parboaboa

Kekuasaan dan Konformitas di Balik Perundungan SMA Binus Serpong

Gregorius Agung | Nasional | 26-02-2024

Ilustrasi perundungan siswa SMA Binus, Tangerang Selatan, Banten. (Foto: PARBOABOA/Rian)

PARBOABOA, Jakarta - Lembaga pendidikan tingkat Menengah Atas (SMA) Binus Serpong, Tangerang Selatan, Banten sedang menjadi pusat perhatian.

Komunitas pendididikan ini diseret ke pusaran perbincangan publik menyusul adanya dugaan perundungan atau bullyng yang melibatkan para siswanya.

Berawal dari sebuah postingan akun X @bospurwa, Senin (19/2/2024), seorang siswa yang berinisial A di sekolah itu disinyalir menjadi korban perundungan dengan cara dipukul.

Pelakunya adalah beberapa siswa lain yang tergabung dalam sebuah kelompok geng bernama 'Geng Tai.' Korban, disinyalir merupakan calon anggota baru kelompok geng tersebut.

Berdasarkan keterangan korban, ia dipukul dengan kayu kalok setelah diikat pada sebuah tiang. Pada saat aksi berlangsung, siswa lain bukannya membantu melainkan menertawakan dan merekam.

Yang memprihatinkan, di tataran kelompok 'Geng Tai' ada semacam pemakluman terhadap aksi tersebut karena dianggap sebagai bagian pengenalan organisasi.
  
Bahkan, siapa saja yang ikut bergabung, wajib mentaati perintah senior, mulai dari membeli makanan dan tidak boleh melawan jika harus mendapat kekerasan fisk.

Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Tangerang Selatan, Ipda Galih menerangakan, berdasarkan hasil visum dan pemeriksaan awal, korban mengalami luka memar dan luka bakar pada beberapa bagian tubuhnya karena terkena benda panas.

Menurut Galih, korban tidak hanya dipukul menggunakan balok kayu tetapi juga disundut dengan korek api yang telah dipanaskan ujungnya.

Sejauh ini, pihaknya kata Galih terus melakukan upaya pengumpulan alat bukti untuk mengungkap terang aksi tak senonoh dan tak manusiawi yang mencederai citra institusi pendidikan di Indonesia.

Pihak sekolah sendiri telah memberi sanksi tegas dengan mengeluarkan pelaku dari sekolah. Sementara mereka yang menyaksikan tetapi tidak mencegat terjadinya kekerasan dikenai sanksi disiplin tegas.

Menunjukkan Kekuasaan

Apa yang terjadi di sekolah internasional SMA Binus Serpong menunjukkan sisi kelam sekaligus fenomena gunung es sejumlah kekerasan di dunia pendidikan.

Untuk mengurai itu dibutuhkan semacam pisau analitik untuk mengetahui faktor penyebab kekerasan, sehingga dapat dirumuskan langkah antisipasif untuk mencegah kejadian serupa di kemudian hari.

Psikolog Universitas Pancasila (UP), Aully Grashinta punya telaah yang menarik soal ini. Dia menjelaskan, kejahatan di dunia pendidikan, termasuk perundungan selalu terikat dengan dua faktor, yaitu faktor ekternal dan internal.

Faktor internal jelas Aully berkait-kelindan dengan kepribadian seseorang yang dipengaruhi oleh pola asuh dan pendidikannya.

Ia mengatakan, jika anak dibesarkan dengan penyelesaian masalah secara agresif, maka hal itu dipelajari dan membuatnya melakukan hal yang sama pada orang lain.

Selain itu, permasalahan psikologis yang dimiliki pelaku seperti kondisi keluarga yang abusif atau permisif, kurangnya kedekatan dengan orang tua dan sebagainya juga dapat mendorongnya untuk melakukan tindakan perundungan.

Menurut Aully, kondisi psikologis semacam ini rentan berujung perilaku kekerasan jika berhadapan dengan kecenderungan untuk menguasi individu atau komunitas lain.

"Yang pasti perundungan dilakukan oleh orang yang ingin menunjukkan kekuasaannya pada orang lain yang biasanya didasari oleh masalah psikologis yang dialami sendiri oleh pelaku," kata Aully kepada PARBOABOA, Senin (26/2/2024).   

"Jadi perilaku perundungan adalah bentuk perilaku yang ditunjukkan pelaku karena kurang matangnya kepribadiannya," tegas dia menambahkan.

Faktor eksternal juga mempengaruhi. Aully menegaskan, remaja/siswa-siswi biasanya memang bergabung dengan peergroup atau teman sebayanya. 

Jika teman sebayanya ini memiliki orientasi pada kekerasan yang sama, maka lebih mudah memunculkan perilaku perundungan.

Faktor eksternal lain berupa adanya lingkungan yang mendukung, misalnya adanya ruang-ruang di sekolah yang bisa mendukung kegiatan perundungan yang tidak terawasi oleh orang dewasa.

"Termasuk kegiatan-kegiatan yang memberi kesempatan untuk terjadinya perundungan, misalnya kegiatan luar sekolah yang tidak diawasi orang dewasa dan sebagainya."

Di samping itu, ada semacam bystander, yaitu kondisi di mana seseorang tahu bahwa ada kegiatan perundungan, namun tidak melakukan apapun baik untuk mencegah pelaku ataupun menolong korban.

"Bystander seolah ‘membiarkan’ perundungan terjadi," kata Aully. 

Konformitas

Aully juga menyoroti aksi perundungan yang rentan dilakukan pada masa remaja. Ia menjelaskan, secara psikososial masa remaja adalah tahapan pencarian jati diri.

Salah satu cara untuk menemukan jati diri itu adalah dengan berkumpul bersama teman sebaya lalu membentuk semacam kelompok atau geng. Di sana mereka akan merasa memiliki keterikatan, solidaritas dan merasa diri 'keren.'

Bahkan untuk bisa diterima oleh kelompok atau geng tersebut, mereka juga membentuk konformitas, proses mengindentifikasikan diri dengan perilaku orang lain dengan mengandalkan kepatuhan dan ketaatan.  

Karenanya, terang Aully, jika ada anggota atau ketua kelompok yang mengarah pada perilaku agresif (seperti perundungan), maka anggota kelompok lainnya akan menunjukkan hal yang sama sebagai bentuk konformitas.

Meski, secara pribadi mungkin mereka tidak ingin melakukannya, tetapi dorongan untuk mengikuti kelompok tersebut kata Aully lebih kuat daripada apa yang ada di hatinya.

Selain itu, pada masa remaja, orang memiliki energi yang cukup besar namun terkadang tidak memiliki saluran yang tepat untuk menggunakan secara positif. Kemampuan pemecahan masalah mereka juga masih terbatas.

Lantas, didorong oleh belum matangnya kemampuan mengendalikan emosi maka orientasi pemecahan masalahnya adalah pada emotional focus coping.

"Artinya dorongan emosi yang muncul jauh lebih kuat daripada kemampuan berpikir lebih jauh resiko yang akan terjadi atas apa yang dilakukan."

Menurut Aully hal ini dipengaruhi oleh faktor biologis seperti fungsi neurologi yang belum matang di otak maupun faktor sosial, seperti pola asuh, pendidikan, dan sebagainya.

Karena itu, Aully mengingatkan penting untuk membekali anak-anak dengan kemampuan menyelesaikan masalah yang berdasar pada problem focus coping. 

"Memberi akses pada kegiatan-kegiatan yang menghabiskan energi mereka secara positif seperti pada hobi, olahraga, seni, sains dan sebagainya." tutup dia.

Editor : Gregorius Agung

Tag : #perundungan    #binus    #nasional    #konformitas    #sma binus    #kekerasan   

BACA JUGA

BERITA TERBARU