PARBOABOA, Jakarta - Masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal kembali terjadi di Indonesia selama beberapa bulan terakhir.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) melaporkan sebanyak 63.947 tenaga kerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) selama periode Januari hingga Oktober 2024.
Angka ini tersebar di berbagai provinsi di Indonesia, dengan DKI Jakarta mencatatkan jumlah PHK tertinggi.
Berdasarkan laporan Satu Data Kemnaker pada Minggu (17/11/2024), Provinsi DKI Jakarta menyumbang 22,68 persen dari total jumlah tenaga kerja yang di-PHK.
"Selama Januari-Oktober 2024 tercatat sebanyak 63.947 orang tenaga kerja yang ter-PHK. Provinsi DKI Jakarta menjadi wilayah dengan jumlah PHK tertinggi yaitu mencapai 22,68 persen dari jumlah tenaga kerja yang terdampak," tulis situs tersebut.
Beberapa provinsi mencatat angka PHK yang signifikan, dengan lebih dari 10.000 tenaga kerja terdampak.
Adapun tiga provinsi dengan jumlah PHK tertinggi, antara lain DKI Jakarta yakni sebanyak 14.501 tenaga kerja, Jawa Tengah 12.489 tenaga kerja dan Banten sebanyak 10.702 tenaga kerja.
"Provinsi lain juga melaporkan angka PHK meskipun berada di bawah 10.000 tenaga kerja, seperti Jawa Barat (8.508), Jawa Timur (3.694), DI Yogyakarta (1.245) tenaga kerja."
Setelah Yogyakarta, ada Provinsi Riau (1.068), Bangka Belitung (1.894), Sulawesi Tengah (1.812), dan Sulawesi Tenggara (1.156). Beberapa provinsi lain mencatatkan laporan PHK dengan jumlah di bawah 1.000 tenaga kerja.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, menyebut terdapat tiga sektor dengan PHK tertinggi.
Sektor pertama adalah industri pengolahan di mana lebih dari 28.021 tenaga kerja terkena dampak, termasuk pekerja di industri tekstil.
Kemudian, sektor yang lain adalah aktivitas jasa dengan 15.572 tenaga kerja yang terdampak dan sektor perdagangan besar dan eceran (ritel) dengan jumlah 8.399 tenaga kerja.
"Ada 3 sektor PHK tertinggi. Pengolahan sebanyak 28.021. Aktivitas jasa lainnya sebanyak 15.572. Terakhir, sektor perdagangan besar dan eceran tercatat sebanyak 8.399," jelas Indah.
Data ini menggambarkan situasi ketenagakerjaan yang cukup memprihatinkan sepanjang 2024, terutama di daerah-daerah dengan konsentrasi industri tinggi.
Indah mengungkapkan bahwa ada sejumlah faktor yang memicu tingginya angka PHK. Salah satu penyebab utamanya adalah penurunan ekspor serta meningkatnya impor di dalam negeri.
“Pada dasarnya, perusahaan kesulitan bertahan dalam persaingan bisnis. Penurunan ekspor terjadi karena kondisi ekonomi di negara lain yang kurang stabil, ditambah situasi global seperti konflik perang, serta serbuan produk impor ke pasar domestik,” jelas Indah awal Oktober lalu.
Kendati demikian, ia memastikan bahwa hak-hak pekerja yang terdampak PHK tetap terpenuhi oleh perusahaan.
"Apabila hak-hak tersebut tidak dipenuhi, maka persoalan ini akan berlanjut ke ranah perselisihan hubungan industrial," tegasnya.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Indah menyampaikan perlunya pendekatan menyeluruh yang mencakup pembenahan strategi bisnis korporasi dan dukungan kebijakan ekonomi makro.
“Upaya pencegahan PHK harus dilakukan secara komprehensif, mulai dari reformasi strategi bisnis perusahaan hingga dukungan kebijakan ekonomi makro,” tuturnya.
Lesunya sektor manufaktur di Indonesia menjadi perhatian dalam beberapa bulan terakhir. Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia untuk September mencatat angka 49,2 yang berarti masih berada di zona kontraksi.
Hal ini menandai kontraksi selama tiga bulan berturut-turut sejak Juli 2024. Ambang batas pertumbuhan PMI manufaktur berada di angka 50, dan hasil di bawah level ini menunjukkan kontraksi.
Paul Smith, Direktur Ekonomi S&P Global Market Intelligence, menilai kinerja sektor manufaktur Indonesia yang lemah dipengaruhi kondisi makro ekonomi global yang sedang lesu pada September.
“Penurunan tercepat pada penjualan eksternal dalam hampir dua tahun,” ungkapnya dalam siaran pers yang diterima pada Selasa (01/10/2024) lalu.
Meski begitu, sektor manufaktur mencatat sedikit peningkatan pada jumlah lapangan kerja. Hal ini didorong oleh optimisme perusahaan yang berharap kondisi operasional pabrik akan segera stabil.
Pemerintah diharapkan dapat segera mengatasi permasalahan tersebut melalui kebijakan yang mendukung stabilitas pasar tenaga kerja dan perlindungan bagi karyawan.
Editor: Defri Ngo