PARBOABOA - Pasangan suami-istri itu sedang dalam perjalanan dari Bengkulu ke Semarang hari itu. Soalnya, besoknya, Sabtu, 15 Agustus 2023, anak yang mereka banggakan bakal wisuda di Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro. Ternyata betapa terperanjat dan hancurnya hati mereka setiba di kota tujuan.
Sang putra, Muhammad Farhan Somi Putra, telah mengakhiri hidupnya. Sehari sebelum wisuda ia telah gantung diri di pojok lapangan tembak milik Kodam Diponegoro yang terletak di Kelurahan Tembalang, Kecamatan Tembalang, Semarang. Jenazahnya ditemukan warga yang sedang menggembala.
Sebab apa anak hukum angkatan 2019 itu menyudahi hidup? Ada rumor bahwa ia patah hati karena telah ditolak seorang perempuan. Tapi, itu dibantah oleh seseorang yang mengenal keluarga tersebut dengan baik.
“Farhan nggak punya riwayat pacaran. Memang anaknya pendiam dan nggak ekspresif,” ucap seorang narasumber kepada Parboaboa. Ia kenalan lama yang tetap menjaga hubungan dengan keluarga itu.
Ternyata, sebelum bunuh diri di kamar kos yang sudah dirapikannya lebih dahulu Farhan meninggalkan pesan untuk ayah-ibunya.
“Sampai dia bilang: ‘Ini kan yang papa-mama: mau aku jadi sarjana hukum. Udah. Wisudanya silakan. Kan papa-mama yang mau wisuda, silakan.’ Jadi, begitu dia cara menanamkan rasa bersalah ke orang tuanya,” ungkap narasumber itu.
Bermukim di Bengkulu, ayah-ibu Farhan doktor. Seperti istrinya, sang ayah dosen. Tapi, belakangan ia menjadi pengacara. Dia menghendaki putranya itu menjadi sarjana hukum meski minat anak itu sedari kecil lebih ke teknik. Ia kerap menekankan bahwa Farhan nanti harus lebih hebat dari dia dan karena itu mesti masuk perguruan tinggi negeri.
Tak bisa menolak, Farhan—lahir di Palembang pada 10 Februari 2002—yang cenderung pendiam dan terbiasa menjalankan arahan orang tuanya pun masuk fakultas hukum Undip lewat jalur mandiri.
Dalam tempo 4 tahun ia memang sudah menuntaskan studinya. Ternyata, akhirnya lara yang luar biasa. Ia memberi perhitungan yang tak terperikan ke ayah-ibunya justru sehari sebelum saat membanggakan tiba: wisuda.
“Dia meninggalkan rasa sakit yang luar biasa pada mama-papanya dan pada saya sebagai pribadi.”
Bertubi-tubi
Kabar mahasiswa bunuh diri di Semarang bertubi-tubi datang setelah kematian Farhan Somi Putra. Entah mengapa demikian.
Pada 16 September 2023 petang Alvina Nur Insyani (19) melompat dari lantai 6 gedung parkir kampusnya, di Universitas Semarang (USM). Sempat dirawat di rumah sakit, mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi kemudian meninggal.
Giliran Anada Nadaa yang mengakhiri hidupnya, kemudian. Pada 1 Oktober 2023 ia menjatuhkan diri dari lantai 4 Mal Paragon, Semarang. Sebelum melakukan aksinya, mahasiswi Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang (Unnes) meninggalkan sepucuk surat untuk Mom-nya (ibu).
Dalam tulisan yang bercampur bahasa Inggris itu ia minta maaf karena tak sekuat yang disangka. Ia juga bilang dirinya punya hadiah ulang tahun untuk Mom yang sebenarnya ingin disampaikannya sendiri dan berterima kasih karena telah dipikirkan selama ini. Di penghujung ia minta maaf karena telah membuat ibunya berduka. Pula, ia minta didoakan.
Datang dan datang lagi kabar duka dari Semarang. Pada 11 Oktober 2023 Eca, mahasiswa semester akhir di jurusan manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang, ditemukan sudah tak bernafas dalam kamar kosnya yang terkunci. Perempuan berusia 24 tahun yang IPK terakhirnya 3,6 meninggalkan surat perpisahan.
Dalam satu surat ia meminta agar kematiannya tak usah diviralkan dan dicari tahu sebabnya. Ia mengatakan dirinya yang sudah capek hidup di dunia bahagia dengan pilihan ini dan minta maaf ke orang tercinta. Sedangkan dalam surat yang satu lagi ia minta maaf ke orang tuanya dan meminta mereka tak bersedih sebab ia sendiri bahagia dengan jalan pintas tersebut.
Setelah menyelidiki kasus, Polda Semarang kemudian menyatakan mereka menduga Eca bunuh diri akibat masalah pekerjaan dan pinjaman online (pinjol).
Tahun lalu, 2023, mahasiswa Semarang yang berpanggilan Farhan, Alvina, Anada Nadaa, dan Eca secara beruntun telah mengakhiri hidupnya. Maka, makin panjanglah daftar bunuh diri mahasiswa di kota lumpia.
Sebelumnya, pada 2 September 2022, seorang mahasiswi baru Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang menjatuhkan diri dari lantai 9 apartemen Alton Semarang. Katherine Ann Saunders namanya, ia berasal dari Bogor. Perempuan berusia 19 ini meloncat dari kamar terkunci yang disewa pacarnya yang juga mahasiswa baru.
Sang pacar saat itu sedang mengikuti kuliah di kampus Undip.
Kejadian ini mengingatkan warga Semarang pada sebuah peristiwa serupa 4 tahun sebelumnya.
Pada Rabu 3 Januari 2018, seorang mahasiswa Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro juga bunuh diri dengan cara meloncat dari jendela sebuah kamar di lantai 8 Hotel MG Suites. Michelle Gloria Sondakh namanya. Pencapaiannya di kampus gemilang. Lulus ujian skripsi pada 26 Oktober 2017 dengan nilai A, sedianya ia akan wisuda pada Januari 2018. Dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sangat tinggi a pun sempat menjadi asisten dosen untuk praktik Kimia Dasar dan Bio Kimia di kampusnya.
Obat penghilang depresi jenis Aprazolam ada di kamar hotel Michelle Gloria Sondakh kala itu. Sebab itulah polisi langsung berkesimpulan bahwa perempuan pendiam itu bunuh diri.
Rupanya, kisah lara mahasiswa yang menyudahi hidup di Semarang belum berakhir. Pada Senin 12 Agustus 2024 seorang mahasiswa Program Pendidikan Spesialis Dokter (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif di Universitas Diponegoro meninggal dunia di kamar kosnya.
Risma Lestari bunuh diri dengan menyuntikkan obat bius jenis Roculax ke tubuhnya. Sebabnya? Ia menyatakan tak tahan terhadap perundungan (bullying) selama mengikuti PPDS. Di dalam diary yang ditinggalkannya, kepahitan akibat bully itu dituliskannya. Lahir tahun 1994, Risma Lestari menjadi dokter di RSUD Kardinah, Tegal, Jawa Tengah, selulus dari Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, pada 2011.
Lantas pada 4 Oktober datang lagi kabar mengejutkan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes). Mahasiswa mereka, Very Ivandi Sinaga, mengakhiri hidupnya di tempat kos. Caranya? Melilit leher dengan kabel wi-fi yang digantung di kusen. Di buku diary ia menuliskan pesan untuk orang tuanya dan yang lain yang menyayangi dia.
Di antara semua kasus bunuh diri mahasiswa di Semarang dalam beberapa tahun terakhir, yang paling banyak diperbincangkan khalayak luas adalah kasus Aulia Risma Lestari. Program pendidikan dokter spesialis dalam negeri pun seketika mendapat sorotan di mana-mana. Para senior lantas dipersalahkan karena dianggap mengojjlok terlalu keras.
Sebagai catatan, sejak awal Januari hingga penghujung 2024 saja Polda Jawa Tengah telah menangani 281 pelaku bunuh diri. Pada periode itu di Indonesia, di provinsi inilah paling banyak kasus orang menghabisi dirinya sendiri. Tentu, tak hanya mahasiswa pelakunya.
Darurat
Bunuh diri mahasiswa dalam beberapa tahun terakhir tentu saja tak hanya terjadi di Semarang tapi juga di kota lain di negeri kita. Di tahun 2024 ini, misalnya, ada serentetan kasus. Keadaan sudah terbilang darurat, sesungguhnya. Sebab itu, gerakan diperlukan untuk mengakhirinya. Berikut ini ikhtisar sejumlah kasus.
Kampus Telkom University Bandung geger. Pasalnya seorang mahasiswa mereka dari jurusan Desain Komunikasi Visual, angkatan 2020, ditemukan tewas pada Minggu malam, 2 Juni 2024. Ia mengakhiri hidupnya di kamar kos di Desa Sukapura, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Kapolresta Bandung, Kombes Pol Kusworo Wibowo, mengidentifikasi korban sebagai MJI (23), warga Kota Denpasar.
Duka kembali menyelimuti Telkom University. AR, mahasiswa Fakultas Informatika Program Studi S1 Teknik Informatika angkatan 2014, ditemukan gantung diri pada 21 Juli. Selama ini mahasiswa semester akhir tersebut dikenal sebagai pribadi ramah dan tanpa masalah.
Manajer Kemahasiswaan Tel-U, Soni Sandono, menyebutkan AR meninggalkan sepucuk surat terkait masalah pribadinya dengan perkuliahan.
Seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) angkatan 2021 ditemukan meninggal dengan cara gantung diri di kamar kosnya pada 14 Agustus. Belum sempat menyelesaikan skripsi, ia sudah mengakhiri hidupnya.
Sharlene Namira Valencia (20), mahasiswi Universitas Ciputra, juga melakukan tindakan nekat. Di kampusnya pada Rabu pagi, 18 September 2024 ia melompat dari Lantai 22 Gedung UC Center.
Pada malam sebelum kejadian ia sempat mengirim pesan WhatsApp kepada mantan kekasihnya. Keesokan paginya, ia datang ke kampus dan menuju bagian atas gedung.
Seorang mahasiswa Universitas Kristen Petra, Surabaya, ditemukan tak bernyawa di pelataran Gedung Q kampusnya di Siwalankerto pada Selasa, 1 Oktober 2024 pukul 10.45 WIB. Ia bunuh diri.
Giliran Universitas Tarumanegara, Jakarta, yang kemudian berduka. Seorang mahasiswi mereka yang berusia 18 tahun mengakhiri hidupnya setelah sempat dicegah oleh satpam kampus, pada 4 Oktober.
Berdasarkan rekaman CCTV, korban terlihat menuju lantai 6B dari lobi kampus pada pukul 17.30.
Seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB) juga bunuh diri. Mahasiswa prodi manajemen itu ditemukan tewas gantung diri di kediamannya. Tidak kuliah sejak 2022 karena kendala ekonomi, ia adalah anak kedua dari empat bersaudara.
Tragedi demi tragedi ini mengguncang kalangan pendidikan dan menimbulkan banyak pertanyaan tentang kesehatan mental mahasiswa. Apa saja yang bisa dilakukan agar hal serupa tidak terjadi dan terjadi lagi?
Otopis Psikologis
Nova Riyanti Yusuf (Noriyu) yang melakukan otopsi psikologis dalam kasus bunuh diri Risma Melati, mahasiswa Program Pendidikan Spesialis Dokter (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif Universitas Diponegoro yang meninggal dunia di kamar kosnya.
Kelihatannya, menurut Noriyu, Risma Melati punya segalanya. Jadi, bukan berkekurangan. Tempat kosnya saja dua. Kalau sedang capek di sini bisa pindah ke sana. Keluarganya sendiri bermukim di Tegal.
”Kan saya yang otopsi kemarin. Kita sih ngelihatnya dia punya segalanya. Tapi dia ngerasa dia nggak ada jalan keluar. Ibunya melarang mundur. Fisik dia terdampak. So, dia nggak punya way out. Itu…Jadi dia mau mundur, orang tuanya nggak boleh. Nah terus mau gimana? Sedangkan dia nggak tahan sama program itu. Makanya awalnya kan ibunya maunya kasusnya ditutup aja,” ungkap psikiater yang pernah menjadi anggota DPR dan kini merupakan Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional (PKJN) Rumah Sakit Jiwa dr. H. Maerzoeki Mahdi, Bogor, kepada Parboaboa.
Artinya, bukan bully semata yang membuat Risma Melati akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidup. Memang, tak ada penyebab tunggal dalam setiap kasus bunuh diri.
Bersambung...
Reporter: Rin Hindryati dan P. Hasudungan Sirait
Editor: Hasudungan Sirait