PARBOABOA, Jakarta – Orang tua sejatinya adalah teladan dalam menghadapi berbagai masalah, termasuk konflik anak-anak.
Sikap dewasa mereka diharapkan menjadi panutan agar anak-anak belajar mengatasi konflik dengan bijaksana.
Sayangnya, hal ini justru diabaikan oleh Ivan Sugianto, yang memilih menghadapi permasalahan anaknya dengan cara yang mencederai nilai-nilai pendidikan dan etika.
Ivan, pengusaha diskotik asal Surabaya, menjadi sorotan publik setelah bertindak kasar terhadap seorang siswa SMA yang berselisih dengan anaknya.
Bukan mencari penyelesaian yang damai, Ivan diduga melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dengan memaksa siswa bernama EH sujud sambil menggonggong di hadapan orang tuanya dan orang lain.
Tindakan ini terekam dalam video berdurasi 2 menit 33 detik yang kemudian viral di media sosial, memicu kecaman luas dari warganet.
Kejadian tersebut berlangsung pada 21 Oktober 2024, di depan gerbang SMA Kristen Gloria 2, Surabaya.
Ivan disebut marah besar setelah anaknya, AL, siswa SMA Cita Hati, diejek oleh EH usai pertandingan basket.
Alih-alih mengedepankan dialog, Ivan memilih datang ke sekolah bersama beberapa pria berbadan tegap dan memaksakan kehendaknya, mempermalukan EH di hadapan banyak orang.
Ibu EH bahkan dilaporkan pingsan karena syok melihat anaknya diperlakukan seperti itu. SMA Kristen Gloria 2 pun mengajukan laporan resmi ke Polrestabes Surabaya atas tindakan persekusi yang dialami EH.
Polisi bertindak cepat, menangkap Ivan di Bandar Udara Juanda, Sidoarjo, dan menetapkannya sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak serta Pasal 335 ayat 1 butir 1 KUHP.
Ivan terancam hukuman hingga tiga tahun penjara.
Catatan Kasus
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia menunjukkan fluktuasi yang cukup signifikan.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), pada tahun 2019 terdapat 11.057 kasus kekerasan terhadap anak.
Angka ini meningkat pada tahun 2020 menjadi 11.278 kasus, menunjukkan tren yang tetap tinggi meski tidak mengalami lonjakan besar.
Namun, pada tahun 2021, jumlah kasus kekerasan terhadap anak melonjak tajam menjadi 14.517 kasus, yang menunjukkan adanya peningkatan sebesar lebih dari 3.000 kasus dibandingkan tahun sebelumnya.
Peningkatan ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk peningkatan pelaporan serta efektivitas sistem pendataan yang lebih baik.
Tren peningkatan ini terus berlanjut pada tahun 2022, di mana tercatat sebanyak 21.241 kasus kekerasan terhadap anak, yang merupakan angka tertinggi dalam periode lima tahun terakhir.
Sementara tahun 2023 menunjukkan sedikit penurunan dibandingkan tahun 2022, dengan total 15.120 kasus, menurut data dari
Penurunan ini dapat diinterpretasikan sebagai hasil dari upaya peningkatan pencegahan kekerasan serta perbaikan sistem pelaporan.
Memasuki tahun 2024, menurut SIMFONI-PPA, data hingga November menunjukkan bahwa jumlah kasus kembali naik menjadi 22.621.
Angka ini sudah melampaui jumlah kasus pada tahun 2022, menandakan bahwa kekerasan terhadap anak masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian dan tindakan yang lebih efektif.
Keterpurukan Mental
Kekerasan terhadap anak masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Berbagai studi menunjukkan, meski seringkali tak terlihat, dampaknya dapat menghancurkan perkembangan fisik dan mental anak.
Orang tua yang menggunakan kekerasan fisik, seperti memukul atau melempar benda keras, mungkin berpikir bahwa itu bagian dari disiplin.
Namun, tindakan ini meninggalkan luka fisik dan trauma emosional yang mendalam.
Bahkan kata-kata kasar, ancaman, atau pengabaian dapat merusak rasa aman dan kepercayaan diri anak, membuat mereka merasa terisolasi dan tidak berharga.
Tidak hanya kekerasan fisik dan emosional, kekerasan seksual terhadap anak juga masih terjadi dan sering kali tersembunyi.
Ini bisa berupa sentuhan yang tidak diinginkan atau paparan konten seksual yang tidak pantas.
Banyak anak yang tidak memahami bagaimana melindungi diri mereka, sementara orang tua mungkin tidak menyadari tanda-tanda peringatan.
Edukasi tentang bagian tubuh yang bersifat pribadi serta hak anak atas keselamatan perlu ditekankan di rumah dan sekolah.
Sering kali diabaikan, penelantaran juga termasuk kekerasan terhadap anak. Setiap anak berhak mendapatkan perhatian dan kasih sayang.
Ketika kebutuhan dasar ini diabaikan, anak-anak bisa menderita secara fisik dan emosional.
Dampaknya dapat terlihat dalam penurunan kemampuan kognitif, sulit berkonsentrasi, hingga performa akademik yang buruk.
Anak-anak yang tumbuh tanpa perhatian cukup cenderung merasa kesepian dan kesulitan menjalin hubungan sosial.
Dalam jangka panjang, pengalaman kekerasan dapat mengganggu kemampuan anak dalam membentuk hubungan yang sehat saat dewasa.
Trauma yang mereka alami sering kali mengakibatkan kegagalan dalam menjalani hubungan yang harmonis.
Dampak fisik seperti luka atau cedera mungkin sembuh seiring waktu, namun luka psikologis bisa bertahan seumur hidup.
Bahkan, kasus kekerasan yang parah bisa berakhir tragis dengan kematian korban.
Trauma yang disebabkan kekerasan pada anak bisa mengarah pada gangguan mental yang berkepanjangan.
Depresi, kecemasan, dan kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri adalah beberapa dampak yang sering muncul.
Tak jarang, anak-anak yang mengalami kekerasan beralih pada alkohol atau narkoba sebagai pelarian.
Mereka yang mengalami trauma masa kecil juga cenderung mengulangi pola tersebut di masa depan, membentuk lingkaran kekerasan yang sulit diputus.
Editor: Norben Syukur