PARBOABOA, Jakarta - Sejumlah elemen masyarakat sipil yang terdiri dari buruh hingga mahasiswa menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (22/08/2024).
Aksi ini merupakan bagian dari 'peringatan darurat Indonesia' yang mendadak viral setelah DPR mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perubahan syarat pencalonan kepala daerah.
Alih-alih mengikuti putusan MK, DPR justru mempercepat pembahasan Revisi UU Pilkada. Pembahasan tersebut bahkan diselesaikan dalam waktu kurang dari tujuh jam.
Dua poin dalam revisi UU Pilkada secara terang-terangan tidak mengikuti putusan MK.
Poin pertama, misalnya menyebutkan perubahan syarat ambang batas pencalonan dari jalur partai yang hanya berlaku bagi mereka yang tidak memiliki kursi di DPRD.
Sementara partai yang memiliki kursi di DPRD tetap diwajibkan memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pada momentum pemilu yang lalu.
Selain itu, terkait batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur di Pasal 7, DPR memilih mengadopsi putusan Mahkamah Agung (MA) daripada MK.
Dengan demikian, batas usia calon gubernur ditentukan pada saat pelantikan calon terpilih dan bukan pada tahap pendaftaran.
DPR sendiri dijadwalkan mengesahkan RUU Pilkada dalam Rapat Paripurna. Badan Legislasi (Baleg) akan membawa hasil keputusan rapat yang disepakati oleh seluruh fraksi, kecuali PDIP.
Manuver negatif DPR tercium publik yang lekas melakukan demonstrasi. Tidak hanya di Jakarta, aksi penolakan Revisi UU Pilkada juga berlangsung serentak di berbagai daerah di Indonesia.
Di Yogyakarta, misalnya, mahasiswa dan masyarakat sipil menggelar aksi di bawah tajuk 'Gejayan Memanggil'.
Aksi tersebut dijadwalkan berlangsung sejak pukul 08.00 WIB, dimulai dengan long march dari Lapangan Parkir Abu Bakar Ali menuju Titik Nol Kilometer sebagai lokasi berkumpulnya massa.
Sementara, masyarakat sipil di Sumatera Barat (Sumbar) melakukan aksi di depan Gedung DPRD pada pukul 10.00 WIB. Aksi serupa juga digelar di depan Gedung DPRD Jawa Barat (Jabar).
Beberapa daerah lain seperti Makassar, Bengkulu, Semarang, Solo, dan Bandung juga turut melakukan aksi serupa.
Massa aksi menuntut agar DPR tidak melawan putusan MK terkait syarat pencalonan dan batas usia calon kepala daerah dengan mengesahkan RUU Pilkada.
Di sisi lain, massa Partai Buruh juga mendesak lembaga penyelenggara pemilu untuk segera menerbitkan PKPU sebagai tindak lanjut dari putusan MK tersebut.
Pantauan PARBOABOA di lokasi kejadian memperlihatkan aksi saling dorong antara aparat keamanan dan massa aksi. Dua gerbang di halaman DPR juga berhasil dirobohkan massa.
Mereka bahkan mengancam akan memboikot Pilkada Serentak 2024 jika DPR tetap mengabaikan putusan MK.
Dosa Jokowi
Di balik kisruh yang tengah memanas, nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut-sebut sebagai salah satu aktor politik.
Jokowi memainkan peran untuk meloloskan putera bungsunya, Kaesang Pangarep guna maju di perhelatan Pilkada 2024.
Padahal, Kaesang sendiri, seperti diketahui belum layak maju di Pilkada karena tersandung syarat usia.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam kesempatan orasi membeberkan sederet kritik terhadap Presiden Jokowi di depan massa aksi.
“Hidup demokrasi, turunkan dinasti!” seru Usman, diikuti oleh massa aksi. "Untuk presiden ke-7, mari kita sampaikan tujuh dosa Jokowi," ujarnya dengan penuh semangat saat membuka orasi.
Menurut Usman, dosa pertama Jokowi adalah mengekang, melemahkan, dan menghancurkan ruang publik dalam menyampaikan kritik dan protes.
Kedua, lanjut Usman, Jokowi dinilai telah melemahkan peran oposisi di parlemen. "Ketiga, mempersempit peran lembaga penegak hukum, betul?" tanya Usman.
Usman juga mengkritik kebijakan Jokowi karena memperlemah peran media massa dan memecah belah masyarakat melalui politik polarisasi.
"Merusak keutuhan pemilu, apakah kita akan membiarkan ini terjadi?" tanya Usman kepada para demonstran. "Hanya satu kata, lawan!" "Turunkan Jokowi!" seru Usman lagi.
Para akademisi, aktivis, budayawan, dan elemen masyarakat sipil yang hadir dalam aksi menilai sikap DPR yang mengabaikan putusan MK merupakan ancaman serius terhadap demokrasi dan konstitusi Indonesia.
Memori Reformasi
Aksi demonstrasi di depan Gedung DPR membangkitkan kembali ingatan masyarakat akan gejolak reformasi yang terjadi dua puluh lima tahun lalu.
Peristiwa Mei 1998 telah menjadi memori kolektif bagi masyarakat Indonesia, yang menandai berakhirnya era Orde Baru yang disertai dengan berbagai kerusuhan tragis.
Lengsernya Soeharto merupakan puncak dari serangkaian tuntutan massa. Di balik keberhasilan menumbangkan hegemoni politik Soeharto, peristiwa Mei menyisakan jejak kelam.
Upaya tersebut harus dibayar dengan tragedi-tragedi memilukan, mulai dari aksi demonstrasi hingga tindakan kriminalitas yang merenggut banyak nyawa.
Tercatat sebanyak 1.190 orang kehilangan nyawa, 53 perempuan mengalami pelecehan, terjadi pembakaran serta penjarahan toko, dan berbagai peristiwa tragis lainnya yang menambah luka pada sejarah bangsa.
Sebelum demonstrasi di kota-kota besar, aksi sudah lebih dulu terjadi di Medan oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) pada April 1998.
Aksi tersebut berakhir dengan kerusuhan hebat antara aparat keamanan dan massa, di mana sejumlah kendaraan terbakar. Dampaknya, USU diliburkan sejak 29 April hingga 7 Mei 1998.
Kerusuhan yang terjadi di Sumatera Utara (Sumut) kemudian memicu aksi-aksi serupa di berbagai kota lain di Indonesia.
Salah satu peristiwa paling memicu kericuhan nasional adalah penembakan yang dilakukan aparat keamanan terhadap empat mahasiswa Trisakti dalam aksi demonstrasi pada 12 Mei 1998.
Peristiwa ini menyulut kemarahan luas di kalangan mahasiswa, yang kemudian melahirkan gerakan demonstrasi yang lebih besar.
Di Palembang, aksi demonstrasi berlangsung selama dua hari, yaitu sejak 13-14 Mei 1998, dengan tujuan menyuarakan tuntutan di DPRD Palembang.
Seperti aksi-aksi lainnya, demonstrasi ini juga berujung pada kerusuhan dan tindak kriminalitas, terutama yang menyasar pemilik modal besar dan masyarakat etnis Tionghoa.
Kriminalitas yang terjadi di Palembang diwarnai aksi penjarahan dan perusakan terhadap 179 toko dan 109 rumah, serta pembakaran ratusan fasilitas umum, belasan mobil, dan puluhan motor.
Di Surakarta dan sekitarnya, aksi gabungan mahasiswa yang awalnya digelar di Jalan Solo hingga Kartasura berkembang menjadi tindakan anarkis.
Aksi yang berlangsung pada 14 Mei 1998 ini meluas menjadi perusakan fasilitas umum, perkantoran, pertokoan, bank, terminal, dan kendaraan.
Selain itu, kriminalitas lainnya yang mencoreng masa reformasi adalah kekerasan seksual yang menyasar perempuan Tionghoa.
Tindakan tersebut bukan hanya berupa kekerasan verbal, tetapi juga upaya pemerkosaan massal yang menyebabkan trauma mendalam bagi korban dan masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia.
Massa demonstrasi juga mengalami trauma akibat tindakan represif dari aparat keamanan. Kekerasan dan tindakan kriminalitas di berbagai daerah tidak mampu dibendung.
Sebaliknya, tindakan represif dari aparat justru menambah jumlah korban jiwa dari kalangan pengunjuk rasa.
Kasus kriminalitas baru mereda ketika massa demonstrasi berhasil mendesak Soeharto untuk meletakkan jabatannya pada 21 Mei 1998.
Keberhasilan dalam menumbangkan hegemoni politik Soeharto adalah rentetan perjuangan panjang yang tak lepas dari berbagai tragedi pilu.
Setelah transisi kepemimpinan dari Soeharto ke BJ Habibie, kasus-kasus kriminalitas dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998 mulai berusaha diselesaikan.
Meski demikian, tidak satu pun sosok presiden yang berhasil mengungkap luka sejarah itu. Belakangan, Presiden Jokowi justru disebut menambah daftar panjang kejahatan di Indonesia.
Editor: Defri Ngo