Indonesia Memasuki Masa Deindustrialisasi, Benarkah?

Ilustrasi dampak deindustrialisasi pada sebuah negara, di mana pabrik terbengkalai. (Foto: PARBOABOA/Fika)

PARBOABOA, Medan – Tercatat, sebanyak lebih dari 13.800 buruk tekstil terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Data yang dihimpun ini dicatatkan sejak Januari sampai awal Juni 2024.

Saling tuding antara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 dinilai Kemenperin sebagai pemicu impor tekstil semakin menggila.

Dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan dengan tegas membantah tudingan tersebut.

Bahkan, ia mengklaim beleid itu masih mengandung pertimbangan teknis untuk produk tekstil dan produk tekstil (TPT).

Sementara itu, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri justru mengatakan gejala awal deindustrialisasi Indonesia terus menguat.

Faisal Basri juga menyindir kinerja Menperin Agus Gumiwang yang seolah tak terlihat mengurusi sektor industri. Padahal, sektor industri di Indonesia tengah goyah.

Faisal Basri menuturkan, banyak perusahaan mengalami kebangkrutan. Bukan hanya pada perusahaan keramik. Tekstil dan lainnya belum bisa pulih dari Covid-19.

Laporan INDEF pada 2023, menyebutkan bahwa deindustrialisasi sebagai penurunan kontribusi sektor industri pengolahan non-migas terhadap produk domestik bruto (PDB).

Potret deindustrialisasi ini terlihat dari lesunya porsi industri pengolahan atau manufaktur perekonomian Indonesia dari tahun ke tahun.

Menurut INDEF, gejala ini pada dasarnya wajar jika dialami oleh negara maju. Mengingat, mereka sudah bertransformasi menuju perekonomian yang berbasis di sektor jasa.

Akan tetapi, bagi Indonesia, deindustrialisasi dianggap lebih cepat dari yang diharapkan atau disebut deindustrialisasi prematur.

Fenomena ini digambarkan ketika industri pengolahan masih belum bekerja secara maksimal. Tetapi kontribusi dalam ekonomi semakin menurun.

Gejala deindustrialisasi diklaim sudah ada sejak 2002. Pada akhirnya, tenaga kerja Indonesia di sektor industri akan semakin berkurang.

Selama lima tahun terakhir, tepatnya dari tahun 2018 sampai 2022, kontribusi pekerja industri pengolahan turun mencapai 3,47 persen.

Dalam catatan INDEF, penurunan ini lebih tajam jika dibandingkan pekerja di sektor pertanian yang turun hanya sebesar 1,24 persen. Sedangkan di sektor perdagangan terdapat kenaikan sebesar 4,19 persen selama lima tahun terakhir.

Tahun 2019, Kementerian Perindustrian membantah adanya deindustrialisasi. Kemenperin mencatat deindustrialisasi bisa dibenarkan jika kontribusi manufaktur ke PDB terus menurun drastis.

Sedangkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian Indonesia tumbuh 5,11 persen secara year on year (yoy). Besaran PDB atas dasar harga berlaku di kuartal I 2024 mencapai Rp5.288,3 triliun.

Industri pengolahan menyumbang 19.28 persen terhadap PDB. Kontribusinya dalam harga berlaku mencapai Rp1.019,6 triliun.

Sumbangan sektor manufaktur ini tercatat bertumbuh dibandingkan kuartal IV 2023 yaitu sebesar 19.08 persen.

Catatan ini juga naik jika dibandingkan dengan periode sama di 2023 yang hanya menyumbang 18,67 persen.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Sumatera Utara, Gunawan Benjamin mengatakan kalau melihat kontribusi industri pengolahan maupun manufaktur terhadap PDB yang mengalami penurunan.

Di mana kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB turun dari 29 persen di tahun 2014 menjadi 16 persen di tahun 2022, bisa jadi Indonesia memang tengah mengalami gejala deindustrialisasi.

Meskipun memang sektor tersebut yang menurun kontribusinya, dikarenakan sektor lainnya justru tumbuh signifikan. Hal tersebut memang bisa juga membantah bahwa kita belum memasuki era deindustrialisasi.

Akan tetapi, menurut Gunawan Benjamin, seharusnya sektor manufaktur tersebut tetap harus tumbuh dari tahun ke tahun. Dan idealnya, kontribusi (manufaktur/industri pengolahan) setidaknya tetap bisa dipertahankan.

“Mengapa harus demikian? Karena seharusnya konsumsi dari barang produksi tanah air yang dihasilkan dari industri manufakturnya mengalami kenaikan seiring peningkatan pertumbuhan ekonomi,” ujar Gunawan Benjamin kepada PARBOABOA, Kamis (18/07/2024).

Jika yang terjadi justru sebaliknya, maka kesimpulannya bisa saja industri di tanah air justru lebih berorientasi ekspor yang sangat bergantung dari demand negara tujuan ekspor.

Dalam konteks ini, kondisi industri akan sangat bergantung dari dinamika ekonomi di negara lain.

Dan jika seperti itu yang terjadi, maka selanjutnya dilihat berapa nilai ekspor riil yang sejauh ini dibukukan oleh industri Indonesia.

“Kita harus pisahkan antara ekspor barang mentah dengan ekspor setelah adanya proses produksi. Karena bisa jadi deindustrialisasi memang sedang tidak terjadi, tetapi reindustrialisasi juga memang tidak mengalami peningkatan. Tentunya itu juga menjadi masalah bagi industri kita,” jelasnya.

Selanjutnya, Gunawan Benjamin memaparkan, kabar yang berkembang belakangan ini menunjukkan bahwa ada PHK masal pada industri tekstil di tanah air.

Ini juga bisa menjadi gejala terjadinya deindustrialisasi, terlebih jika di waktu yang bersamaan justru Indonesia dibanjiri dengan produk impor dari negara lain.

“Dan masih banyak hal lain yang bisa digunakan untuk melihat gejala deindustrialisasi. Seperti mendata jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur, walaupun penurunan jumlah tenaga kerja bisa dikarenakan oleh industri yang lebih padat modal,” paparnya.

Dan terlepas dari semua perdebatan dan analisis, sektor manufaktur harus tetap tumbuh di negeri ini. Karena sektor ini masih menjadi sektor yang mampu menyerap tenaga kerja yang banyak.

Editor: Fika
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS