Ritual Mematikan! Pesona dan Bahaya Pemotongan Ular Cobra di Jakarta

Obat tradisional yang dihasilkan dari ular kobra. (Foto: PARBOABOA/Kuni Hanifah)

PARBOABOA, Jakarta - “Tepas…” suara tegas menggema, membuat semua pengunjung tertuju pada ritual itu. Dalam sekejap, kepala terpisah dari bagian tubuh ular. Proses kejam yang dilakukan bukan sekedar pertunjukan, darah ular segar di masukan kedalam gelas kosong. 

Dengan penuh kehati-hatian pedagang bernama Arief itu menyilet kulit, memisahkan antara daging, empedu dan sumsum. Sejumlah pengunjung terpesona melihat keterampilan Arief dalam ritual pemotongan ular kobra di Mangga Besar, Jakarta Pusat.

Darah yang segar berwarna merah pekat dengan dicampuri empedu, sumsum dan ditambahkan arak putih dalam gelas, serontak pengunjung menelan ludah di mulut mereka. 

Darah ular dipercayai masyarakat sebagai ramuan dalam menjaga daya tahan tubuh dan meningkatkan stamina. 

Sedangkan, dagingnya diolah dengan cara ditusuk menjadi sate dan dicampur dengan daging biawak lalu direbus, kemudian dibakar hingga matang sempurna. 

Kedua jenis daging ini memiliki khasiat yang dipercaya sebagai obat tradisional untuk kesehatan kulit. Tidak hanya darah dan daging, empedu juga memiliki khasiat untuk kesehatan paru-paru, jantung, dan diabetes.

Selain itu, terdapat berbagai jenis olahan obat tradisional yang dipercaya dari dulu sampai sekarang dan bahkan sudah menjadi tradisi obat tradisional. 

Obat-obatan ini memiliki bahan dasar dari ular dan biawak, seperti kapsul, salep, dan minyak.

Kapsul cobra dibuat dari campuran darah, daging, dan empedu ular. Ini menjadi pilihan alternatif bagi mereka yang tidak berani mengonsumsi darah secara langsung.

Tetapi hal ini, ternyata sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh, dan bahkan sudah pernah diteliti. Seperti:

Dalam jurnal Analisis Cemaran Staphylococcus Aureus Pada Gelas, Darah Segar, Dan Jamu Dengan Ramuan Darah Ular Kobra Jawa (Naja Sputatrix) menjelaskan bahwa, darah ular kobra dapat membahayakan tubuh manusia karena mengandung Staphylococcus aureus sehingga dapat menyebabkan keracunan dan infeksi serius.

Sedangkan dalam penelitian Widagdo Sri Nugroho mendapatkan hasil bahwa, sebesar 20% darah dari ular kobra mengandung Staphylococcus aureus. Meskipun jumlah bakteri tersebut masih di bawah ambang batas berbahaya menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk keamanan pangan, keberadaannya tetap dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia.

Temuan-temuan ini mengingatkan kita bahwa meskipun praktik pengobatan tradisional sering kali dipercaya memiliki manfaat, tetapi konsumsi bahan pangan yang tidak diolah dengan standar keamanan yang tepat dapat menimbulkan risiko kesehatan yang serius.

Bukan hanya Arif, Dani Cobra 34 juga mampu menarik perhatian para pengunjung. Diawali sebuah pemandangan sejumlah ular kobra meliuk-liuk dengan gesit, seolah-olah menari di atas panggung dalam kandang yang berukuran sedang. Gerakan mereka yang lincah menjadi daya tarik setiap pengunjung yang melihatnya.

Selain itu, tempat ini menyajikan beragam pilihan makanan dan minuman, mulai dari makanan tradisional hingga inovasi kuliner modern. Melalui spanduk-spanduk yang terpajang, para pedagang mempromosikan hidangan yang mereka jual, sementara aroma lezat yang memenuhi udara mampu menggoda para pengunjung di sepanjang jalan.

Tidak heran, sejak pukul 17:00 WIB tempat ini dipadati oleh para pecinta kuliner. Saat malam tiba, barisan tenda-tenda tertata rapi dengan lampu-lampu lampion yang menyala di dalamnya, sehingga mempercantik suasana dan memberi warna pada jalanan.

Dibalik Ular-Ular yang terjual 

Ular-ular yang digunakan merupakan hasil tangkapan liar dari Jawa melalui sistem terorganisir yang memanfaatkan layanan agen pengiriman hewan. Arief menjelaskan bahwa hasil ularnya dari penangkapan liar dari jawa yang dikirim sebanyak 30 ekor waktu kurang dari seminggu dan minimal 5 ekor ular. 

“Ular-ular hasil penangkapan liar dari jawa, ada agennya. Dalam waktu kurang dari seminggu, mampu mengirimkan 30 ekor ular, paling minimal 5 ekor ular,” ujarnya sambil meracik bumbu, Jumat (15/11).

Dibalik itu, pedagang sering kali mengalami insiden gigitan ular terutama ular cobra yang dapat merusak jaringan saraf sehingga mengakibatkan gejala seperti mati rasa, nyeri hebat, bahkan kelumpuhan otot serta pernapasan. Hal tersebut, dikarenakan bisa ular kobra mengandung racun yang sangat berbahaya yaitu neurotoxin dan haemotoxin. 

Untuk menangani gigitan itu, Arief mengandalkan pertolongan pertama dengan cepat. Pertama-tama, bekas gigitan tersebut dibeset atau di silet sampai darahnya mengalir keluar. Hal tersebut untuk mengurangi jumlah racun yang masuk kedalam tubuh. Darah yang keluar lancar dapat dilanjutkan proses pengobatannya. 

Namun, darah yang terhenti ditindaklanjuti dengan penyedotan oleh orang lain untuk membantu mengeluarkan racun dalam tubuh. Racun dalam ular berbisa itu dapat menular apabila mereka memiliki penyakit dalam, seperti sariawan dan sakit gigi. Setelah pertolongan pertama, orang tersebut harus segera mendapatkan perawatan medis lebih lanjut di Karawang. 

Berjualan obat tradisional seperti ini dapat memberikan risiko yang tinggi bagi penjual dalam menjalankan usaha mereka. Dengan ketangguhan dan keberanian pedagang terhubung pada hewan berbisa memberikan bukti yang nyata dalam pengabdian terhadap tradisi dan kepercayaan masyarakat terkait khasiat ramuan darah ular kobra serta hal lain dari turun-temurun lainnya. 

Penulis : Kuni Hanifah

Editor: Rista
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS