PARBOABOA, Jakarta - Empat tahun lalu, di sebuah ruang kelas yang dipenuhi mahasiswa IFTK Ledalero, Felix Baghi memulai kuliahnya dengan sebuah pertanyaan reflektif perihal sastra.
Tiga sampai empat orang mahasiswa memberikan jawaban. Ada yang memahami sastra hanya sebagai salah satu karya tulis. Ia layaknya catatan lepas. Atau mungkin sebuah narasi asal jadi.
Sementara beberapa yang lain menyebutnya sebagai gambaran perasaan seorang penulis terhadap realitas kontekstual yang dialami.
Felix menerima semua jawaban tersebut. Baginya, sastra bukan sekadar teks tertulis, melainkan “medium yang mampu menyampaikan pikiran dan membersihkan hati nurani manusia.”
Ia menjelaskan bahwa dalam membaca dan memahami sastra, seseorang dilatih untuk berpikir, mengembangkan empati, dan lebih memahami diri sendiri serta dunia sekitarnya.
“Seseorang yang membaca sastra dilatih untuk peka dan merasakan persoalan orang lain sebagai bagian dari dirinya sendiri,” lanjut Felix.
Di tengah maraknya arus informasi yang sering kali membingungkan, sastra hadir sebagai alat yang bisa membantu individu memilah mana yang baik dan buruk.
Sastra juga memberikan ruang untuk kebebasan berpikir, mendobrak batas-batas norma, dan menawarkan berbagai interpretasi tentang kebenaran.
Secara khusus, sastra memegang peranan penting dalam dunia pendidikan. Melalui sastra, siswa diajak untuk tidak hanya mengejar pengetahuan teknis, tetapi juga mengasah rasa dan moralitas.
Di sini urgensi sastra terasa sangat relevan, yakni mampu menumbuhkan kesadaran kritis dan kepekaan sosial.
Dengan segala kekuatan yang dimilikinya, sastra menjadi elemen kunci dalam mencetak generasi yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga emosional dan moral.
Pengenalan yang mendalam terhadap berbagai karakter dan alur cerita akan membuat siswa tidak hanya memahami teks, tetapi juga realita hidup yang penuh tantangan, dilema moral, dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial.
“Dalam setiap novel, puisi, atau drama, terkandung pesan yang mampu meruntuhkan keangkuhan dan menumbuhkan rasa cinta kasih terhadap sesama,” ungkap Felix.
Dengan kata lain, “membaca sastra adalah upaya menyelami diri sendiri dan merasakan sesuatu yang juga dirasakan orang lain. Sastra memberdayakan memanggil dan menggerakan,” tutup Felix
Kurikulum Sastra
Menimbang pentingnya sastra dalam membentuk kepribadian dan kecerdasan emosional, pemerintah memutuskan untuk memperkuat sastra dalam kurikulum pendidikan nasional.
Keputusan ini diambil dengan keyakinan bahwa pengajaran sastra bukan hanya alat untuk menumbuhkan kreativitas, tetapi juga menjadi sarana membangun karakter bangsa.
Sejak beberapa tahun terakhir, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah merumuskan kurikulum baru yang menempatkan sastra sebagai bagian integral dalam pelajaran bahasa dan budaya.
Saat ini, Kemendikbudristek kembali berencana memasukkan sastra ke dalam Kurikulum Merdeka yang akan diterapkan pada tahun ajaran baru nanti.
Program 'Sastra Masuk Kurikulum' bernaung di bawah Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 dengan tujuan memperkuat kompetensi siswa serta membudayakan literasi.
Tujuan ini juga selaras dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, yang bertujuan memperkuat rasa cinta tanah air, membangun identitas dan karakter bangsa, serta menumbuhkan budaya literasi di kalangan masyarakat.
Langkah ini diharapkan tidak hanya meningkatkan minat membaca, tetapi juga menjadikan siswa lebih reflektif, peka terhadap persoalan sosial, dan mampu berpikir kritis.
Kebijakan tersebut akan mencakup seluruh jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Anindito Aditomo, menyatakan bahwa sastra akan menjadi bagian dari kegiatan kokurikuler.
“Sastra akan masuk ke dalam jam pelajaran kokurikuler, bukan sekadar ekstrakurikuler. Beberapa mata pelajaran, terutama bahasa Indonesia, dapat dengan mudah mengintegrasikan materi sastra,” ungkap Anindito di Jakarta, Senin (20/05/2024) lalu.
Anindito menjelaskan bahwa kebijakan ini juga selaras dengan inisiatif Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yang tengah digalakkan di sekolah-sekolah.
Kemendikbudristek telah mempersiapkan 177 judul buku sastra, mulai dari novel, cerpen, puisi, hingga non-fiksi, yang akan mendukung pembelajaran sastra di kelas.
Buku-buku tersebut telah melalui proses kurasi selama satu tahun, dengan rincian 43 judul untuk jenjang SD, 29 judul untuk SMP, dan 105 judul untuk SMA.
Anindito menekankan bahwa guru memiliki kebebasan untuk memilih karya sastra yang sesuai dengan pelajaran yang mereka ajarkan.
“Contohnya, guru sejarah bisa memanfaatkan karya sastra untuk memperkaya materi dan memicu rasa ingin tahu siswa tentang peristiwa sejarah,” ujarnya.
Ia juga memberikan contoh bagaimana siswa bisa lebih memahami masa-masa penjajahan melalui karya sastra.
Dengan pendekatan ini, siswa tidak hanya sekedar menghafal fakta sejarah, tetapi bisa lebih mendalami dan merasakan suasana era kolonial melalui imajinasi yang dibangun dalam cerita.
Sastrawan Eka Kurniawan, yang turut menjadi kurator dalam proses pemilihan karya sastra, menjelaskan bahwa kurasi dilakukan dengan sangat teliti.
“Kami bekerja sama dengan para guru untuk mengumpulkan buku-buku yang sesuai berdasarkan tahun, genre, dan tema untuk setiap jenjang pendidikan,” jelas Eka.
Integrasi sastra dalam Kurikulum Merdeka diharapkan tidak hanya memperkaya pembelajaran, tetapi juga meningkatkan minat baca dan pemahaman siswa terhadap berbagai sudut pandang kehidupan.
Dengan adanya kurikulum ini, diharapkan generasi mendatang tidak hanya menjadi teknokrat yang pandai, tetapi juga manusia yang bijaksana, berempati, dan memiliki hati nurani yang bersih.
Beberapa Pertimbangan
Pembelajaran sastra di Indonesia dari dulu hingga sekarang kerap menghadapi sejumlah persoalan. Beberapa sumber menyebutkan setidaknya tiga faktor yang menghambat penerapan sastra.
Pertama , kompetensi di bidang sastra. Jika pengajar memiliki strategi yang tepat untuk dijadikan alternatif, maka pengajaran sastra akan menarik.
Kedua , lemahnya minat peserta didik dalam membaca buku. Saat ini, jarang ditemukan peserta didik yang menghabiskan waktunya untuk membaca. Mereka lebih memilih untuk bermain game online.
Ketiga , berkurangnya buku-buku penunjang. Persoalan ini disebabkan oleh pandangan reduktif tentang peran sastra. Sastra cenderung dinilai sebagai 'yang komplementer' daripada 'yang integral'.
Tarigan (1995: 10) berpendapat bahwa sastra sangat berperan dalam pendidikan anak, yaitu membantu perkembangan bahasa, kognitif, perkembangan kepribadian dan perkembangan sosial.
Dengan membaca karya sastra, peserta didik terbantu untuk menyalurkan emosinya, membantu perkembangan kognitif atau penalaran mereka.
Sastra dalam pendidikan dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran yang bersifat reseptif, yaitu kemampuan menerima, serta ekspresif, yaitu kemampuan untuk mengungkapkan.
Pemanfaatan secara reseptif dilakukan dengan dua langkah yaitu pemilihan bahan terbuka dan pengelolaan proses pembelajaran.
Karya sastra yang diberikan kepada peserta didik harus berkualitas, mengandung nilai-nilai yang mendidik peserta didik menjadi orang baik.
Langkah ini diambil agar peserta didik tidak hanya memperoleh teori semata, tetapi juga mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun pemanfaatan ekspresif, yakni sastra dijadikan media pengelola emosi, perasaan, semangat, pemikiran, ide dan gagasan yang dapat diaktuaisasikan ke dalam bentuk kreativitas.
Jacob Sumardjo (1984) dalam bukunya Sastra Budaya mengemukakan bahwa pengajaran sastra yang benar seharusnya mampu menjembatani permasalahan yang ada.
Seorang pengajar harus mempunyai kemampuan, bukan hanya dalam mengajar, tetapi menciptakan suasana yang menyenangkan sehingga meningkatkan minat peserta didik terhadap pelajaran sastra.
Editor: Defri Ngo