PARBOABOA, Jakarta - Di bawah kepemimpinan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pembangunan infrastruktur menjadi salah satu fokus utama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Salah satu aspek penting dari kebijakan infrastruktur Jokowi adalah perhatian khusus terhadap daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Pembangunan infrastruktur di daerah 3 T menjadi krusial untuk mengatasi kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta untuk meningkatkan aksesibilitas dan konektivitas.
Bagi Jokowi, keterhubungan adalah kunci bagi negara kepulauan seperti Indonesia untuk bisa mencapai kesejahteraan.
Dengan terciptanya keterhubungan, aksesibilitas masyarakat semakin mudah. Pertumbuhan ekonomi pun diharapkan dapat terdongkrak secara signifikan.
Karena itu, tentu sangat beralasan jika pembangunan infrastruktur yang merata dan berkualitas, mulai dari jalan tol, pelabuhan, bandara, hingga transportasi, menjadi visi besar Jokowi untuk menciptakan keterhubungan di Tanah Air.
Selama 10 tahun kepemimpinannya, Jokowi mberhasil membangun 2.432 kilometer jalan tol dengan rincian 1.299 km pada periode 2015-2019 dan 1.133 km pada periode 2020-2024.
Artinya, setiap tahunnya, Jokowi berhasil membangun rata-rata sepanjang 270 km jalan tol.
Berbeda sebelumnya, Indonesia hanya membangun sekitar 780 km jalan tol dan rata-rata menyebar di pulau Jawa.
Jokowi pun berkomitmen, penambahan jalan tol tidak hanya berfokus di Pulau Jawa, melainkan harus menyebar ke seluruh pelosok tanah air.
Tujuannya, ingin menghapus anggapan bahwa pembangunan infrastruktur, termasuk jalan tol, pakai pendekatan Jawasentris atau pembangunan yang berpusat di Pulau Jawa.
Jokowi mengusung semangat Indonesiasentris untuk memajukan Tanah Air, termasuk wilayah-wilayah yang tertinggal, terdepan, dan terluar, yang dikenal sebagai 3T.
Infrastruktur Luar Jawa
Salah satu langkah signifikan di era Jokowi adalah pembangunan jalan dan jembatan di daerah 3 T.
Daerah-daerah, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Kalimantan, pembangunan infrastruktur, khususnya jalan raya, pelabuhan, dan bandara, telah memberi dampak yang signifikan khususnya di bidang ekonomi.
Sebab, keterbatasan infrastruktur sebelumnya telah membuat daerah-daerah ini terisolasi dan sulit untuk mengakses pasar.
Ketika wilayah-wilayah terpencil ini, mulai dibangun dan memiliki koneksi dengan pasar-pasar utama, akses terhadap barang dan jasa semakin mudah.
Peluang usaha baru pun tumbuh dan terbuka. Kemudian berujung pada terciptanya lapangan kerja, penurunan biaya logistik, dan merangsang terciptanya daya saing produk-produk lokal di pasar nasional maupun internasional.
Memang tidak bisa dihindari adanya anggapan di di masyarakat bahwa pembangunan jalan tol tidak tidak dirasakan langsung oleh semua masyarakat, apalagi masyarakat miskin.
Namun, pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, menciptakan kesempatan kerja dan mendorong peningkatan produktivitas.
Terkecuali, pekerja dan kontraktor lokal yang terlibat dalam proyek-proyek pembangunan ini, mungkin adalah pihak-pihak yang mendapatkan manfaat langsung.
Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), setidaknya 82 persen paket pekerjaan konstruksi digarap oleh penyedia jasa lokal atau kontraktor lokal pada 2022.
Memang perlu dipahami bersama bahwasanya, secara umum, transportasi hadir untuk memberikan kesempatan berkembang yang lebih baik kepada masyarakat dalam jangka panjang.
Kondisi jalan yang lebih bagus tentu akan mendukung waktu tempuh yang lebih pendek.
Lantas , masyarakat bisa memiliki banyak waktu untuk kegiatan lain yang bisa menghasilkan sesuatu.
Hal lain yang bisa dirasakan, adanya penekanan biaya logistik dan distribusi. Kondisi ini berdampak peningkatan perekonomian. Semua pihak menjadi “kenyang“.
Tantangan lain juga, adanya anggapan bahwa pembangunan jalan tol hanya memperkaya pihak swasta. Kenyataanya, jalan tol merupakan bagian rencana pemerintah.
Pada hal, pemerintah Indonesia mencanangkan hingga 2040, akan membangun 18.000 km jalan tol.
Tentu saja, target tidak bisa diselesaikan sendiri oleh pemerintah tetapi harus berkolaborasi dengan pihak swasta.
Keterlibatan pihak swasta, baik dalam investasi, pembangunan, maupun pemeliharaan, akan membuka peluang percepatan pembangunan infrastruktur.
Tentu saja dalam konteks ini, pemerintah harus selektif memilih pihak swasta. Hanya mereka yang masuk standar pelayanan minimal berkualitas saja yang diizinkan terlibat.
Meskipun begitu, pada akhir periode konsesi, seluruh jaringan jalan tol akan sepenuhnya menjadi milik pemerintah.
Sepuluh tahun memimpin,Jokowi hampir tidak pernah mengabaikan sektor swasta dalam mengeksekusi programnya, khususnya terkait infrastruktur.
Sebagai contoh Pembangunan Trans-Papua. Jalan ini hampir mustahil terlaksana tanpa adanya kebijakan yang melibatkan sektor swasta.
Dampaknya pun luar biasa dirasakan warga. Berkaca pada hasil independen yang dilakukan Core Indonesia, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), dan Prospera, selama satu dasawarsa, pemerintahan Jokowi begitu serius membangun jalan utama atau backbone, termasuk Trans-Papua.
Backbone ini menjalankan peran penting dalam distribusi barang dan jasa masyarakat sekitar.
Bapak Infrastruktur
Atas dedikasi Jokowi dalam bidang pembangunan infrastruktur di Tanah Air berujung pada penjulukan dirinya sebagai “Bapak Infrastruktur”.
Selain jalan tol, sepanjang 2015-2024, pemerintah melalui Kementerian PUPR juga berhasil membangun 5.999 km jalan nasional.
Adapun rinciannya, 3.842 km pada periode 2015-2019 dan 2.157 km pada periode 2020-2024.
Rincian jalan nasional yang telah dibangun adalah Jalan Perbatasan di Papua, Kalimantan, dan NTT, Jalan Trans-Papua dan Trans-Kalimantan, serta Jalan Lintas Selatan Jawa.
Harapan besar dengan pembangunan ini, meningkatkan konektivitas nasional, membuka keterisolasian kawasan, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan mendukung sistem logistik nasional.
Pada tahun 2018, Bank Dunia mencatat, biaya logistik di Indonesia masih berkisar di angka 23,8 persen.
Sedangkan, hasil studi terbaru dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), biaya logistik Indonesia turun mencapai 14,29 persen pada 2023.
Penurunan biaya tersebut tentu tak lepas dari ketersediaan akses jalan.
Bahkan untuk mendukung jalan nasional, pemerintah juga merampungkan pembangunan 125.904 km jembatan, 583 jembatan gantung, serta 27.673 flyover dan underpass selama sepuluh tahun belakangan ini.
Untuk mendukung seluruh upaya ini, Jokowi pun meneken Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2023 tentang Percepatan Peningkatan Konektivitas Jalan Daerah.
Dengan Inpres ini, pemerintah memiliki ruang untuk mengalokasikan anggaran senilai Rp 15 triliun guna pembangunan infrastruktur daerah, baik kota maupun kabupaten.
Inpres tersebut diharapkan dapat mengurai masalah yang dihadapi pemerintah daerah dalam pengelolaan jalan.
Dana Rp 15 triliun, tentu menjadi solusi bagi daerah yang kesulitan mengalokasikan anggaran pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur.
Diketahui penerapan Inpres itu dipantau secara langsung oleh Jokowi di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Selasa (1/10/2024).
Sementara pada 2023 saja, pemerintah telah membangun dan memperbaiki 27 ruas jalan sepanjang 217,9 km yang tersebar di 20 kabupaten di NTT. dengan anggaran Rp 723 miliar.
Ekosistem pembangunan infrastruktur Tanah Air ini sesungguhnya telah dimulai pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Regulasi-regulasi yang disusun telah selesai saat itu, langsung diimplementasikan oleh Jokowi.
Jokowi secara tegas minta jajarannya, termasuk level pemda, untuk bisa memastikan keterhubungan secara utuh.
Seluruh hasil pertanian, perkebunan, pertambangan, dan lain sebagainya harus terdistribusi dengan lancar.
Diketahui, saat ini, ada sejumlah wilayah lain yang belum seberuntung Jawa. Misalnya daerah penghasil kopi, di Kabupaten Manggarai, NTT.
Petani kopi di sana, hanya bisa memproduksi 40 kg kopi per hari. Jalan yang belum memadai, memaksa para petani harus memanggul sendiri hasil kebun mereka.
Harapannya, jika jaringan distribusi jalan sudah sampai ujung daerah produksi, penghasilan produsen dipastikan akan meningkat.
Pendekatan yang berfokus di seluruh wilayah Indonesia tentunya menjadi solusi untuk memastikan bahwa keterhubungan dapat dirasakan di seluruh penjuru Nusantara.
Walau demikian, tak bisa ditolak, soal tantangan yang ada di depan mata.
Pertama, pembiayaan yang menurun. Diketahui, Pagu anggaran Kementerian PUPR untuk pembiayaan infrastruktur pada 2025 hanya berada di angka Rp 116,23 triliun.
Anggaran ini lebih kecil ketimbang tahun sebelumnya yang menyentuh Rp 193 triliun.
Bagian kedua menyoroti kesiapan industri dalam meningkatkan kapasitas produksi serta mendistribusikannya dengan cepat dan efisien.
Keduanya memang masih bisa disiasati dengan bantuan pembiayaan swasta.
Selain itu, dengan kebijakan selektif untuk mendahulukan proyek yang lebih prioritas.
Hal yang tak kalah penting adalah bagaimana jaringan jalan, bandara, pelabuhan, dan stasiun dapat terhubung dengan kawasan industri.
Untuk satu dekade terakhir, pembangunan infrastruktur telah terbukti menjadi landasan penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Tantangannya anggaran dan kapasitas industri yang ada perlu solusi kreatif demi pemerataan di seluruh pelosok Nusantara.
Editor: Norben Syukur