Kala Demonstrasi Ditunggangi dan Diorder untuk Kepentingan Pribadi dan Kelompok

Ilustrasi demonstrasi di Indonesia. (Foto: PARBOABOA/Bina Karos )

PARBOABOA, Jakarta - Demonstrasi merupakan salah satu bentuk penyampaian aspirasi yang sah dan diakui di berbagai negara demokratis, termasuk Indonesia.

Aksi turun ke jalan ini kerap digunakan oleh masyarakat untuk menuntut keadilan, perubahan kebijakan, atau menolak kebijakan tertentu yang dianggap merugikan.

Namun, dalam perjalanannya, fenomena demonstrasi tidak lepas dari sejumlah tantangan. Salah satu isu yang sering mencuat adalah demonstrasi yang ditunggangi oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu yang memiliki agenda tersembunyi.

Peneliti Ketenagakerjaan, Hardi Wijaya pernah mengendus hal itu kala membaca motif demonstrasi hari buruh 14 Mei 2022 silam.

Ketika itu, massa demonstrasi menuntut pemerintah menurunkan harga-harga bahan-bahan pokok serta menolak kenaikan Pertalite dan gas elpiji 3 kg.

Menurut Hardi, hal ini tidak relevan mewakili suara para buruh karena tidak semua dari mereka diajak turun ke jalan.

Karena itu, alih-alih menyalurkan suara kaum lemah, ia melihat demonstrasi yang digerakkan oleh Presiden Partai Buruh itu, Said Iqbal sarat dengan kepentingan politik.

"Utamanya untuk mengangkat popularitas elite buruh," Kata Hardi dalam sebuah artikel.

Selain itu, pemerintah kata dia, saat itu sedang fokus melaksanakan program pemulihan ekonomi nasional atau PEN. 

Lantas, ketimbag melakukan demonstrasi, ia menyarankan peserta demonstran yang mengatasnamakan anggota buruh mengedepankan forum dialog sehingga tujuan pemerintah tidak terganggu.

Seharusnya "mereka bisa memaksimalkan forum lain agar bisa memperjuangkan haknya," tegasnya.

Lagipula, dalam demonstrasi tersebut agenda mereka disertai dengan permintaan pemakzulan pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Menurut Hardi, hal ini tentu mengaburkan fokus demonstrasi dan memunculkan kesan bahwa aksi tersebut sarat dengan nuansa politis.

Ia menegaskan, ketika ketidakpuasan terhadap seorang pemimpin muncul, menuntut pemberhentian jabatannya bukanlah solusi yang bijak. 

Pertanyaan kritis yang muncul, lanjut dia adalah "apakah tuntutan tersebut benar-benar demi kepentingan masyarakat atau justru digunakan sebagai panggung bagi pihak-pihak tertentu untuk meraih pengaruh politik"?.

Parboaboa dalam temuannya, menemukan fakta lain terkait demonstrasi. 

Di sana, demikian tulis media ini, demonstrasi lebih dari sekedar ditunggangi melainkan pesanan untuk kepentingan politik dan kepentingan bisnis para taipan besar.

Para pemesan demo biasanya menggunakan jaringan aktivis untuk menjaring massa, dengan bayaran yang telah disepakati dengan mereka yang menjadi koordinator.

Beberapa koordinator bahkan bercerita, demo pesanan ini telah menjadi hal yang lumrah dalam dunia politik dan bisnis.

Indra, sebut saja begitu, misalnya mengaku permintaan terhadap massa bayaran tidak pernah surut. "Jangankan sebulan sekali, ada nih seminggu tiga kali," katanya.

Saat mendapat pesanan, Indra biasanya mengatur mobilisasi massa sesuai dengan kriteria demografi yang diinginkan oleh pemesan, mencakup aspek seperti usia dan jenis kelamin. 

Di lapangan, ia menerapkan prosedur standar dengan menempatkan empat koordinator untuk setiap 100 orang. Para koordinator ini bertanggung jawab mengatur pergerakan massa secara langsung. 

Tugas di antara peserta juga dibagi, seperti memegang spanduk atau poster tuntutan. Semua hal terkait kelancaran demo, ia siapkan. Pihak pemesan hanya dibebani tanggung jawab mengurus perizinan resmi aksi ke pihak kepolisian.

Robert, seorang koordinator berpengalaman, juga telah lama mengelola demonstran bayaran dengan pendekatan yang lebih kompleks. 

Tidak hanya bertugas menggerakkan massa, ia juga membantu klien dalam mengelola dan menyusun isu agar terlihat lebih menarik dan tepat sasaran. 

Robert bahkan melakukan riset mendalam untuk mempertajam tuntutan yang akan disuarakan dalam unjuk rasa. Semakin kompleks isu yang diangkat, tarifnya pun meningkat. Meski masih bisa dinegosiasikan, kata dia, harga biasanya tidak akan turun terlalu jauh.

Sebagai informasi, di Indonesia, demonstrasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. 

Di sana ditegaskan, demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk menyuarakan pendapat mereka di ruang publik. 

Meski tidak ada larangan eksplisit tentang pembayaran untuk berpartisipasi dalam demonstrasi, terdapat aturan yang harus diperhatikan.

Beberapa ketentuan, misalnya menyebut demonstrasi dilarang dilakukan di lokasi tertentu, seperti Istana Kepresidenan, rumah sakit, tempat ibadah, bandara, pelabuhan, stasiun kereta, terminal, objek vital nasional, dan instalasi militer. 

Jika peserta demonstrasi melanggar hukum, seperti melakukan kekerasan, perusakan, atau menyebabkan kematian, sanksi hukum dapat diterapkan. Penanggung jawab demonstrasi yang melakukan tindak pidana juga menghadapi hukuman lebih berat dibanding peserta lainnya.

Demonstrasi yang menghalangi hak orang lain untuk menyampaikan pendapat dengan kekerasan dapat berujung pidana penjara hingga satu tahun. 

Di sisi lain, penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat dalam menangani unjuk rasa juga dapat melanggar hak asasi manusia atau HAM.

Oleh karena itu, penting bagi para demonstran untuk memahami aturan yang berlaku dan tidak sekadar mengikuti aksi tanpa mengetahui peraturannya.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS