Krisis Iklim Tak Boleh Ditangani dengan Skema Dagang

Ilustrasi penanganan krisis iklim melalui skema dagang. (Foto: Dokumen WALHI)

PARBOABOA, Jakarta - Indonesia telah menegaskan komitmennya dalam menangani krisis iklim melalui berbagai langkah strategis.

Tentu, salah satu yang dibutuhkan adalah menyiapkan upaya-upaya konkret dalam mitigasi dan adaptasi, serta merancang kebijakan yang mendukung transisi energi bersih dan pemulihan ekosistem.

Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI menilai, pemerintah cenderung mengambil pendekatan yang berbeda dalam upaya penanganan krisis iklim, yaitu melalui skema dagang.

WALHI mengungkapkan hal itu, mengacu pada pidato Hashim Djojohadikusumo, utusan khusus Presiden Prabowo Subianto sekaligus Kepala Delegasi Republik Indonesia (Delri) untuk iklim dan energi pada Konferensi Perubahan Iklim PBB atau Conference of Parties (COP) ke-29 di Baku, Azerbaijan belum lama ini.

Kata mereka, Hashim lebih menekankan potensi bisnis di balik solusi iklim, seperti skema kredit karbon, teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS), serta pentingnya pendanaan internasional untuk proyek reforestasi.

Alih-alih menyampaikan langkah nyata Indonesia dalam pengurangan emisi dan perlindungan masyarakat dari ancaman iklim, pidato tersebut lebih berfokus pada keuntungan dan potensi ekonomi. 

Hal ini, kata WALHI, membuat Indonesia terkesan lebih mengutamakan skema dagang ketimbang menunjukkan komitmen ambisius dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, yang seharusnya menjadi prioritas utama di forum sebesar ini.

"Hampir tak ada pernyataan serius-ambisius terkait upaya pemerintah dalam penurunan emisi serta perlindungan rakyat dari dampak krisis iklim, tegas WALHI dalam keterangan resmi mereka pada Kamis, (14/11/2024).

Menurut mereka, hal ini juga memperlihatkan adanya konflik kepentingan sehingga pemerintah lebih mendorong perdagangan krisis iklim ketimbang menghadapi langsung akar masalahnya, yaitu emisi dari industri ekstraktif.

Dengan kata lain, upaya memperdagangkan karbon tampak digunakan untuk menutupi jejak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh korporasi besar, yang seringkali dimiliki oleh pengusaha-politisi.

Dalam praktiknya, bisnis karbon hadir melalui konsesi dan perdagangan karbon serta teknologi dekarbonisasi seperti CCS/CCUS, yang sebagian besar dimiliki oleh perusahaan-perusahaan raksasa. 

Ironisnya, perusahaan-perusahaan tersebut justru kerap terlibat dalam aktivitas perusakan lingkungan melalui pembukaan lahan hutan untuk perkebunan monokultur, ekstraksi sumber daya alam seperti batubara dan gas, serta pembangkit listrik berbasis energi fosil.

Di Indonesia, contoh korporasi besar seperti Saratoga, Adaro, dan Harita Group memiliki kendali atas konsesi karbon dan bisnis dekarbonisasi. 

Adaro, misalnya, yang dikenal dengan bisnis utama di bidang energi dan pertambangan, Kata WALHI, kini memiliki konsesi restorasi ekosistem dan penyimpanan karbon melalui anak perusahaan seperti PT Hutan Amanah Lestari dan PT Alam Sukses Lestari.

Tak hanya itu, menurut WALHI, Hashim dan Prabowo sendiri dinilai memiliki konflik kepentingan dalam promosi potensi bisnis karbon di Indonesia. 

Keduanya diduga terkait dengan sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang karbon, seperti PT Bumi Carbon Nusantara, PT Karbonesia Global Artha, PT Infinite Earth Indonesia, dan PT Carbon Vebra Gemilang. 

Melalui keterlibatan mereka, terdapat kekhawatiran bahwa promosi karbon yang mereka lakukan bisa jadi lebih berorientasi pada keuntungan bisnis pribadi daripada tujuan lingkungan.

Nama seperti Glory Harimas Sihombing yang menjabat sebagai salah satu pemegang saham di PT Karbonesia Global Artha juga memiliki peran penting lainnya. 

Glory diketahui adalah direktur konservasi di PT Agrinas dan juga Ketua Dewan Pembina Indonesia Food Security Review, organisasi yang mengkampanyekan program makan siang bergizi dari pasangan Prabowo-Gibran. 

WALHI berkata, peran ganda ini menambah kompleksitas dalam melihat keterkaitan bisnis karbon dengan program-program lain yang dipromosikan secara publik oleh lingkaran dekat Prabowo.

Kontradiksi Pidato Hashim

WALHI juga menilai, Pidato Hasyim mengandung banyak kontradiksi. Di satu sisi, dia menegaskan bahwa pemerintahan Prabowo berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga mencapai net zero pada 2060. 

Namun, disisi lain, pemerintah juga menetapkan target pertumbuhan ekonomi yang ambisius, yaitu lebih dari delapan persen per tahun. 

WALHI menegaskan, pola ekonomi berorientasi pertumbuhan seperti ini, hampir pasti akan menghasilkan emisi karbon yang sangat besar.

"Misalnya saja hilirisasi nikel yang tetap akan digenjot akan menghancurkan hutan-hutan di Sulawesi dan Maluku," kata WALHI.

Begitu pula pembangunan food estate dan perkebunan tebu di Papua, yang dapat menghancurkan sekitar satu juta hektar hutan. 

Selain itu, target peningkatan hingga 100 persen biodiesel berbahan dasar minyak kelapa sawit, serta operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam berbagai bentuknya, baik yang terhubung dengan jaringan listrik nasional, captive, maupun co-firing, tetap dipertahankan.

Sementara itu, percepatan energi terbarukan yang dijanjikan justru bergantung pada model bisnis energi yang dapat memicu konflik baru atas tanah dan sumber-sumber penghidupan rakyat. 

Dalam sepuluh tahun terakhir saja, di bawah pemerintahan Jokowi yang mendorong ekspansi industri ekstraktif, tegas WALHI, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai sekitar 5 persen.

Itulah sebabnya, mereka membayangkan betapa cepat dan masifnya eksploitasi serta kerusakan lingkungan yang akan terjadi jika target pertumbuhan ini menjadi fokus utama pemerintahan yang akan datang.

Dalam pidatonya, Hashim mengakhiri dengan menyebut tiga faktor utama yang diperlukan untuk menjalankan komitmen pemerintah, yaitu kebijakan pertumbuhan hijau yang komprehensif, investasi sebesar 2035 miliar USD, dan kerja sama internasional. 

Pernyataan penutup ini, menurut WALHI memperjelas tujuan pemerintah Indonesia untuk menjalin kemitraan dengan pelaku bisnis iklim di tingkat global.

Lantas, WALHI berpendapat, pemerintah Indonesia gagal melindungi keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup di tengah krisis iklim yang semakin mengancam.

Karena itu, langkah mendesak yang harus segera dilakukan adalah:

Pertama, mengurangi emisi karbon dari sektor industri ekstraktif, dengan cara menghentikan penerbitan izin baru, mengevaluasi dan mencabut izin perusahaan yang bermasalah atau berada di area ekosistem penting seperti hutan, gambut, pesisir, pulau kecil, dan kawasan karst. 

Selain itu, percepat penghentian operasional PLTU batubara dan hentikan proyek energi biomassa yang dianggap sebagai solusi palsu, serta hentikan proyek food estate yang merusak ekosistem gambut.

Kedua, perlu mempercepat dan memperluas pengakuan serta perlindungan hak rakyat atas wilayah kelola dan ruang hidup mereka, sehingga masyarakat dapat mempertahankan dan mengelola lingkungannya secara berkelanjutan.

Ketiga, pemulihan ekosistem yang rusak harus menjadi prioritas, dengan menempatkan tanggung jawab tersebut pada pemerintah dan korporasi yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan selama ini.

Keempat, meningkatkan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan krisis iklim, dengan melindungi wilayah-wilayah penting yang mendukung kehidupan.

Pengakuan terhadap pengetahuan lokal dan metode tradisional masyarakat dalam konservasi, adaptasi, dan mitigasi iklim juga harus didorong sebagai bagian dari solusi.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS