Bantahan Keras terhadap Testimoni PC, Istri Ferdy Sambo

Pasangan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi di persidangan. (Foto: Instagram/@Putri Candrawathi)

PARBOABOA - Putri Candrawathi (PC) menyatakan dirinya telah menjadi korban pemerkosaan Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat saat di rumah Magelang. Hal itu diungkapkannya kepada Tim Komnas HAM-Komnas Perempuan yang memeriksanya di tahun 2022.

Hal serupa ia sampaikan kepada kami berdua dalam sebuah perbincangan yang tak disengaja di rumah penjara Jakarta tempat dirinya mendekam.

Sebagai jurnalis, tentu saja kami harus skeptis. Verifikasi harus ada. Untuk itu wawancara pendalaman, observasi, dan riset data kami lakukan berbulan-bulan sejak persuaan tak dinyana pada April 2023 itu. 

Sesuai standar jurnalisme, kami memilih narasumber berdasarkan derajat kompetensi. Artinya, semakin terlibat seseorang dalam sebuah peristiwa maka kian laik mereka untuk diwawancarai.

Selain PC dan beberapa orang dekatnya, kami juga menginterview psikolog dan psikiater yang menangani saat dia masih mengalami depresi dan trauma berat. Juga, seorang komisioner yang menjadi juru bicara Komnas Perempuan di masa itu. Lembaga ini menjadi bagian dari tim Komnas HAM yang memeriksa PC.

Kami tak mungkin mewawancarai Brigadir Yosua karena dia telah tiada. Adapun keterangan keluarganya dan orang-orang dekatnya, itu kemudian kami dapatkan dalam bentuk risalah—termasuk yang diunggah dalam Direktori Putusan Mahkamah Agung—dan video-video persidangan yang dihadirkan media massa dan netizen di YouTube.

Kami tentu berniat bercakap langsung dengan Ferdy Sambo. Permohonan lisan sudah kami sampaikan termasuk lewat PC tapi sampai sekarang pun tak kunjung ada jawabannya.

Kisah yang kami dapat langsung dari PC kami konfirmasi ke sejumlah kalangan termasuk ke Livia Iskandar yang di masa itu masih menjadi Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), psikolog keluarga Alissa Wahid, Albertina Ho, Sulistyowati Irianto, Yosep Stanley Adi Prasetyo, Todung Mulia Lubis, dan Asep Iwan Iriawan (pernah menjadi hakim, ia pakar hukum pidana). Ada juga yang kami hubungi tapi tak bersedia diwawancarai.

Pengacara terkemuka Gayus Lumbun, termasuk. Narasumber yang sudi bicara ada juga yang mensyaratkan off-the-record. Hal yang tentu saja kami patuhi karena sesuai dengan aturan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).

Tanggapan para narasumber itu aneka. Sebagian menolak keras versi PC. Berikut ini kami suguhkan beberapa penggalan hasil wawancara kami tersebut.

Prof. Dr. Sulistyowati Irianto

Ia pakar antropologi hukum Universitas Indonesia dan aktifis perempuan yang terlibat aktif dalam penyusunan draf Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Pakar antropologi hukum yang juga aktifis perempuan, Sulistyowati Irianto. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Dalam melihat kekerasan seksual, menurut Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau Undang-Undang TPKS ada dua unsur penting yang harus dipenuhi:

Pertama, ketiadaan consent (kesetujuan dari korban). Artinya itu terjadi tanpa persetujuan korban atau ada unsur pemaksaan. Tapi, consent ini dikecualikan untuk anak-anak di bawah umur, ODGJ, tidak sadarkan diri (sedang mabok, lagi menggunakan obat-obatan terlarang, dan lain-lain)

Kedua, ada relasi kuasa. Ini banyak terjadi di ranah-ranah keluarga atau ruang-ruang yang harusnya tidak terjadi seperti sekolah, PAUD, pesantren, dan yang lain. Relasi kuasa ini unsur yang sangat penting.

Menurut saya, indikasi kekerasan seksual ini tidak ada di kasus Ibu PC. Nggak ada sama sekali. Jadi kita susah untuk bilang, itu ada kekerasan seksual. Menurut saya dan banyak orang.

Menurut Undang-Undang TPKS memang kita harus memercayai laporan korban. Tapi, kita perlu memeriksa indikator tadi, melakukan verifikasi yang mendasar. Fakta hukum selama persidangan tidak mengatakan itu ada.

Tidak ada orang yang melihat, sementara rumah yang di Magelang kecil dan di sana banyak orang. Kok bisa tidak ada orang yang tahu? Harusnya kejadian itu ketahuan dong. Jadi pembuktian-pembuktian itu tidak menunjukkan ada indikasi kekerasan seksual.

Selain itu unsur relasi kuasa: apakah bisa orang yang pangkatnya di bawah, seperti Yosua, berani lancang ke istri bosnya-yang jenderal? Sementara rumahnya kecil, banyak orang, dan kemungkinan ketahuan besar. Tentu logika kita ke sana kan…

Lagi pula, Bu PC kan orang terpelajar, bukan miskin atau illiterate [buta huruf], dan bukan tidak punya akses ke rumah sakit. Bukan tidak mengerti harus bagaimana kalau terjadi perkosaan.

Dia istri jenderal dan orang terpelajar; seorang dokter. Kan bisa tinggal telepon dokter untuk melakukan visum. Atau cepat-cepat mengambil tindakan untuk pembuktian di pengadilan. Itu semua tidak dia lakukan. Apalagi orang diperkosa tidak bisa di cross-check karena sudah meninggal.

Itu juga nggak ada cross-check- nya karena yang tahu kan hanya Bu PC. Jadi, buktinya memang nol.

Saya juga pernah dichallenge teman-teman: kalau begitu UU TPKS nggak bisa buat orang kaya? Saya jawab, bukan begitu. Masalahnya, untuk kasus PC indikasi-indikasi awalnya nggak kuat.

Misalnya PC itu sederajat, kedudukan dan status sosialnya, sama pelakunya. Atau dia buta huruf atau buta pengetahuan bahwa dia harusnya pergi visum atau lapor polisi. Maka, itu mungkin masyarakat akan belain.

Dalam kasus PC tampak nggak ada aktifis perempuan yang membela dia. Pada waktu itu memang secara buku sudah betul: lapor ke Komnas Perempuan dan Komnas HAM. Secara UU betul, tapi pembuktiannya nggak ada.

Lalu, LPSK [Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban] tidak mau menangani Bu PC. Ah, itu bukti berikutnya. LPSK tidak menerima permintaan dia. Minta dilindungi dari siapa? Kan pelakunya sudah nggak ada.

Psikolog memang menangani Bu PC. Kesaksiannya tim itu tidak bisa dijadikan pertimbangan? Itu tadi: kesaksian dari psikolog-nya kan ada di persidangan. Dibantah oleh ahli-ahli yang lain. Saya sangat mendengarkan…itu ahli-ahli yang di masyarakat dihormati.

Prof Mustofa, ahli kriminologi, juga menangani kasus ini. Saya percaya kesaksian dia bahwa perkosaan itu tidak ada. Ada ahli hukum, Albert Aries. Lalu ada Prof. Magnis. Belum lagi para pengamat. Ada mantan hakim Asep, psikolog…semua mengatakan tidak ada. Itu debatnya kan lama.

Psikolog yang memeriksa bilang PC mengalami stres akut dan bahkan gejala depresi saat kasus mulai menggelinding. Tapi, apakah itu penyebabnya adalah perkosaan? Bisa juga karena suaminya tertangkap dan sebagainya.

Selama  persidangan, kasus perkosaan di rumah Magelang tidak menjadi hirauan otoritas pengadilan. Iya, itu karena hukum di Indonesia itu melihatnya..di situ ada mayat, ada yang mati. Itu yang harus diurus duluan. Nggak boleh tidak. Penyebabnya apa pun orang nggak boleh dimatiin.

Begitu. Artinya, bukti yang paling nyata: ada orang mati terbunuh. Alasannya mau apa pun itu nggak boleh mematikan orang. Mengambil nyawa orang itu adalah hukum yang pertama.

Masalahnya, kasus ini didahului oleh kebohongan-kebohongan. Jadi, itu sudah tambah kacau lagi. Blunder! Apa pun yang mereka omongin nggak dipercaya lagi. Jadi, sudah didahului kebohongan-kebohongan. Lalu ada cerita amplop coklat.

Karena kasusnya itu berada di dalam kasus yang lebih besar lagi, yakni pembunuhan. Dan didahului oleh kebohongan-kebohongan. Lihat saja hakim kalau ngomong. Kan kenceng banget. JPU-nya [jaksa penuntut umum] juga.

Dan jangan lupa partisipasi publik. Belum pernah lho ada kasus kayak begitu di Indonesia. Berbulan-bulan orang mengikutinya.

Apa jeleknya kasus ini. Jeleknya adalah korban-korban yang benaran jadi korban. Mereka jadi susah. Karena nggak dipercaya lagi. Jadi, sudah langsung terbentuk di kepala polisi: jangan-jangan lu bohong.

Emang sial banget nih, setelah ada UU TPKS muncul kasus ini. Buat kita semua jadi susah karena ada korban yang ini…karena korbannya jenderal…kan kita jadi ngelawan dia juga

Jadi, kasus ini unik. Semuanya teman saya: mau yang di Komnas HAM, Komnas Perempuan... Pengacaranya Sambo, Febriansyah, itu kan kawan saya. Orang LPSK, itu juga kawan. Komisi Kepolisian, itu juga kawan. Jadi, saya juga dengerin mereka semua itu.

Saya tadinya mau ikut ami kuskuri-nya [amicus curiae ; artinya sahabat peradilan] ICGR [The International Conference on Gender Research], tapi telat. Karena sudah keburu dikirim ke sana. Jadi saya pikir, sudahlah bikin sendiri. Lalu, saya bikin ami kuskuri di kalangan dosen-dosen. Dapat banyak kita, ada ratusan profesor. 

Sebagai sahabat peradilan kita menyatakan kepada hakim bahwa kita mendukung mereka dalam memberikan pandangan-pandangan dan fakta-fakta. Tujuannya, supaya kalau memutuskan sesuatu mereka tidak ragu dan merasa terbantu. Jadi, ada dua ami kuskuri, satu ICGR dan satu lagi kami, Aliansi Akademisi Indonesia.

Di Aliansi Akademisi Indonesia, saya bikin naskah tentang alasan mengapa kami mendukung Eliezer. Rekomendasinya? Tidak bilang agar Eliezer dibebaskan dari hukuman tapi diberi hukuman paling ringan.

Kita membela Eliezer. Hakimnya sangat progresif. Pertama, mereka memperhitungkan UU baru, keberadaan LPSK, dan adanya justice collaborator yang musti dipercaya. Eliezer jadi justice collaborator dan hakim itu terus-menerus juga memberi akses kepada justice collaborator ini. Dengan risiko yang sangat berat lho Eliezer menceritakan itu semua. Bisa dibunuh kan? Kan kita tahu orang yang punya kuasa besar itu bisa melakukan apa saja, meskipun di penjara.

Jadi, hakimnya itu terbuka terhadap tuntutan masyarakat. Setelah era reformasi, ada LPSK dan itu menjadi praktik di negara lain. LPSK itu kan keinginan masyarakat sipil.

Kedua, mereka menyatakan juga di dalam putusannya ada ami kuskuri dua. Dan itu diakomodasi sehingga dia memberikan hukuman yang mengejutkan. Hukuman mati untuk Sambo dan 20 tahun untuk PC. Sementara untuk Eliezer satu tahun doang.

Dan, yang mendukung hakim untuk membuat putusan progresif, kalangan hakim juga. Termasuk mantan hakim MA, Pak Joko Sarwoko. Itu saya kenal dia lama karena waktu ikut program S-2 dia ikut di ruang kelas saya. Kebetulan saja saya dosennya.

Tapi secara pengetahuan, pengalaman, dia lebih jago. Kemudian saya melihat dari jauh: dia meniti karirnya jadi hakim MA dan dia hakim yang sangat dihormati di Mahkamah Agung. Jadi dia sangat mendukung Hakim Wahyu ini membuat putusan-putusannya.

Yosep Stanley Adi Prasetyo

Lama menjadi wartawan dan pegiat demokrasi-kemanusiaan, ia pernah menjadi Wakil Ketua Komnas HAM dan Ketua Dewan Pers. Sebagai orang yang pernah mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK dan Sekolah Staf dan Pimpinan (Sespim) Polri tentu ia dekat dengan dunia kepolisian.

Pegiat HAM dan demokrasi, Yosep Stanley Adi Prasetyo. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Kasus Bu PC ini diverifikasi oleh LPSK bersama Tim Komnas HAM. Dia (PC) menutup diri. Mungkin kalau dengan Komnas Perempuan dia cerita tapi kalau dilihat dari uraian tentang rentetan peristiwa, mulai dari Magelang sampai di Jakarta, banyak hal yang tidak masuk akal.

Misalnya, dia katakan dirinya coba diperkosa, tapi ketika kembali ke Jakarta kok satu rombongan dengan Brigadir Yosua meski beda mobil. Itu kan nggak mungkin dong….

Ini cerita juga dari teman-teman polisi. Di kalangan mereka lumrah kalau istri seorang jenderal polisi selingkuh dengan ajudan, sopir, dan lain-lain. Ini karena model pembalasan misalnya karena suaminya juga selingkuh. Yang paling telak adalah orang yang paling dipercayai suami itu yang diajak selingkuh.

Jadi, kalau cerita yang di luar itu mengatakan bahwa Yosua ditaksir berat sama Bu PC. Itu terlihat dari caranya dia membujuk, ketika ulang tahun…lihat kan di media sosial acara disuapin..Bayangin tuh, yang ultah kan suaminya…tapi istrinya justru ambil kesempatan untuk menyapa dan membelai Yosua di depan suami. Ada yang menyebar video itu kalau nggak salah di TikTok.

Lantas, suaminya sebetulnya juga jalan sendiri-sendiri. Ada cerita tentang polwan ini…Jadi ibu ini (PC) naksir Yosua. Tapi kan dia mau nikah dan berancana mau keluar sebagai ajudan, mau sekolah lagi karena pangkatnya nggak naik-naik…jadi ini ya ngajak berhubungan, tapi Yosua nolak…

Polisi-polisi itu begitu bicaranya. Motif biasa begitu, Jadi, kalau ada istri diselingkuhi suami, pasti dia akan main dengan ajudan dan sopir. Nah, Sambo bisa gunakan ini bahwa (hubungan) ini harus diputus. Kan nampaknya Sambo tidak cemburu.

Masalahnya lagi, Yosua tahu sepak terjang Satgasus [Satuan Tugas Khusus]. Dia kan menyertai sejumlah operasi Satgasus di bawah kendali Tito [Tito Karnavian]. Kemungkinan dia tahu itu. Mungkin ada bocoran yang tercium, kayaknya mau keluar dari skenario. Maka digunakanlah alibi untuk menghabisinya.

Kalau Sambo marah, kan tinggal diselesaikan saja itu di Magelang. Dan kemudian tidak perlu mengobrak-abrik CCTV. Bahkan ada info katanya ada skenario mau nabrak mobil Yosua tapi karena ada polisi lain di dalam mobil nggak jadi.

Karena kalau Sambo marah, ya nggak perlu tembak Yosua lalu tembak dinding untuk hilangkan jejak. Cukup sekali dor! Lapor polisi…ini kan justru dia bayar si polisi yang masih muda untuk cerita terjadi tembak-menembak. Setelah itu makan malam, dikasih uang 500 juta. Itu memang misterius.

Saya nggak sempat kenal Sambo. Karena dia junior banget yang dikatrol. Yang sempat menjadi mahasiswa saya antara lain Gatot Eddy Pramono, Wakapolri sekarang. Juga Kapolda NTT, Johanis Asadoma. Anaknya Pak Try Soetrisno itu mahasiswaku [Irjen Pol Firman Shantyabudi].

Jadi, Sambo ini skandalnya banyak. Terlalu cepat naik pangkat, promosi. Kemungkinan banyak kasus yang direkayasa termasuk racun sianida. Itu timnya Sambo.

Saya nggak percaya perkosaan itu terjadi. Memang, beberapa hari sebelumnya Bu PC bilang pusing, lemas...Ada cerita bahwa Yosua menawarkan diri untuk membopong itu ke atas.

Nah, itu menunjukkan bahwa di antara mereka ada kedekatan. Karena, kalau dilihat Yosua pangkatnya brigadir. Kalau saya hitung-hitung, hierarkinya sampai ke Sambo yang bintang dua itu 12 jenjang.

Jadi, tak akan berani dia macam-macam ke istri yang apalagi ini istri bintang dua. Justru karena mereka dekat makanya Yosua diberi kepercayaan pegang uang.

Saya pernah kritik institusi polisi. Di polisi itu yang jemput saya saat hendak mengajar itu polisi; jadi kerjanya antar-jemput. Saya bilang: polisi itu biaya pendidikannya mahal. Harusnya, dia menjalani saja tugas-tugas profesional polisi. Tapi jawabnya, “Saya ditunjuk untuk jadi driver…”

Menurut saya, kenapa tidak pakai orang sipil saja? “Kan bapak dididik untuk profesi polisi…”

Di polisi itu begitu…bayangkan Yosua nyetrika baju anak-anaknya Sambo…beli bawang dan sebagainya.

Jadi, dia nggak mungkin bisa macam-macam. Nggak masuk akal. Apalagi ajudan ada 7.

Sekali lagi, saya nggak percaya perkosaan itu terjadi. Kalau Yosua bukan polisi yang pangkatnya 12 di bawah jenderal bintang 2, baru saya percaya. Karena saya tahu betul kultur polisi. Bila perlu ditempeleng, mereka nggak bakalan melawan.

Menurut saya, ini bukan hubungan di antara dua orang bebas yang berbeda jenis kelamin. Tapi ini hubungan antara istri pejabat yang pangkatnya 12 tingkat di atasnya.

Yosua kan hanya brigadier satu. Nggak mungkin itu terjadi karena peristiwanya di Magelang di mana ada ajudan lain. Kalau PC dibawa ke hotel ya mungkin saja; Ini kan masih ada 2 orang: Ricky dan Eliezer. Ada juga Kuwat dan Susi.

Nggak bisa terjadi, apalagi Ricky lebih tinggi pangkatnya. Kuwat juga sudah menjadi karyawan keluarga selama 10-15 tahun…Ya, nggak akan beranilah Yosua!

Orang yang mau melakukan kejahatan itu jika dia mendapatkan ruang dan rasa yang secure. Ini kalau Bu Putri teriak saja…pasti akan ketahuan.

Albertina Ho

Sebelum menjadi hakim di PN Jakarta Selatan (2008-2011) pada 2005 ia menjadi Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial. Selanjutnya, dia pernah menjadi hakim tinggi dan wakil ketua pengadilan tinggi. Sejak 20 Desember 2019 ia menjadi anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

Mantan Hakim Albertina Ho yang kni bertugas di KPK. (Foto: PN Lembata)

Kita harus melihat bahwa dalam hal ini kasus pembunuhan dan kasus pelecehan seksual itu dua hal yang berbeda. Sehingga kalau dikatakan bahwa PN Jakarta Selatan pernah menampik perkara Bu PC ini sebenarnya karena.…ini bukan berarti karena saya hakim lalu saya membela PN Jakarta Selatan ya.. Tidak. Tapi saya mau melihat ini bahwa yang diadili oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang diajukan di persidangan dan diadili oleh PN Jakarta Selatan adalah kasus pembunuhan.

Bukan kasus pelecehan seksual. Nah, dengan demikian maka memang tidak relevan kalau hakim harus mempertimbangkan kasus pelecehan seksual. Karena kan ini dua hal yang berbeda.

Apabila ada kasus pelecehan seksual yang diajukan, saya yakin pasti akan diadili oleh pengadilan karena pada prinsipnya pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan. Jadi harus diadili. Nah, kemarin yang diajukan ke persidangan adalah kasus pembunuhan. Itu kan dua kasus yang berbeda.

Kasus pelecehan seksual sendiri…begini, ini kan saya tidak tahu yang pasti ya…saya cuma lihat dari pemberitaan di media. Entah benar entah tidak ya, saya hanya melihat dari pemberitaan di media bahwa itu kan pernah dilaporkan ke Polres Jakarta Selatan. Kalau saya nggak salah baca.

Tapi sampai sekarang kan tidak pernah diproses lebih lanjut. Bahkan kalau saya ndak salah ingat, pernah saya baca kayaknya di SP3 oleh Polres Jakarta Selatan. Nah, ini kan dua hal yang sangat berbeda, jadi kita tidak bisa mencampuradukkan itu.

Ada pertanyaan: apakah motif pembunuhan itu bisa jadi pertimbangan di pengadilan atau hakim sama sekali hanya berfokus pada kasus pembunuhannya? Begini. Satu tindakan pidana itu baru bisa kita jadikan dasar pertimbangan putusan apabila sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa tindak pidana itu sudah terbukti.

Nah, dalam hal ini, apabila sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa pelecehan seksual itu terjadi itu baru bisa dijadikan pertimbangan oleh hakim.

Kalau belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa tindak pidana pelecehan seksual itu terjadi, maka itu belum mesti terjadi kan…antara ya atau tidak.

Tentu saja hakim pun bebas dalam memberikan pertimbangan apakah dia mau mengambil alih itu untuk jadi bahan pertimbangan atau sedikit mau melihat motivasinya atau bagaimana. Kan juga hakim harus hati-hati karena tindak pidana itu belum terbukti.

Kalau kita lihat di dalam pemberitaan yang saya bilang tadi, kalau saya nggak salah juga sepertinya di SP3 pula oleh Polres Jakarta Selatan. Kalau saya ndak salah baca ya.

Jadi, akan lain ceritanya kalau kasus pelecehan seksual diproses Polres Jakarta Selatan dan kemudian sampai ke pengadilan dan ada putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa betul terjadi pelecehan seksual. Itu tentu saja pertimbangan hakim akan menjadi lain juga.

Karena hakim mempertimbangkan itu. Dia bisa mempertimbangkan itu sebagai salah satu motivasi yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana pembunuhan.

Tapi, kan tidak ada tindak lanjutnya sampai ke suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Saya tidak menyatakan bahwa keadilan tidak berpihak ke korban [PC]. Karena kalau saya ya, ini mohon maaf, berpegang pada aturan yang ada.

Berpegang pada ketentuan hukum yang ada. Jadi, itu baru bisa kita katakan tidak berpihak pada korban apabila memang sudah ada putusan hakim [terkait kasus pelecehan seksual] yang berkekuatan hukum tetap tapi itu tidak dijadikan bahan pertimbangan pada kasus pembunuhan.

Kalau kasus Ibu PC ini kan belum ada. Apakah kita yakin bahwa itu terjadi tindakan pidana itu? Kita tidak bisa berkata apa-apa secara hukum.

Todung Mulya Lubis

Ia pengajar, pengacara, dan pegiat kemanusiaan terkemuka yang pernah menjadi duta besar di Norwegia dan Islandia (2018-2023).

Pengacara kenamaan yang juga pegiat kemanusiaan, Todung Mulya Lubis. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Walaupun saya meyakini bahwa Ferdy Sambo itu melakukan tindak pidana pembunuhan, paling tidak sebagai otaknya…ya, dia memang pantas dijatuhi hukuman seberat-beratnya tapi bukan hukuman mati. Ini sikap saya. Tapi kalau ada yang dijatuhi hukuman mati saya pasti bela, terlepas dari siapa pun dia.

Kalau soal Putri, istrinya, saya tidak punya pendapat. Saya masih belum bisa meyakini diri saya apa sebetulnya yang terjadi pada dia. Kalau disebut bahwa dia korban perkosaan, oke..saya dengarkan. Tapi saya belum yakin. Saya belum punya pendapat sama sekali soal itu.

Karena saya juga tidak mendalami kasusnya Saya punya prasangka, saya punya bias tentunya. Saya belum berani menyimpulkan sesuatu dari kasus itu karena ya kalau saya hanya bermain logika dan mengandalkan apa yang saya baca di media. Saya memang melihat ini tidak sesederhana yang saya bayangkan.

Ada hal-hal yang membuat saya nggak bisa menjawab tanpa mengetahui [lebih dalam] siapa Putri, siapa Sambo, siapa Yosua, bagaimana lingkungannya…Sulit buat saya untuk membuat kesimpulan dan opini.

Tadi sudah saya katakan, saya sih belum punya opini. Tapi kan saya harus katakan saya lebih bicara atas dasar pemberitaan di media, itu satu. Kedua, ada bias saya juga.

Karena apa yang dikatakan Sulis [Prof Sulistyowati Irianto] saya tidak bantah juga kalau dia ngomong soal relasi kekuasaan [Prof Sulistyowati mengatakan tak berterima di pikirannya kalau sorang Briptu berani melakukan kekerasan seksual terhadap istri seorang jenderal yang merupakan bosnya].

Saya nggak sepenuhnya mau percaya kepada berita-berita bahwa banyak yang ngomong soal ini itu…saya dengarin aja. Biasanya saya nggak mau kasih komentar. Tapi ya, saya terus terang saja menahan diri kalau soal ini, karena tidak mudahlah untuk membuat saya sendiri yakin terkait apa yang terjadi.

Saya paham betul kalau orang seperti Sulis bicara seperti itu. Saya juga punya kecenderungan yang kurang lebih sama, dengan melihat relasi kekuasaan seperti itu. Itu makanya saya kemarin membela si Eliezer. Itu kan supaya dia tidak dijatuhi hukuman mati [karena] dia yang menembak sebetulnya. Jadi ya sulit ya…saya nggak bisa kasih komentar.

Tentang kasasi. Putri kan sedang kasasi ya? Kasasi itu hanya sekali dan putusannya menjadi inkrah [tetap dan mengikat]. Tapi setelah itu kan ada peninjauan kembali yang bisa dilakukan. PK, ya. Tentu mesti dicari alasannya ya, apakah dia bisa mengajukan PK atau tidak.

Dalam peninjauan kembali, seharusnya kasusnya [perkosaan] masih bisa diangkat. Cuma, kan peninjauan kembali itu jarang bicara mengenai detil.

Dia hanya melihat putusan yang dibuat pada tingkat Mahkamah Agung. Secara hukum tidak dilarang karena itu kan namanya case review, peninjauan kasus. Jadi, bukan hanya aplikasi hukumannya saja, kasus khusus bisa ditinjau ulang. Cuma, apakah akan dilakukan..ya kan…nah itu yang saya nggak tahu.

Sulitnya kan begini: karena pengadilan itu juga berhadapan dengan opini publik. Opini publik itu gencar sekali. Jadi, buat hakim untuk melawan arus itu agak sulit. Ya memang sulitlah kasus ini..sulit sekali. (Bersambung)

Reporter: Rin Hindryati dan P. Hasudungan Sirait

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS