PARBOABOA,Jakarta - Di tengah berbagai gejolak dan dinamika yang melanda dunia pendidikan di Indonesia, kebijakan sistem zonasi sekolah yang diperkenalkan pada tahun 2017 memiliki potensi untuk mengubah lanskap pendidikan secara signifikan.
Kebijakan ini lahir dari harapan untuk menciptakan keadilan akses pendidikan yang merata bagi semua anak, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau geografis.
Dengan prinsip dasar "keadilan akses," sistem zonasi dirancang untuk memudahkan siswa mendaftar di sekolah-sekolah terdekat dari tempat tinggal mereka.
Tujuan utamanya jelas: mengurangi kesenjangan pendidikan yang telah lama menjadi masalah, terutama antara kawasan perkotaan yang lebih maju dan wilayah pedesaan yang tertinggal.
Selain itu, sistem ini diharapkan dapat meminimalkan biaya transportasi yang seringkali menjadi beban berat bagi keluarga dengan penghasilan rendah.
Namun, perjalanan sistem zonasi ini tidak semulus yang diharapkan.
Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat bahwa pada tahun 2023 sekitar 80% penerimaan siswa baru dilakukan melalui jalur zonasi.
Namun, tantangan yang ada tetap harus diperhatikan dan diuraikan perlahan.
Angka ini mencerminkan keberhasilan sistem zonasi dalam meningkatkan akses pendidikan, tetapi dibalik itu, ada isu kualitas pendidikan yang masih menjadi sorotan.
Kualitas pendidikan yang bervariasi di antara sekolah-sekolah menjadi masalah utama.
Meskipun sistem ini bertujuan untuk memutus rantai eksklusivitas sekolah-sekolah unggulan, kenyataannya banyak sekolah di daerah tertentu masih menghadapi tantangan serius, seperti kekurangan fasilitas dan tenaga pengajar yang berkualitas.
Akibatnya, siswa di wilayah tersebut sering kali tidak mendapatkan pendidikan yang setara dengan rekan-rekan mereka di daerah yang lebih maju.
Resistensi dari masyarakat pun menjadi tantangan signifikan dalam implementasi kebijakan ini.
Banyak orang tua merasa bahwa sistem zonasi membatasi peluang anak-anak mereka untuk bersekolah di institusi yang lebih mereka inginkan.
Dalam upaya mencari pendidikan yang lebih baik, beberapa orang tua bahkan mempertimbangkan untuk berpindah domisili agar anak mereka bisa masuk ke zonasi yang lebih menguntungkan.
Survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa meskipun 57% orang tua mendukung sistem zonasi karena memberikan akses yang lebih dekat, 43% diantaranya merasa khawatir mengenai kualitas pendidikan yang mungkin tidak merata.
Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun sistem zonasi memberikan peluang baru, ketidakpuasan terhadap kualitas pendidikan tetap menghantui banyak orang tua.
Di tengah tantangan yang ada, pemerintah tidak tinggal diam. Melalui berbagai program peningkatan kualitas, Kemendikbudristek berupaya ameliorasi kondisi sekolah-sekolah di luar pusat kota.
Penambahan tenaga pengajar, pelatihan bagi guru, dan pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah tertinggal menjadi fokus utama.
Selain itu, integrasi teknologi pendidikan diharapkan dapat membantu siswa dalam mengakses materi pembelajaran yang lebih berkualitas dan merata.
Inisiatif ini sejalan dengan tujuan untuk menciptakan pendidikan yang tidak hanya terjangkau, tetapi juga memiliki kualitas yang tinggi di seluruh wilayah Indonesia.
Sistem zonasi sekolah, dengan segala kelebihan dan tantangannya, telah menciptakan dinamika baru dalam dunia pendidikan Indonesia.
Harapan untuk keadilan akses pendidikan tetap hidup, meskipun perjalanan menuju pemerataan kualitas pendidikan masih panjang.
Keberhasilan sistem ini tidak hanya bergantung pada kebijakan yang dikeluarkan, tetapi juga pada komitmen semua pihak untuk bersama-sama menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Dalam konteks ini, peran aktif orang tua, masyarakat, pengelola sekolah, dan pemerintah sangat diperlukan untuk memastikan bahwa setiap anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang.
Walau demikian, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menekankan pentingnya kaji ulang dan evaluasi terhadap keberlanjutan kebijakan zonasi sekolah.
Menurutnya, meskipun sistem zonasi dinilai bermanfaat, tantangan terkait distribusi guru dan fasilitas pendidikan yang belum merata masih menjadi masalah yang harus diatasi.
Gibran mengatakan, zonasi ini program yang baik, “tapi mungkin belum bisa diterapkan di semua wilayah.” jelasnya, Senin (11/11/2024).
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada niatan baik di balik kebijakan ini, pelaksanaannya perlu disesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan.
Lebih lanjut, Gibran menekankan pentingnya mendiskusikan kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) serta rekrutmen Guru ASN PPPK.
Keduanya memiliki peran krusial dalam memastikan akses pendidikan yang adil dan berkualitas bagi semua anak.
Namun, pelaksanaan kedua kebijakan ini masih menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan infrastruktur, daya tampung yang tidak merata, serta distribusi guru yang kurang optimal di berbagai daerah.
Gibran juga mencatat fenomena perpindahan domisili menjelang PPDB yang selalu terjadi setiap tahun, menunjukkan adanya ketidakpuasan dalam sistem saat ini dan perlunya kajian mendalam mengenai masalah tersebut.
Di sisi lain, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa sistem zonasi pada dasarnya bertujuan untuk memberikan pendidikan yang layak bagi siswa, sambil tetap mempertahankan kedekatan dengan rumah mereka.
Ia menambahkan bahwa zonasi juga bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang beragam, di mana siswa dari berbagai latar belakang sosial dapat berkumpul dan saling belajar satu sama lain.
Karena itu, zonasi yang terdiri atas murid-murid dari berbagai kelas sosial juga dimaksudkan, “agar terjadi proses integrasi sosial di antara para murid di lingkungan atau di wilayah tertentu,” jelas Mu’ti.
Namun, Mu’ti juga menyadari bahwa dalam penerapannya, sistem zonasi perlu dievaluasi secara berkala.
Oleh karena itu, dalam waktu dekat, ia berencana untuk mengumpulkan berbagai pihak terkait untuk membahas dan merumuskan perbaikan sistem PPDB ke depan.
Diskusi ini diharapkan dapat melahirkan solusi yang lebih efektif dalam menghadapi tantangan yang ada, sehingga keadilan akses pendidikan bisa terwujud secara nyata dan berkelanjutan.
Dengan berbagai dinamika yang terjadi, harapan untuk pendidikan yang lebih baik di Indonesia tetap ada.
Kebijakan zonasi, meskipun belum sempurna, merupakan langkah awal menuju keadilan akses pendidikan.
Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan kerjasama yang solid antara pemerintah, masyarakat, dan semua pemangku kepentingan.