sendiri telah memiliki payung hukum yang jelas terkait dengan TPPO.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan salah satu langkah konkret pemerintah dalam memerangi kejahatan ini.
Dalam undang-undang tersebut, perdagangan orang diartikan sebagai tindakan mempekerjakan, mengirim, atau menerima orang dengan cara penipuan atau penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan eksploitasi.
Pelaku yang terbukti bersalah dapat dijatuhi hukuman hingga 15 tahun penjara serta denda hingga Rp 600 juta.
Meski undang-undang ini telah ada, pelaksanaan di lapangan masih menemui banyak kendala, terutama dalam hal pemahaman masyarakat yang masih rendah tentang modus kejahatan seperti online scamming.
Untuk memperkuat upaya pencegahan, pada tahun 2021 diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 22 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Peraturan ini bertujuan untuk mempertegas langkah pemerintah dalam menangani kasus TPPO, termasuk melalui peningkatan koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, serta lembaga terkait.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, menyatakan bahwa salah satu tantangan utama dalam upaya penanganan TPPO adalah kurangnya data yang akurat serta sulitnya menjangkau korban di daerah terpencil.
Tantangan lain yang dihadapi adalah keragaman modus operandi TPPO yang terus berkembang.
Hal ini diungkapkan oleh Lisa, seorang pemerhati masalah sosial, yang menekankan pentingnya inovasi dalam pencegahan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, isu TPPO akan menjadi salah satu prioritas, dengan fokus pada diplomasi ketangguhan yang bertujuan melindungi warga negara Indonesia secara preventif.
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratna Susianawati, menyoroti pentingnya pemberdayaan korban agar mereka tidak kembali menjadi korban di masa depan.
Banyak korban yang kembali terjebak dalam lingkaran perdagangan manusia karena kurangnya upaya rehabilitasi dan pemberdayaan setelah mereka diselamatkan.
Dalam hal statistik, data Kementerian Luar Negeri mengungkapkan bahwa dari tahun 2020 hingga Maret 2024, setidaknya 3.703 Warga Negara Indonesia (WNI) menjadi korban kejahatan online scamming, dan sekitar 40% dari mereka teridentifikasi sebagai korban TPPO.
Sementara sepanjang tahun 2023, Bareskrim Mabes Polri telah menangani 1.061 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan jumlah korban mencapai 3.363 orang.
Bertolak dari data yang ada, maka sangat penting adanya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam menangani kasus-kasus ini.
Selain kampanye publik yang lebih masif, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum juga menjadi kebutuhan mendesak.
Karena itu, meskipun teknologi sering kali disalahgunakan oleh pelaku TPPO, ia juga bisa menjadi alat yang efektif untuk pencegahan.
Misalnya, media sosial bisa digunakan untuk menyebarkan informasi tentang modus-modus penipuan yang sering digunakan dalam kasus perdagangan manusia.
Selain itu, kerja sama antara pemerintah dan penyedia platform digital menjadi krusial untuk mengidentifikasi dan menutup akun-akun yang terindikasi terlibat dalam kegiatan perdagangan manusia.
Upaya perlindungan bagi korban juga menjadi salah satu fokus utama dalam penanganan kasus TPPO.
Kementerian Sosial, bersama berbagai LSM, telah mendirikan shelter untuk para korban.
Shelter ini tidak hanya menyediakan tempat tinggal sementara, tetapi juga layanan rehabilitasi fisik, mental, serta pelatihan keterampilan untuk membantu korban kembali ke masyarakat dengan lebih baik.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga berperan dalam memberikan perlindungan hukum dan keamanan bagi korban yang bersedia bersaksi melawan pelaku.
Langkah ini penting untuk memastikan bahwa korban merasa aman dan didukung selama proses hukum berlangsung.
Namun demikian, pencegahan dan penanganan TPPO masih menghadapi banyak tantangan.
Salah satu yang terbesar adalah kurangnya kesadaran masyarakat tentang modus-modus kejahatan yang ada, serta kurangnya penegakan hukum yang efektif di lapangan.
Oleh karena itu, pendidikan dan kampanye yang berkelanjutan tentang bahaya online scamming menjadi sangat penting.
Tidak hanya itu, kolaborasi antar negara juga diperlukan untuk memerangi perdagangan manusia lintas negara yang sering kali sulit dilacak.
Tantangan terbesar dalam menghadapi TPPO di era digital adalah memadukan teknologi dengan kebijakan yang tepat.
Hal ini bertujuan untuk melindungi korban dan memastikan pelaku dihukum sesuai hukum yang berlaku.
Editor: Norben Syukur