Dilema Sekolah Negeri di Tengah Kuota Guru yang Terbatas

Suasana di Sekolah Menengah Pertama Negeri(SMPN) 2 Kota Bekasi. (Foto: PARBOABOA/Calvin Siboro)

PARBOABOA - Sudah belasan tahun Syamsuri (42) mengabdi di SMP Negeri 2 Bekasi, Jawa Barat. Pria berdarah Betawi ini cukup akrab dengan perkara usang di sekolahnya: kekurangan tenaga pendidik.

Beberapa kali, dalam obrolan ringan di warung-warung kopi, Syamsuri merekam keluhan serupa dari rekan sejawat. Masalah defisit guru rupanya tak hanya melibas sekolah tempat ia mengajar.

“Ini bukan hanya persoalan di SMPN 2, tetapi juga di banyak sekolah lain di Kota Bekasi,” pungkas Syamsuri saat ditemui Parboaboa di Margahayu, Bekasi Timur, Kota Bekasi, pada Rabu (17/07/2024).

Syamsuri mengampu bidang studi Pendidikan Agama Islam kelas VIII. Mengasuh 11 rombongan belajar, kadang bikin ia keteteran. Terlebih setelah dibebankan mengurus kehumasan sekolah, separuh waktu dan tenaganya terbagi.

Sebagai seorang pendidik, tanggung jawab itu mesti ditunaikan. Sesekali, kepada berapa rekan guru, ia berkeluh soal ritme pembelajaran yang kurang efektif. “Ya Alhamdulillah, dijalanin aja,” ujar lelaki bertubuh gempal itu.

Ihwal distribusi guru tak hanya menyasar Pendidikan Agama Islam. Mata pelajaran lain, seperti Matematika, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan Bahasa Sunda juga ikut terseret.

Kebutuhan guru Matematika, semisal. Jumlah ideal yang seharusnya 4 orang untuk 33 rombongan belajar, hanya tersedia 2 tenaga pengajar. 

Kondisi ini berimbas pada kelebihan (overload) jam mengajar. Jika dikalkulasi, 2 guru Matematika yang tersedia wajib memenuhi beban mengajar 66 jam per minggu.

Sementara mengacu pada Permendiknas Nomor 39 Tahun 2009, batas minimal beban kerja guru yakni 24 jam tatap muka dan maksimal 40 jam dalam sepekan.

Pihak sekolah mengakalinya dengan menggeser kelebihan jam mengajar ke sejumlah guru lain, meskipun di luar keahlian mereka.

Awasan regulasi soal aspek kompetensi guru sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, terpaksa diabaikan.

“Karena kebutuhan yang sangat mendesak, akhirnya pimpinan coba memberikan solusi bisa guru lain mengajar di bidang studi itu,” ujarnya.

Optimalisasi sumber daya guru tanpa mempertimbangkan kompetensi, tentu bakal mempengaruhi kualitas peserta didik. Permohonan tambahan guru lantas diajukan ke Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Bekasi. 

Sialnya, kuota yang diusulkan pihak sekolah selalu sulit dipenuhi, sementara kekosongan guru tak boleh dibiarkan berlarut. 

Kepala sekolah, dalam posisi dilematis, menggunakan hak prerogatifnya merekrut guru honorer. Skema pembiayaan hanya ditopang dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari Kemendikbud.

Kebijakan tersebut bak pedang bermata dua. Di satu sisi, kekurangan guru harus segera teratasi, tetapi di sisi lain malah menabrak regulasi.

“Tapi kebutuhan ya bagaimana? Orang anak mau belajar, gurunya nggak ada. Kan repot!” jelas Syamsuri.

Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Bekasi, Arifin Budiana, memilih irit bicara. Parboaboa menemuinya pada Senin (29/07/2024).

Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2 Kota Bekasi, Arifin Budiana. (Foto: PARBOABOA/Calvin Siboro)

Saat meminta izin wawancara dengan dua guru Matematika yang kelebihan jam mengajar, Arifin menolak. Ia hanya menyinggung soal pendidikan yang berorientasi pada kualitas. 

Dua aspek krusial yang menurutnya menjadi skala prioritas: kualifikasi dan kuantitas guru. Kualifikasi tak hanya merujuk pada linearitas, tetapi juga soal keterampilan dan kompetensi guru.

Sementara kuantitas tenaga pendidik, menurut Arifin, dibutuhkan demi memastikan proses akademik berjalan efektif. 

“Bila perlu mengusulkan ya sebanyak-banyaknya, setiap mata pelajaran itu ada penambahan. Supaya beban kerja guru tidak begitu tinggi,” jelasnya.

Jika tidak, “kepala sekolah akhirnya tersiksa melaksanakan sebuah kepemimpinan.”

Gambaran ketimpangan yang terjadi, menurut Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Bekasi, Dedi Mufrodi, telah berlangsung lama dan rumit.

"Ada sekolah dasar yang seharusnya memiliki enam sampai delapan guru mengajar, tetapi hanya ada tiga-empat guru saja, uda di level darurat," papar Dedi.

Dalam analisisnya, kekurangan tenaga pendidik tak hanya berimbas pada overload jam mengajar, tetapi juga pembatasan jumlah rombongan belajar. 

Beberapa sekolah di Kota Bekasi, mengacu temuan PGRI, mengalami kondisi itu. Ada sekolah yang seharusnya dibikin 10 kelas, terpaksa dibatasi hingga 7 kelas. Jumlah siswa per kelas pun meningkat drastis, dari semula 28 siswa menjadi 35 hingga 40 siswa.

Selain mempengaruhi fisik dan mental para guru, keadaan ini juga berdampak pada kualitas pengajaran. "Konsentrasi guru dalam menyampaikan materi pembelajaran jadi lebih berat," ucapnya. 

Kepala Bidang Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bekasi, Wijayanti, sebetulnya sudah menampung sederet keluhan terkait kekurangan guru di wilayahnya.

Kekurangan tenaga pendidik di Kota Bekasi, merujuk data di Dinas Pendidikan Tahun 2024, menembus angka 2.400, dengan persebaran 1.700 guru di Sekolah Dasar (SD) dan 700 guru untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Disdik tak bisa berbuat banyak. Kebijakan perekrutan guru telah bergeser, bukan lagi menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Pemerintah pusat, melalui Surat Edaran (SE) MenPAN-RB 1527 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, melarang kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) mengangkat honorer baru. Semua akan diintegrasi ke pusat melalui skema PPPK. 

Di saat yang sama, jatah guru PPPK belum mampu menambal kekurangan yang ada. Pada 2023 saja, Pemkot Bekasi mengajukan usulan sebanyak 2.000 formasi guru. Hanya 550 kuota yang dipenuhi.

"Itu tidak akan menutup kondisi kekurangan guru yang ada," jelas Wijayanti kepada Parboaboa, awal Juli lalu. 

Kondisinya semakin rumit ketika pengajuan PPPK umumnya dilakukan oleh para guru yang berstatus Tenaga Kontrak Kerja (TKK). Mereka hanya bergeser status dari sebelumnya TKK menjadi PPPK: tidak berdampak signifikan pada penambahan jumlah guru baru. 

Pemkot Bekasi memiliki 11.853 TKK. Dengan jumlah 8.420 formasi TKK yang bakal diusulkan menjadi PPPK pada 2024, problem kekurangan tenaga pengajar di Kota Patriot itu agaknya masih sulit dibendung.

Sejauh ini, Pemkot Bekasi berencana menggandeng kerja sama dengan beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta di DKI Jakarta. 

Skema yang dilakukan adalah merekrut mahasiswa tingkat akhir sebagai tenaga pengajar. Setidaknya bisa menutupi kekurangan guru di beberapa sekolah negeri di Kota Bekasi.

“Ada 30 perguruan tinggi swasta yang mau bergabung, tapi masih pembahasan sih baru dua kali pertemuan,” ujarnya.

Di level nasional, kekurangan guru di sekolah negeri diklaim bersinggungan dengan usulan formasi PPPK yang melandai dari tahun ke tahun.

Kantor Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). (Foto: PARBOABOA/Dhoni)

Dalam pemetaan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK), Nunuk Suryani, usulan formasi tahun 2024 hanya mencapai sekitar 419 ribu lebih. Jumlah tersebut terus menurun sejak seleksi PPPK 2022 dan 2023. 

Sementara kebutuhan guru di Indonesia yang menurutnya mencapai 1.312.759 orang pada 2024, hanya bisa diganjal melalui skema PPPK.

Nunuk bilang, masalah anggaran turut menyumbang rendahnya usulan formasi PPPK yang diajukan oleh pemerintah daerah. Pemda merasa keberatan dengan beban finansial selepas pengangkatan guru PPPK. 

Pembayaran gaji dan tunjangan yang hanya bersandar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), bikin daerah ngos-ngosan.

Sinkronisasi anggaran yang belum optimal, semakin memperlebar persoalan defisit guru di tanah air. “Masalah honorer tidak akan tuntas tahun ini,” jelas Nunuk dalam keterangannya beberapa waktu lalu.

Klaim Nunuk soal kekurangan jutaan guru pada 2024, dibantah Pengamat Pendidikan, Indra Charismiadji. Jebolan The University of Toledo, Amerika Serikat itu mempertanyakan akurasi data dan kajian akademis yang digunakan Kemendikbud.

Indra merujuk pada rasio guru-murid di Indonesia yang masih berada dalam batas ideal. Bahkan, menurutnya, jauh lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, Finlandia, dan Singapura

Statistik Pendidikan 2023 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan rasio guru-murid yang mengalami penurunan pada tahun ajaran 2022/2023.

Statistik kondisi guru di Indonesia. (Foto: PARBOABOA/Ahmad Ghozali)

Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, rasio ideal guru-murid adalah 1: 20 di jenjang SD, SMP, SMA dan 1: 15 untuk jenjang SMK.

“Artinya, kita di rasio yang ideal. Kalau Kemendikbud itu mengatakan kita kekurangan guru itu basisnya apa?” tegas Indra.

Ia juga berkaca pada rencana Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta yang akan memberhentikan 4.000 guru honorer di awal tahun ajaran 2024/2025.

Rancangan yang digodok pada Juli lalu itu, singgung Indra, hendak menegaskan bahwa narasi kekurangan guru yang diucapkan pemerintah perlu dipertanyakan.

“Jika kita benar-benar kekurangan, tidak mungkin akan ada penghapusan besar-besaran seperti ini,” ujar Indra.

Di sisi lain, skema PPPK yang gagal mengisi kekosongan guru di sekolah negeri, tak hanya beririsan dengan keterbatasan anggaran pemerintah daerah seperti yang diucapkan Nunuk.

Pangkal masalahnya, kata Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), terletak pada carut-marut tata kelola PPPK.

Menurut Imam, analisis jabatan dan perencanaan kebutuhan guru selama ini cenderung tidak akurat. 

Idealnya, kata dia, sekolah yang membutuhkan tenaga pendidik akan mengusulkan kebutuhan guru kepada Dinas Pendidikan setempat. 

Usulan ini biasanya mengacu pada kekurangan guru, pertumbuhan jumlah siswa, atau kebutuhan khusus.

Selanjutnya, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau Provinsi menyusun rencana kebutuhan guru berdasarkan usulan dari sekolah-sekolah yang ada di wilayahnya. 

Rencana tersebut kemudian diajukan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) atau Kementerian Agama (untuk madrasah dan sekolah keagamaan) dalam bentuk usulan kebutuhan guru PPPK.

Masalahnya, kebanyakan data yang diterima oleh Panitia Seleksi Nasional (Panselnas) dari Kemdikbud melalui Dapodik berbeda dengan kebutuhan di lapangan.

Imam, yang selama ini fokus mengadvokasi isu seputar guru honorer, bahkan mengendus informasi bahwa beberapa dinas pendidikan menyerahkan data lama kepada kementerian. 

Data itu berasal dari tahun sebelumnya, seperti guru yang telah meninggal atau mengundurkan diri. Hal ini menyebabkan akurasi data untuk perhitungan bermasalah.

“Tidak sesuai apa yang direkrut dan apa yang dibutuhkan. Ada orang meninggal atau mungkin berhenti itu datanya tidak aktual,” jelas Imam kepada Parboaboa beberapa waktu lalu.

Analisis jabatan yang tumpang tindih tersebut, berimbas pada nasib para guru yang lolos seleksi PPPK. P2G menerima banyak laporan soal ini. 

Di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, ada guru PPPK yang merupakan guru PPKn justru ditempatkan di sekolah negeri yang tidak membutuhkan mata pelajaran tersebut.

Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zaenatul Haeri saat ditanya sejumlah awak media di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Juli lalu. (Foto: PARBOABOA/Dhoni)

Sementara di sekolah lain justru kekurangan guru mata pelajaran PPKn. Ia lantas dipaksa kepala sekolah menjadi guru Pendidikan Agama.

Kondisi serupa terjadi pada beberapa guru Fisika, Kimia, Matematika, Bahasa Indonesia, Sosiologi, dan Sejarah baik di SD, SMP, maupun SMA dan SMK negeri.

“Ada 200 guru yang melapor, mereka ditempatkan pada saat PPPK itu tidak sesuai dengan mata pelajarannya. Bahkan dia ditempatkan di sebuah sekolah, enggak dapat jam. Kan aneh kan,” paparnya.

Keadaan ini, menurut Imam, serentak membuka celah bagi sejumlah sekolah yang tidak kebagian jatah guru PPPK untuk merekrut honorer. 

Meskipun dalam revisi UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pegawai honorer di instansi pemerintah resmi dihapus pada 2024. 

Mereka tak punya pilihan lain. Proses kegiatan belajar mengajar (KBM) harus tetap berjalan. Kekosongan guru perlu segera diatasi.

“Kita hanya mengulang kembali lingkaran setan kalau pemerintah tidak punya kebijakan yang korektif,” tegas Imam.

Reporter: Calvin Vadero Siboro, Ghiyatuddin Yauzar, Rahma Dhoni

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS