Konflik Tanah Adat di Simalungun Menanti Kejelasan Perda

Posko Masyarakat Adat Sihaporas (Foto: PARBOABOA/David Rumahorbo)

PARBOABOA, Simalungun - Suasana pagi itu tiba-tiba mencekam saat beberapa polisi merangsek masuk, mengobrak-abrik masyarakat Sihaporas yang masih terlelap.

Dalam operasi yang sangat singkat itu, pihak aparat berhasil "menculik" lima orang masyarakat adat wilayah setempat.

Proses penangkapan yang diduga dilakukan dengan cara kekerasan itu berlangsung pada Senin (22/07/24) sekitar pukul 03.00 WIB.

Peristiwa memilukan itu juga mendapat banyak sorotan, termasuk dari Ketua DPRD Kabupaten Simalungun, Timbul Jaya Hamonangan Sibarani.

"Kalau itu kan ranah yudikatif. Hanya saja, kami mohon kepada aparat kiranya bisa memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat Simalungun," ujar Timbul kepada PARBOABOA, Rabu (24/07/24).

Lebih lanjut, Timbul menyoroti agar proses hukum dilakukan dengan transparan tanpa merugikan pihak yang bersangkutan.

"Kalau melakukan penangkapan atau proses hukum, kami sebagai perwakilan masyarakat meminta agar proses itu dilakukan dengan baik," tegasnya.

Sementara itu, Biro Organisasi dan Keanggotaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN Tano Batak) Hengky Manalu menegaskan bahwa tindakan aparat itu merupakan bentuk intervensi terhadap perjuangan masyarakat adat.

Kemudian, ia menyampaikan bahwa masyarakat yang ditangkap memiliki peran penting dalam perjuangan masyarakat Sihaporas.

Menurutnya, mereka adalah masyarakat yang produktif dalam memperjuangkan tanah adat.

“Mereka adalah pengurus dalam perjuangan ini. Ketika mereka ditangkap, bayangannya polisi adalah mereka (masyarakat adat) akan terhenti,” ungkap Hengky kepada PARBOABOA.

Payung Hukum Masyarakat Adat

Respon lain ditunjukkan oleh Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara yang menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Aliansi Gerak Tutup TPL pada Kamis (27/06/24).

Berdasarkan rilis yang disampaikan oleh AMAN, melalui rapat tersebut, DPRD melalui Komisi A berjanji akan meninjau daerah lahan Masyarakat Adat dan konsesi PT. TPL, Tbk.

Selain itu, DPRD juga akan mendorong usulan kepada Pemkab, khususnya di Kabupaten Simalungun, untuk membentuk Perda Masyarakat Adat.

Hal ini juga disampaikan oleh Sekretaris Komisi A DPRD Provinsi Sumut, Rudi Alfahri Rangkuti.

Ia mengatakan sebagai rencana tindak lanjut akan ada cek lapangan antara lahan MA dan konsesi PT TPL.

Pengecekan, jelasnya, akan diawali di wilayah Kabupaten Simalungun dan dilanjutkan ke 7 kabupaten lain yang memiliki konflik serupa di wilayah Tano Batak.

Kemudian, sambungnya, pihaknya akan mendorong usulan tersebut kepada Pemkab melalui DPRD Kabupaten Simalungun untuk membentuk Perda MA.

Namun, berbeda dengan itu, Timbul mengungkapkan bahwa pengadaan Perda terkait hak kepemilikan tanah adat dan keberadaan masyarakat adat memerlukan kajian.

Di samping itu, jelasnya, belum ada komunitas maupun kelompok adat yang mengajukan pembuatan Perda tanah ulayat.

"Sampai saat ini, belum ada elemen atau kelompok yang berinisiasi mengajukan untuk dibuatkan Perda tentang tanah konsesi," ungkap Timbul kepada PARBOABOA.

Timbul juga menyampaikan bahwa kajian keberadaan tanah adat khususnya di Simalungun diperlukan dalam melihat sejarah dan karakter budaya.

"Perlu juga kita menelusuri sejarah Simalungun. Apakah di Simalungun dikenal tanah adat atau lain sejenisnya. Ini kan perlu pengkajian yang lebih mendalam karena ini menyangkut sosial budaya dan karakter daerah Kabupaten Simalungun," katanya.

Sikap Kementerian

Perjuangan Komunitas Adat Lamtoras Sihaporas sudah berlangsung lama. Pada tahun 2018, mereka telah bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, untuk meminta tanah adatnya dikembalikan.

Pada kesempatan tersebut, masyarakat adat diarahkan terlebih dahulu untuk mendaftarkan tanah adat mereka ke Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).

“Karena itu salah satu syarat untuk mendapatkan tanah adat,” jelas Ketua Lembaga Adat Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), Mangitua Ambarita.

Setelah sertifikat itu terbit, warga menemui kembali Menteri LHK dengan harapan tanah sudah bebas dikelola.

Namun, jawaban yang diterima mengecewakan dan menunjukkan hasil yang sama bahwa izin konsesi harus dicabut dulu dari kampung itu.

Hingga saat ini pencabutan izin itu pun belum terealisasikan.

“Sudah kami daftar dan keluar SK-nya, lalu kami bawa kembali ke menteri namun sampai sekarang tidak ada keputusannya,” ucap Mangitua.

Ia mengakui, pihaknya lelah juga bolak-balik mengantarkan dokumen tersebut, mulai dari tingkat desa hingga ke tingkat presiden.

“Toh juga negara tidak menghargai masyarakat adat. Kami tidak rela lahan adat dikuasai oleh swasta akibat dari kelalaian negara, maka kami menduduki lahan kami di sini,” tutupnya.

Legalitas Keberadaan Masyarakat

Pengamat Antropologi, Avena Matondang memandang bahwa persoalan tanah adat masih berhadapan dengan produk hukum.

Di mana legalitas keberadaan masyarakat adat belum diatur dalam perundang-undangan.

Ia menjelaskan bahwa peralihan hukum kepemilikan lahan pasca kemerdekaan Indonesia yang tidak diikuti dengan peraturan perundang-undangan mengakibatkan persoalan status kepemilikan lahan.

Komunitas adat ini mengacu pada rancangan undang-undang yang belum disahkan.

Jadi ketika mereka mengaku menjadi masyarakat adat, “hak mereka itu tidak ada di hadapan negara secara konstitusi,” ujar Avena melalui sambungan telepon.

Selain itu, Avena menilai bahwa kehadiran negara tidak serta merta merawat warisan budaya oleh para leluhur, termasuk keberadaan masyarakat adat.

“Di satu sisi mungkin itu kesalahan negara juga karena tidak memelihara aset-aset kebudayaannya, misal dalam bentuk struktur raja-raja Simalungun,” ucap Avena.

Dalam hal ini, eksistensi masyarakat adat tidak terlepas dari peranannya sebagai pemilik sekaligus menjaga aset-aset sebelum adanya negara, baik berupa hutan maupun warisan budaya lainnya.

Namun, kata Avena, yang terjadi adalah sebaliknya. Pasca kemerdekaan, penguasaan terhadap aset (tanah) beralih ke tangan pemerintah melalui peraturan perundang-undangan Pasal 33 Tahun 1945.

Kenyataanya, negara justru mengeluarkan undang-undang, misalnya pasal tentang kekayaan alam itu dipergunakan sepenuhnya oleh negara.

 Tapi pada prosesnya, kata dia, permintaan negara untuk mengambil alih itu (kekayaan alam) seharusnya diakomodir dari undang-undang masyarakat adat yang sampai hari ini belum diterbitkan juga.

Menurut dia, kondisi inilah yang melahirkan pemikiran bahwa negara bebas mengelola aset negara, dan hingga hari ini, diberikan kepada pihak swasta.

Menurut Avena, persoalan kepemilikan dan pengelolaan tanah merupakan tanggung jawab pemerintah, baik di tingkat pusat hingga di tingkat daerah.

Pemda, jelasnya, seharusnya dapat mengakomodir warisan budaya sebelum undang-undang masyarakat adat diterbitkan.

“Kedepannya kalau hal-hal kecil itu tidak diakomodir oleh Pemkab Simalungun, justru masalahnya jadi melebar. Yang ditakutkan adalah terjadi konflik antar masyarakat,” katanya.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS