PARBOABOA - Plang !!! Sebuah spatula berbahan besi mendarat tepat di punggung Roy. Pria 56 tahun itu sontak terkejut. Seorang lelaki paruh baya berdiri dengan wajah memerah sambil menatap tajam.
“Lambat banget lu kerjanya,” Roy mengenang ucapan kepala chefnya kala itu.
Malam di penghujung tahun 1999. Restoran tempat ia bekerja ramai dipadati pengunjung. Roy, yang kebagian tugas mencuci piring, ikut kelabakan.
Piring-piring kotor sisa makanan menumpuk di wastafel. Di sudut dapur, suara ocehan kepala chef makin meninggi. Suasana restoran mewah di Jakarta Selatan itu seketika bak neraka.
Roy memang tak punya bekal pengalaman. Menjadi pekerja F&B (Food and Beverage) adalah hal baru baginya. Sesuatu yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
F&B adalah istilah yang merujuk pada industri yang berfokus pada penyediaan makanan dan minuman. Jenis usahanya beragam, seperti cafe, coffe shop, restoran, bar, dan bahkan catering.
Selepas lulus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Roy berniat membantu perekonomian keluarga yang belum pulih pasca reformasi. Ia memutuskan untuk langsung bekerja.
Semula, Roy mencoba keberuntungan di beberapa perusahaan, tetapi kerap menemukan jalan buntu. Pertemuan tak terduga dengan seorang kerabat, menjadi awal mula perkenalannya dengan dunia F&B di Jakarta.
Roy ditawari bekerja di sana. Tanpa berpikir panjang, ia menerima tawaran sahabatnya itu, meski tak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Ia tak pernah menyangka tekanan kerja di dapur F&B se-mengerikan itu. Diomelin hingga dilempari perkakas dapur lumrah terjadi. Terlebih bagi karyawan baru seperti Roy.
Banyak teman-teman seangkatannya saat itu yang resign lantaran tak kuat menghadapi tekanan kerja. Roy memilih bertahan. Separuh beban keluarga ada di pundaknya.
Seiring berjalannya waktu, ia mulai terbiasa dengan tekanan kerja semacam itu. Mentalnya perlahan tumbuh. Begitu pun nyalinya yang makin teruji dari waktu ke waktu.
“Sudah biasa itu kalau bekerja di F&B. Kalau mentalnya engga kuat, janganlah kerja di sana,” celetuknya.
Sudah 25 tahun lamanya Roy bekerja di dapur F&B. Tak hanya tekanan dan beban kerja yang ia rasakan, tetapi juga jam kerja yang tidak masuk akal.
Meski menggunakan sistem kerja shift, bekerja lebih dari 10 jam sudah menjadi hal lumrah di industri F&B, terutama saat restoran sedang ramai.
"Saya pernah masuk jam 10 pagi dan pulang jam 4 subuh," ungkapnya.
Parahnya lagi, penambahan jam kerja tidak sebanding dengan upah yang didapat. Banyak pekerja F&B yang digaji di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta.
Roy sudah keluar masuk sejumlah restoran ternama di Jakarta. Masalahnya selalu sama: upah yang diterima jauh di bawah UMP.
Bahkan, dengan posisinya saat ini sebagai koki kepala, ia hanya digaji sebesar Rp3,5 juta per bulan. Bisa dibayangkan, berapa besaran gaji yang diterima oleh karyawan biasa.
“Kayak di tempat ini lah, aku udah jadi koki kepala. Tiap hari masuk. Gaji cuman segitu aja per bulan,” ungkapnya.
Roy mengaku, gaji sebesar itu tak cukup menekan biaya hidup di Jakarta. Ia terpaksa meminjam uang ke beberapa kerabatnya untuk menambal kebutuhan keluarga.
Rendahnya kesejahteraan pekerja F&B, menurutnya, disebabkan oleh sulitnya memperoleh status karyawan tetap.
Banyak pekerja hanya berstatus daily worker atau pekerja harian, yang membuat mereka tidak mendapatkan hak-hak seperti karyawan tetap.
Selain itu, mayoritas restoran di Jakarta cenderung mempekerjakan siswa magang untuk menekan biaya operasional.
Praktik ini semakin memperburuk para pekerja tetap maupun harian yang kehilangan peluang kerja layak.
"Saya pernah bekerja di salah satu restoran mewah di sebuah mal di Jakarta selama tujuh tahun, tapi tidak pernah diangkat menjadi karyawan tetap," keluhnya.
ketgamb Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas pekerja di Indonesia bekerja 35-48 jam per minggu, dengan angka yang mencapai 39,2 persen. (Foto: PARBOABOA/Calvin) #end
Kondisi serupa juga dialami Riko (24). Ia mulai terjun ke industri F&B pada 2021 silam. Di bulan-bulan awal, pria asal Depok, Jawa Barat itu, masih menikmati pekerjaannya.
Seiring berjalannya waktu, Riko mulai menemukan kejanggalan. Tekanan dan beban kerja di restoran semakin berat dengan jam kerja yang berantakan.
Ia diwajibkan membuka restoran pukul 10.00 pagi, tanpa kepastian jam tutup. Sering kali, Riko baru bisa pulang pukul 21.00 atau 22.00 malam.
Bahkan pada beberapa kesempatan, Riko baru diijinkan pulang pukul 02.00 pagi karena harus melayani kolega pemilik restoran yang datang untuk sekadar nongkrong.
“Jam kerja saya bisa sampai 11-12 jam per hari. Soal lembur? Jangan harap ada. Hanya dapat ucapan terima kasih,” ujarnya.
Padahal, Undang-Undang Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021 menetapkan batas jam kerja maksimal 40 jam per minggu, dan mewajibkan pengusaha membayar lembur.
Bekerja di restoran kecil dengan manajemen yang kurang profesional membuat Riko sering menerima tugas di luar tanggung jawabnya.
"Semua saya kerjakan. Saya diminta melayani pelanggan, menjadi kasir, mencuci piring, menyiram atau merawat tanaman restoran, hingga mendesain menu," ungkapnya.
Upah yang didapat pun jauh dari UMP Jakarta. Ia hanya digaji Rp50 ribu per hari dengan gaji tambahan Rp1 juta per bulan.
Jika diakumulasi, gaji maksimal yang didapat hanya sebesar Rp2,5 juta per bulan, dengan syarat masuk setiap hari.
“Saya waktu itu cuma dapat gaji rata-rata Rp2 juta per bulan. Rumah di Depok, kerja di Jakarta. Ongkos, rokok, kasih orang tua, itu semua nggak cukup,” kenang Riko.
Rendahnya upah yang ia terima tak sebanding dengan pendapatan restoran yang bisa mencapai jutaan rupiah per hari. Ia sempat dijanjikan kenaikan gaji oleh bosnya jika restoran sedang ramai, “tapi itu cuma omongan manis.”
Puncaknya saat restoran tersebut bangkrut. Riko yang telah mengabdikan dua setengah tahun hidupnya, didepak begitu saja tanpa alasan yang jelas.
“Tiba-tiba saja kontrak saya diputus, tanpa peringatan atau one month notice. Nggak ada kontrak hitam di atas putih. Rasanya pahit banget,” katanya mengenang.
Rival Yunadi, seorang mantan pekerja restoran yang kini bertugas sebagai Organiser Nasional Restoran & Fastfood Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), sudah merekam persoalan ini sejak lama.
Menurutnya, selain upah yang tak layak dan kontrak kerja yang tidak sesuai aturan, jam kerja panjang tanpa bayaran lembur merupakan pelanggaran yang paling sering terjadi di industri F&B.
"Di F&B, banyak yang bekerja di atas 10 jam pe rhari. Mereka juga jarang mendapat libur dua hari per minggu," katanya saat diwawancarai Parboaboa pekan lalu.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas pekerja di Indonesia bekerja 35-48 jam per minggu, dengan angka yang mencapai 39,2 persen.
Selain itu, sekitar 25,14 persen penduduk bekerja 49 jam atau lebih per minggu, termasuk kategori pekerjaan tidak layak, yang berpotensi berdampak pada produktivitas dan kelayakan pekerja.
Dalam “Long working hours can increase deaths from heart disease and stroke, say ILO and WHO” (2021) disebutkan, jam kerja panjang 55 jam seminggu telah memicu 745.000 kematian akibat penyakit kardiovaskular pada 2016.
Mereka yang overworked juga lebih rentan terkena risiko stroke 35 persen dan penyakit jantung 17 persen, ketimbang mereka yang bekerja maksimal 40 jam seminggu.
Rival menjelaskan, loyalitas sering digunakan perusahaan sebagai alibi untuk tidak membayar upah lembur. Padahal, jika dihitung, pencurian upah dua jam per hari dari seribu pekerja bisa menghasilkan keuntungan besar bagi perusahaan.
"Itu belum menghitung dampaknya dalam skala bulanan," ungkapnya.
ketgamb Di Indonesia, industri F&B berada pada posisi ketiga investasi yang paling menarik dengan nilai investasi sebesar Rp19,6 triliun dengan potensi penyerapan 5,7 juta tenaga kerja. (Foto: PARBOABOA/Calvin) #end
Masalahnya, kata dia, edukasi tentang hak-hak pekerja sejak dini masih minim dilakukan di Indonesia. Hal ini yang membuka ruang bagi perusahaan untuk berlaku semena-mena.
Banyak pekerja yang tidak memahami regulasi, membuat mereka rentan dikendalikan perusahaan. Karena itu, ia mendorong pendidikan hak pekerja perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, terutama bagi siswa SMK yang langsung terjun ke dunia kerja.
Di sisi lain, pengawasan terhadap regulasi pemerintah, termasuk UU Cipta Kerja, masih sangat lemah. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan memanfaatkan celah untuk mengakali aturan yang ada.
Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Jabodetabek & Regional Lampung, Muhammad Husni Mubarok, juga menyinggung lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah.
Di Jakarta Pusat saja, kata dia, terdapat sekitar 4.500 perusahaan yang harus diawasi oleh hanya 3 hingga 5 orang petugas.
“Dengan jumlah pengawas yang minim, tentu mustahil memastikan semua perusahaan mematuhi aturan ketenagakerjaan,” ucapnya.
Parboaboa sempat menghubungi secara langsung sejumlah pihak yang berada di Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) DKI Jakarta dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Republik Indonesia.
Namun hingga berita ini ditayangkan, surat permohonan wawancara maupun pesan singkat seluler masih belum ditanggapi.
Husni juga menyoroti berbagai jenis kontrak yang diterapkan perusahaan di sektor F&B, seperti kontrak part-time, magang, dan pegawai harian lepas.
Perbedaan jenis kontrak ini, menurutnya, akan mempengaruhi hak-hak pekerja, yang sering kali tidak mendapatkan perlindungan atau kompensasi yang layak.
"Di sektor F&B saat ini telah jarang karyawan yang diangkat tetap oleh perusahaan," katanya.
ketgamb Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Jabodetabek & Regional Lampung, Muhammad Husni Mubarok. (Foto: PARBOABOA/Dhoni)
Di sisi lain, fasilitas kerja di banyak restoran, terutama di mal, sering kali tidak memadai, seperti kurangnya ruang istirahat yang layak untuk pekerja dengan jam kerja panjang.
Kondisi ini menunjukkan kelalaian perusahaan dalam mematuhi aturan ketenagakerjaan. Husni mendesak pemerintah untuk memperkuat pengawasan dan menegakkan hukum secara konsisten.
Sebab, kata dia, industri F&B akan terus berkembang di tengah kemajuan zaman. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, industri F&B memberikan nilai positif pada neraca perdagangan mencapai nilai USD11,48 miliar.
Di Indonesia, industri F&B berada pada posisi ketiga investasi yang paling menarik dengan nilai investasi sebesar Rp19,6 triliun dengan potensi penyerapan 5,7 juta tenaga kerja.
“Bisnis F&B memiliki potensi bertahan hingga ratusan tahun ke depan. Tapi jika kondisi pekerjanya tidak diperhatikan, bagaimana mungkin industri ini bisa berkembang secara berkelanjutan?” pungkasnya.
Direktur Trade Union Rights Center (TURC), Andriko Otang, menegaskan bahwa meskipun regulasi perlindungan pekerja sudah jelas, implementasinya masih jauh dari ideal.
Menurutnya, banyak perusahaan tidak memenuhi kewajiban mendaftarkan pekerja ke lima program jaminan sosial wajib, seperti kesehatan, kecelakaan kerja, kematian, hari tua, dan pensiun.
"Sebagian besar pekerja hanya mendapatkan jaminan kesehatan atau kecelakaan kerja, sementara hak atas hari tua dan pensiun sering diabaikan," jelasnya.
Kondisi ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga menciptakan ketidakpastian masa depan bagi pekerja.
Selain itu, di sektor F&B, pembatasan kebebasan berserikat menjadi hambatan utama dalam menyuarakan keluhan. Tanpa serikat pekerja yang kuat, aspirasi pekerja sulit tersampaikan.
"Serikat pekerja yang mampu memperjuangkan hak secara kolektif adalah kebutuhan mendesak, tetapi banyak pekerja takut bersuara karena risiko pemutusan kontrak atau intimidasi," katanya.
Otang percaya bahwa jika regulasi ditegakkan secara menyeluruh, industri F&B akan mendapat manfaat jangka panjang.
Kepatuhan terhadap aturan tidak hanya meningkatkan produktivitas dan loyalitas pekerja, tetapi juga memperkuat kepercayaan konsumen.
"Hotel dan restoran yang menghormati hak pekerja pasti akan menarik lebih banyak pelanggan, yang akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi nasional," harapnya.
Reporter: Calvin Vadero Siboro, Rahma Dhoni